Thursday, June 7, 2018

on Leave a Comment

Bagaimana ketentuan beritikaf itu?

‎Shadra Hasan‎ ke Sinar Agama
7 Juni ·

Salam.
Bagaimana ketentuan beritikaf itu?
Trims ustadz
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan KomentariBagikan
Kronologis
Komentar


Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya:

I'tikaaf

1- Definisinya:

I'tikaaf adalah berdiam diri atau tinggal di masjid dengan niat beribadah kepada Allah.

2- Hukumnya:

Hukumnya adalah sunnah secara asal. Tapi bisa menjadi wajib kalau diiringi kondisi yang lain seperti nadzar/nadzr, janji kepada Allah, sumpah kepada Allah, menyewakan diri kepada orang lain, dan semacamnya.

3- Waktunya:

Kapan saja boleh asal bisa puasa. Paling afdhalnya adalah di bulan suci Ramadhan. Paling afdhalnya di bulan suci Ramadhan tersebut adalah di hari-hari sepuluh ke tiga (akhir).

4- Syarat-syaratnya:

Syarat-syarat syah/sahnya sebagai berikut:

a- Berakal.
Yakni tidak gila dan tidak mabok.

b- Niat.
Dalam niat wajib berniat karena Allah (ikhlash karena Allah).

Niat ini dimulai sejak awal i'tikaaf yaitu awal malam dari hari pertama mau i'tikaaf. Paling lambat di waktu fajar pertama di malam tersebut. Jadi, i'tikaaf itu bisa dimulai dengan menyertakan niat di atas, di awal malam, pertengahan atau paling akhir sebelum adzan Shubuh (hati-hatinya). Dan paling afdhal dimulai sejak awal malam.

c- Berpuasa.
Dan tidak wajib berupa puasa i'tikaaf. Yang penting berpuasa, apapun puasanya, baik wajib, sunnah dan semacamnya. Dan baik puasa untuk dirinya, mewakili orang, menyewakan puasa kepada orang lain dan semacamnya. Puasanya juga tidak harus seiring dengan i'tikaafnya. Jadi, bisa saja i'tikaafnya sunnah, tapi puasanya wajib. Atau i'tikaafnya wajib karena nadzar tapi puasanya puasa sunnah atau qadhaa' Ramadhan atau puasa Ramadhan.

d- Jumlahnya.
Tidak kurang dari tiga hari dan dua malam yang berada di tengahnya. Sedang lebihnya bisa saja lebih dari tiga hari akan tetapi mesti dilengkapi kalau melebihkan dua hari. Misalnya dilebihkan menjadi lima hari, maka wajib meneruskan sampai ke enam hari. Tapi kalau dilebihkan hanya empat hari, maka tidak wajib meneruskannya sampai ke enam hari.

Yang dimaksud dengan hari (seperti juga di perhitungan haidh, nifas, musafir dan semacamnya, tapi kalau darahnya atau sampai ke kota tujuannya dalam musafir, dimulai di siang hari hari maka satu harinya mesti sampai pada jam awal keluarnya darah atau masuknya ke kota tujuannya yakni menyertakan malam yang menjaraki kedua waktu tersebut, ini kalau selain i'tikaaf, SA) adalah dimulai dari adzan Shubuh sampai hilangnya mega merah di sebelah timur sampai melewati atas kepala kita (humrah masyriqiyyah). Karena itu tiga hari itu tidak mesti memasukkan malam akhir dari hari ke tiganya setelah hilangnya mega merah tersebut. Jadi, setelah maghrib di hari ke tiga, i'tikaafnya sudah bisa diakhiri.

e- Tempatnya:
Mesti dilakukan di empat masjid: Masjidulharam, MasjidunNabi saww, Masjid Kufah dan Masjid Bashrah.

Kalau di masjid lain, maka dengan niat rajaa'. Tapi masjid jaami'. Kalau masjidnya tidak masjid jaami' maka tidak boleh.

f- Ijin.
Maksudnya ijin dari yang wajib dimintai ijin, seperti suami bagi istrinya, orang tua bagi anaknya. Tentu saja kewajiban anak itu kalau mengkonsekuensikan hilangnya hak orang tua. Tapi kalau orang tuanya jauh misalnya, maka tidak wajib ijin.

g- Berketerusan.
Maksudnya selama tiga hari itu tidak boleh keluar masjid kalau bukan karena darurat secara akal dan syari'at, seperti buang air, bersuci dan semacamnya.

Catatan Tambahan:

- I'tikaf sunnah boleh diputus selama belum sempurna dua hari.

- Yang termasuk dibolehkan keluar masjid karena dihitung darurat seperti menjadi saksi di pengadilan, menengok orang sakit kalau memang memiliki hubungan, mengiring orang mati ke kuburan, mengiring orang bepergian, menjemput tamu dan semacamnya yang terhitung darurat secara akal, baik darurat dunia/sosial atau agama.

- Tidak boleh duduk dan lewat di bawah atap/naungan selama keluar dari masjid tersebut, selama memungkinkan.

- Kalau keluarnya dari masjid yang dikarenakan darurat itu terlalu lama hingga gambaran atau esensi i'tikaafnya menjadi rusak, maka i'tikaafnya menjadi batal.

- Bisa mensyarati i'tikaafnya untuk dihentikan kalau disebabkan adanya suatu kondisi tertentu. Misalnya, kalau suaminya datang maka akan menghentikan i'tikaafnya. Pensyaratan pembatalan ini, bisa dilakukan walau sudah masuk hari ke tiga. Tapi yang dijadikan syarat tersebut mesti bisa dan layak dibuat dan dijadikan syarat secara akal sehat. Kalau syarat penghentiannya tidak disertai adanya suatu kejadian yang layak, maka tidak boleh. Misalnya mensyarati penghentian kapan saja dia memaukannya.

5- Hukum-hukum I'tikaaf:
Diharamkan bagi orang yang melakukan i'tikaaf beberapa hal sebagai berikut ini:

a- Bersentuhan dengan keluarganya (suami-istri) yang disertai nafsu.

b- Onani (tentu saja onani ini haram dilakukan dimana saja dan kapan saja).

c- Mencium dan menikmati bebauan harum.

d- Jual beli. Dan hati-hatinya meninggalkan semua jenis bisnis perdagangan seperti sewa menyewa dan semacamnya. Dan yang lainnya tidak masalah dilakukan seperti bekerja menjahit dan semacamnya, terutama kalau memang diperlukan untuk makannya. Bahkan jual beli itupun tidak masalah kalau darurat sekali seperti untuk makannya dan tidak bisa diwakilkan.

e- Jidaal, yaitu berkata "Demi Allah", "Wallaahi" untuk menang debat, baik untuk menolak sesuatu atau menerimanya. Tapi kalau untuk membuktikan kebenaran, bukan untuk menang debat, maka tidak masalah.

Catatan:

- Semua yang membatalkan puasa, membatalkan i'tikaaf.

- JImak dan bersentuhan dengan istri yang diiringi nafsu juga membatalkan i'tikaaf sekalipun dilakukan di malam hari.

- Jimak juga membatalkan i'tikaaf sekalipun dilakukan dengan tidak sengaja seperti lupa kalau dirinya sedang i'tikaaf.

- Keharaman-keharaman yang lain, kalau dilakukan, termasuk juga menyentuh istri yang karena lupa tapi tidak sampai jimak, maka i'tikaafnya wajib diteruskan dan kelak diqadhaa' juga, kalau i'tikaafnya merupakan i'tikaaf wajib yang tertentukan harinya (misalnya nadzar i'tikaafnya di tiga hari tertentu). Tapi kalau bukan wajib yang tertentukan harinya dan pelanggarannya itu terjadi di dua hari pertama, maka i'tikaafnya diulang dari awal. Kalau pelanggarannya tejadi di hari ke tiga, maka wajib diteruskan dan setelah itu diqadhaa'.

- Kalau membatalkan i'tikaaf sunnah, juga wajib diqadhaa' kalau dibatalkan setelah sempurnanya dua hari.

- Pewajiban pelanjutan dan/atau qadhaa' pada i'tikaaf wajib di atas itu, kalau tidak disyarati dengan syarat pembatalan manakala terjadi sesuatu seperti yang sudah dijelaskan di atas. Kalau disyarati pembatalan sebagaimana yang sudah diterangkan di atas itu dan pembatalannya sesuai dengan syarat pembatalannya tersebut, maka tidak wajib qadhaa' dan/atau pelanjutan.

- Kalau membatalkan i'tikaaf dengan jimak walau di malam hari, maka wajib juga membayar kaffarah sekalipun i'tikaaf sunnah kecuali kalau berniat membatalkannya (tidak meneruskan) sebelum jimak. Dan kaffarahnya sama dengan kaffarah puasa Ramadhan.

- Kalau membatalkan i'tikaafnya dengan jimak di bulan suci Ramadhan, maka wajib membayar dua kali kaffarah. Begitu pula kalau pembatalan dengan jimak itu terjadi pada waktu puasanya puasa qadhaa' puasa Ramadhan, kalau terjadi setelah Zhuhur. Wassalam.
Suka · Balas · 1 · 8 Juni pukul 16:01


Link : https://www.facebook.com/sinaragama/posts/957273314386126


Andika Karbala. Powered by Blogger.