Friday, August 19, 2016

on Leave a Comment

Pernyataan SALAH DLM BERIJTIHAD DPT SATU PAHALA,JIKA BENAR DPT DUA PAHALA apakah hadits? Dalam peristiwa perang jamal ada seorang ustad berkata bahwa itu perbedaan biasa sama seperti perbedaan ijithad para ulama. bagaimana pendapat ustad?

Link : https://web.facebook.com/sinaragama/posts/985180408262083?_rdr


Salam ustad.
1.pernytaan SLAH DLM BERIJTIHAD DPT SATU PAHALA,JK BENAR DPT DUA PAHAL...pakah hadits...??
2.dlm peristiwa perang jamal,ada seorang ustad berkata bahwa...itu perbedaan biasa. sm sperti perbdaan ijithad para ulama.
Bagaimana tanggapan ustad mengenai hal ini....???
Trima kasih sbelumnya
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Benar ada riwayatnya (tentu selain sangat masuk akal). Riwayatnya seperti ini:

مَن اجتهدَ فأخطأ فلَهُ حسنةٌ ، ومَن اجتهدَ فأصاب فلهُ حسنتان

"Barang siapa berijtihad lalu salah, maka ia mendapatkan satu kebaikan/pahala. Dan barang siapa berijtihad lalu benar, maka ia mendapatkan dua kebaikan/pahala." ('Awaali al-Laalii, jld 4, hadits ke: 16; al-Nizhaamu al-Qur aanii, 6/1)

Tentu saja yang memiliki syarat ilmu yang dikenal dengan maqam atau derajat ijtihad. Sebab kalau tidak, maka akan masuk ke dalam hadits ini:

من أفتى الناس بغير علم، فليتبوّأ معقده من النّار

"Barang siapa memberi fatwa kepada manusia tanpa ilmu, maka maka tempatnya di neraka."(Wasaailu al-Syii'ah, 18/16).

2- :

a- Ijtihad itu dalam ilmu dan bukan dalam amal. Sedang membunuh orang dan berperang itu dalam amal dan bukan dalam ilmu.

b- Ijtihad yang salahnya bisa mendapatkan satu pahala adalah yang dalam ilmu, bukan dalam amal. Dan juga dalam koridor yang jelas sekalipun hanya dalam ilmu, seperti bersandar pada ayat dan riwayat yang shahih.

c- Kalau dalam amal, seperti mengkafirkan orang lain, membunuh orang lain, berperang dengan orang lain dan semacamnya, maka di sini tidak dicakupi hadits-hadits ijtihad, tapi dicakupi oleh hadits-hadits amal sosial dan politik seperti:

- Tidak boleh mengkafirkan orang muslim dan siapa yang mengafirkan maka dia sendiri yang kafir.

- Tidak boleh membunuh orang muslim karena yang membunuh satu orang saja sama dengan membunuh semua manusia.

- Tidak sembarangan menghlalkan kemaluan muslim hingga yang memperkosa wanita dihukum mati.

d- Ringkasnya:
Kafir, bunuh, perang dan semacamnya, dalam Islam, dibagi pada tingkatan teori dan amal:

d-a- Kalau dalam teori yang juga dikatakan sebagai ilmu, maka di sinil hadits-hadits ijtihad itu bisa difungsikan.

d-b- Kalau dalam amal dan aplikasi, maka hadits-hadits itu sendiri yang telah memberikan hukumnya tanpa perlu diotak-atik lagi. Karena itu, tidak bisa dikembalikan kepada ijtihad seseorang. Dan seperti pengkafiran yang bisa dibunuh itu, sudah dijelaskan dalam haditsnya dan tidak perlu diijtihadi ala ijtihad Sunni. Misalnya: Yang mengingkari Tuhan atau Nabi saww, maka dia kafir/murtad. Yang mengingkari kewajiban shalat dan puasa (misalnya) maka ia murtad. Dan semacamnya.

e- Jangankan perang yang akan menimbulkan pembunuhan terhadap banyak orang yang apalagi para shahabat Nabi saww, membunuh satu orang saja sudah dinashkan atau digariskan dengan jelas dalam ayat dan riwayat. Karena itu, maka masalah perang antar shahabat itu tidak bisa dikembalikan kepada ijtihad melainkan kepada nash.

f- Kalau orang mau mengembalikan masalah perang besar yang terjadi beberapa kali antar shahabat itu kepada ijtihad, maka:

- Hal itu tidak bisa karena hal tersebut bukan teori ilmu sedang ijtihad itu dalam ilmu.

- Kalau mau dipaksakan juga, maka dalilnya harus jelas pula. Misalnya apa dalil dari pembunuhan shahabat dengan shahabat yang lain itu. Jelas tidak mungkin dapat ditemukan. Karena memang sudah dinashkan oleh ayat riwayat, seperti siapa yang membunuh orang lain tanpa salah yang bisa dibunuh maka bisa dibunuh. Yang memperkosa bisa dibunuh. Dan semacamnya.

TAPI TIDAK ADA AYAT DAN RIWAYAT YANG MENGATAKAN BAHWA KALAU DALAM TEORI ILMUMU SESEORANG ITU DIANGGAP KAFIR MAKA BISA KAMU BUNUH. TAPI SEBALIKNYA, JANGAN KAFIRKAN YANG SECARA LAHIRIAH MUSLIM KARENA KAMU SENDIRI YANG BISA KAFIR KARENA PENGKAFIRANMU ITU. MUSLIM LAHIRIAH ITU ADALAH SYAHADATAIN DAN DENGANNYA TERJAGALAH DARAH DAN KEHORMATANNYA.

g- Kasarnya: Untuk masalah nyawa, kehormatan dan apalagi peperangan, maka yang diperlukan adalah ayat dan riwayat yang jelas yang biasa disebut dengan "Nash yang jelas", bukan ayat dan riwayat yang tidak jelas bagi semua orang yang karenanya diperlukan ijtihadnya ulama.

Ali Asytari Jd...istihad harus adanya ketidak jelasan hukum.sementara membunuh....adalh hukumnya sangat jelas.wlpn seandainya qur'an/agama tdk turun,mk manusia akan mengetahuinya KRN KEJELASANNYA.

tp ustad...aku blm pahampenejalsan ustad ttng ijtihad hanya pd ilmu.bkn pd amal.
Bukankah adanya amal jg bersumber krn dr ilmu.at..ilmu hasil ijtihad perlu di aflikasikan/diamalkan....???

Sinar Agama Ali Asytari, coba baca lagi beberapa kali, insyaaAllah akan terjawab karena sudah dijelaskan di jawaban di atas itu .

Ali Asytari Maaf ustad..
1.Sy memahami "dlm ilmu" adalh ke spesialisaian ilmu.sdng amal sperti membunuh...mencaci..dll adalah tdk membutuhkan kespesialisasian ilmu untuk mengetahuinya.mk membunuh sperti dlm perang jamal dg alasan ijtihad adalah salah.

2.apakah aisyah bisa dikatakan seorang mujtahid....??

At siapakah diantara sahabat yg ilmunya mencapai derajat mujtahid..selain ahlul bait.....???

Sinar Agama Ali Asytari,: Sepertinya pemahaman antum belum benar:

1- Hukum kafir, zina, rajam, murtad, perang dan semacamnya, sudah diterangkan secara jelas oleh agama. Ayat dan hadits yang jelas itu, disebut nash. Memahaminya tidak perlu ijtihad akan tetapi hukum dasarnya saja, bukan rinciannya. Misalnya, semua orang tahu kalau zina dan cukup saksi maka dicambuk atau kalau muhshan maka dirajam. Kalau membunuh dan ada saksi maka diqishash. Jadi, aturannya jelas karena mamang syari'atnya membimbing kita dalam aplikasi dan prakteknya. Dan biasanya ada batas-batas tertentunya yang juga jelas dan bersifat lahiriah.

Misalnya yang menyembah berhala disebut kafir, atau yang baca syahadatain disebut muslim, atau yang membaca syahadatain lalu menyembah berhala disebut murtad, dan seterusnya.

Tapi tentang apa itu hakikat kafir, zina, rajam, murtad, perang dan semacamnya secara esensi dan kedalaman ilmu, maka di sini perlu ijtihad.

Misalnya shalat itu pembatas antara iman dan kafir, yang maksiat di waktu puasa berarti tidak puasa, mengikuti hawa nafsu adalah syirik, maksiat adalah syirik, dan semacamnya.

Khawarij dan Wahabi, karena memang tidak mau berfikir, mereka mencampur adukkan kedua masalah di atas. Islam yang sudah menentukan hukum kafir, murtad dan semacamnya dengan jelas, dicampur dengan tatapan dan ajaran agama yang membimbing manusia ke dalam tataran yang lebih tinggi.

Pencampuran itu telah membuat mereka benar-benar menjadi Dajjal dengan menghalalkan darah banyak muslimin. Khawarij mengafirkan orang yang melakukan dosa besar seperti zina, atau mengafirkan Imam Ali as dan Mu'awiyyah dan yang saling berperang di Perang Jamal, atau mengafirkan yang tidak mengafirkan Utsman dan Imam Ali as serta Mu'awiyyah, dan semacamnya dari akidah yang muncul dari ketidakpahaman dari maksud penjelasan agama. Kalau agama mengatakan bahwa yang berdosa itu kafir, maka maksudnya kafir dalam syukur atau dalam tatanan, bukan dalam akidah. Yakni telah mengikuti perintah syaithan atau hawa nafsunya dan meninggalkan pertintah Tuhannya. Hakikat kafir yang seperti ini, tidak termasuk kafir atau murtad yang dihukumi mati, karena untuk hukum mati sudah ada koredor dan batasannya sendiri yang dijelaskan secara gamblang oleh agama, seperti muslim yang kembali menyembah berhala, bukan melakukan dosa atau tidak shalat dan secamnya sekalipun dikatakan kafir dalam hakikat.

2- Hal ke dua yang antum tanyakan, lebih parah dari yang pertama he he... (afwan). Sebab para Imam Makshum as itu tidak dikatakan mujtahid, karena ilmunya sama persis seperti ilmu Rasul saww. Kata-kata dan amalan mereka as tidak dikatakan fatwa melainkan hadits karena kemakshumannya itu. Hadits yakni ukuran agama. Dikatakan ukuran agama karena pasti sesuai agama, bukan fatwa yang dihasilkan dari penelitian dalil-dalilnya dari ayat dan riwayat. Para imam as seperti Nabi saww, kapan saja ditanya tidak pakai mikir langsung bisa menjawab. Mereka tidak perlu sekolah kepada ustadz selain dari ayah atau makshum sebelumnya.

Kalau ayat sudah mengatakan bahwa mereka as wajib ditaati secara mutlak sebagaimana menaati Allah swt dan Nabi saww (QS: 4:59), apalagi kita dilarang taat mutlak pada yang memiliki dosa (QS: 76:24), atau kalau Tuhan mengatakan bahwa mereka as suci sesuci-sucinya (QS: 33:33), atau disebut sebagai ahludzdzikr yang Tuhan menyuruh kita bertanya apa saja dan kapan saja kepada mereka as (QS: 16:43), atau kalau Tuhan mengatakan bahwa mereka suci karena itu dijadikan imam bagi seluruh umat sesuai dengan doa kakek mereka as nabi Ibrahim as (QS: 2:124), atau kalau Tuhan mengatakan bahwa yang dapat menyentuh Qur an di Lauhu al-Mahfuuzh itu hanya orang suci (QS: 56:79) seperti Nabi saww dan mereka as sebagai orang yang suci sesuai dengan ayat di atas,

ATAU kalau Nabi saww mengatakan bahwa mereka as itu ibarat bintang petunjuk di langit, perahu nabi Nuh as, imam yang wajib ditaati, khalifah yang lurus (tidak ada bengkok dan salahnya walau sedikitpun), pintu ilmu beliau saww dan memerintahkan umat untuk bertanya kepada mereka as kalau ingin tahu apa saja dari ilmu beliau saww, dan semacamnya,

MAKA, sudah jelas mereka as tidak bisa disebut mujtahid yang berusaha memahami ayat dan riwayat dengan akal mereka as, melainkan bahwa mereka as itu adalah hakikat Qur an dan Hadits sesuai dengan jaminan Qur an dan Hadits itu sendiri. Jadi, mereka as juga seperti Nabi saww yang merupakan hakikat Qur an hingga karena itulah maka apapun yang mereka as katakan dan lakukan adalah hakikat Qur an, bukan tafsirannya (karena yang namanya tafsir bisa salah dan bisa benar).

Mereka as yang seperti itu, mana bisa dibandingkan dengan shahabat atau orang lain?

Jadi, perbandingan antum itu yang saya katakan salah besar di sisi pemujtahidan imam makshum as.

Sedang orang lain atau shahabat lain, mau mujtahid atau bukan, mau taat atau maksiat, hal itu urusan mereka dan tidak ada hubunganya dengan kami sebagai orang Syi'ah. Maksudnya yang akan menjadi pertimbangan dan ikutan kami dalam hidup, adalah yang dijamin Allah swt dan Nabi saww tentang kebenarannya kemakshumannya dan kewajibanditaatinya, bukan yang lainnya setinggi apapun dia. Karena setinggi apapun, tidak akan sampai ke derajat makshum yang dijamin Tuhan dan Nabi saww. Dan kalau tidak makshum, maka bagaimana mau dikatakan Jalan Lurus yang tidak dhaalliin (salah) sedikitpun? Jadi, siapapun orangnya, setinggi apapun derajatnya di sisi Tuhan atau surga, maka kita tetap akan mengikuti yang makshum as karena perintah taat itu hanya untuk orang makshum as dan begitu pula jaminan kebenarannya.

Akal sehat yang mana yang membolehkan ikut ijtihadnya orang yang ada kemungkinan salah sekalipun kesalahan mujtahidnya akan diberi pahala satu, sementara ada pilihan lain yang kemakshumannya dijamin Tuhan dan Nabi saww dan bahkan kewajiban taat pada mereka as diwajibkan Tuhan dan Nabi saww?

Karena itu, siapapun selain Ahlulbait as yang makshum itu, tetap bukan ikutan kami sebagai orang Syi'ah. Karena tidak ada perintah mengikuti mereka (selain Makshumin as) dan mereka juga bukan hanya tidak dijamin kemakshumannya akan tetapi bahkan dijamin ketidakmakshumannya dalam ayat, misalnya pernah kafir sebelum Islam, atau pernah mengkhianati dan menyakiti Nabi saww dan diancam neraka kalau tidak taubat (QS: 66:3-5).

Ali Asytari Maaf ustad....
Mengenai poin 2 itu bkn maksud sy bahwa ahlul bait adalh mujtahid.
Krn keahlulbaitan at kemaksumannya kan sdh sangat jelas.dn jg mana mungkin mujtahid mau di bndingkan dg maksumin.
Jd...skali lg sy tdk memahami ahlul bait itu seorang mujtahid.

Maksud pertanyaan sy adlah adkah sahabat yg bukan maksum itu mencapai ijtihad.(sbenrya redaksi sperti ini.krn waktu itu aku kesulitan.dn aku yakin jg ustad pasti akan protes keras.)

dn jg ustad...klw mmng jelas bahwa siapa2 yg berbeda paham..apalagi memerangi maksumin....mk jelas yg memerangi itu yg JELAS SALAHNYA.ini adalah akidah syiah.

Tp,maksud tanyaanku itu terlepas dr paham syiah.tdk melihat kemaksumannya krn sunni tdk memaksumkan imam Ali mislnya.

Sperti PERNYATAAN sbgn sunni bahwa mrk yg berperang sdng berijtihad.
Nah..mk pertanyaan apakah aisyah itu seorang mujtahid...klw pun aisyah mencapai derajat mujtahid...mk bisa kita menjwabnya pd sunni bahwa...perang jamal yg terjadi bkn hasil ijtihad.krn nashnya sdh jelas..ini klw aisyah mujtahid.
Terlebih lg klw bkn.
Dn ini adalh dlm menghadapi sunni terlepas dr paham syiah.

Sinar Agama Ali Asytari, Sudah dijawab di sebelumnya.

Ali Asytari Ok ustad.....trimaksih.
Artinya....sy sdh punya jawaban kuat dlm menghadapi muslim sunni.

Sinar Agama Ali Asytari, carilah ilmu untuk keyakinan diri demi mencapai yang benar dan untuk diamalkan karena Allah swt. Setelah itu baru untuk membantu sesama muslim dan bahkan sesama manusia.

Ali Asytari Astaghfirullah.....!!!!
Lupa nasehat2 pd tulisan ustadz.

Trims banget atas nasehat dn peringatannya.
Tolong ustadz pantau terus sy ini.
Jangan segan2 untuk terus memberikan nasehat..teguran...dn apa sj.
Klw mmng ad pertanyaan sy yg dirasa ga penting hanya buang2 umur...at sibuk ngurusin orang..dll
tegurlah sy ustadz....
Sekali lagi,trimssss banget atas perhatian ustad pd sy.

Sinar Agama Ali Asytari, sama-sama.




0 comments:

Post a Comment

Andika Karbala. Powered by Blogger.