Friday, January 6, 2017

on Leave a Comment

Mohon dijelaskan tentang IKHLAS dan tingkatan-tingkatannya.


Link : https://www.facebook.com/andika.yudhistira.505/posts/1363684190361570


Salam Ustad,
Semoga Allah swt senantiasa mencurahkan Rahmat dan Kasih sayangNya kepada ustad dan keluarga.. Izin tanya ustad, Mohon dijelaskan tentang Ikhlas dan tingkatan-tingkatannya..
Trims ustad Sinar Agama
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Kalau antum masih ingat di catatan nomor: 17 dan 18 yang menerangkan tentang Suluuk yang berisikan pembagian amal dari yang paling dasar sampai ke tingkat Fanaa', maka di sana sudah dijelaskan yang diantaranya adalah:

a- Pembagian maqam-maqam atau derajat-derajat suluuk tersebut memiliki berbagai keterangan dan pembagian, baik rinci atau globalnya.

b- Maqam-maqam atau derajat-derajat suluuk itu memiliki 1000 tingkatan secara global dan milyaran tingkatan yang ada dimana hanya Allah swt yang mengetahui rincian-rincian dan hakikatnya.

c- Derajat-derajat itu dimulai dari 10 derajat pertama. Dari sepuluh pertama ini, masing-masingnya bercabang menjadi 10 derajat. Dan dari masing-masing 10 derajat ini, juga bercabang menjadi 10 derajat yang lain. Karena itu, semua derajat suluuk secara global itu menjadi 1000 derajat.

d- Tapi saya memilih yang penjelasan lebih sederhana lagi dari sisi pembagiannya yaitu yang hanya berkisar 300-an derajat.

e- Sepuluh derajat pertama itu adalah: Permulaan (bidaayaat), Pintu-pintu (abwaab), Jual-beli (mu’aamalaat), Akhlak (Akhlaaq), Dasar-dasar (Ushuul), Lembah (audiyah), Keadaan (ahwaal), Wilayah-wilayah (wilaayaat), Hakikat (haqooiq) dan Akhir (nihaayaat).

f- Bahwa semua derajat itu ada di semua derajat. Artinya, apapun derajat yang dicapai, maka derajat sebelumnya dan sesudahnya harus ada di derajat tersebut. Lebih jelasnya mesti saling menjiwai sesuai dengan derajat masing-masing. Misalnya, di derajat Pintu-pintu, juga mesti ada derajat Permulaan dan bahkan derajat setelahnya seperti Jual-beli, Aklak dan semacamnya. Karena itu di derajat Fanaa' yang ada di tingkat paling akhirnya dari derajat/tingkatan Akhir, juga dimulai dari Permulaan, Pintu-pintu, Jual-beli, Akhlak, Dasar-dasar dan seterusnya sampai ke Fanaa'nya Fanaa'.

g- Seribu tingkatan yang dijabarkan oleh para arif adalah derajat untuk mencapai maqam Fanaa', bukan mencapai surga. Sebab kalau hanya untuk mencapai surga maka cukup dengan tingkatan ke 2 (Taubat) dari tingkatan ke 1 yaitu yang disebut dengan Tingkatan Permulaan (Bidaayaat). Dan tingkatan ikhlashnya cukup menjauhkan diri dari niat ingin dipuji orang dan semacamnya. Yakni tidak perlu melakukan Ikhlash yang ada di tingkatan ke 4 dari 10 Tingkatan Dasar tersebut.

h- Fanaa' adalah hilangnya kemerasawujudan selain Allah swt termasuk dirinya sendiri. Ingat, bahwa ini bukan menuhankan dirinya, melainkan bahkan meniadakan dirinya dari kemerasaadaan yang ada sebelum mencapai maqam Fanaa' tersebut. Dalilnya sebagaimana sudah dijelaskan berulang kali di catatan Wahdatu al-Wujud bahwa yang ada itu hanya Allah swt, dan selainNya itu hanya esensi dan sama sekali tidak memiliki kandungan eksistensi/ada. Ada adalah ada dan begitu pula esensi adalah esensi. Jadi, esensi bukan ada dan ada bukan esensi. Nah, yang Ada hanya Yang Tidak Terbatas (tidak beresensi) sedang yang terbatas alias esensi, tidak memiliki ada. Lihat catatan Wahdatu al-Wujud yang sudah sekitar 16 seri catatan itu.

2- Yang sekarang akan ditambahkan untuk menjawab pertanyaan antum tentang derajat Ikhlash itu, adalah:

a- Derajat Ikhlash itu ada di derajat ke 4 dari derajat dasar ke 3, yaitu Jual-beli.

b- Derajat Jual-beli memiliki 10 tingkatan sebagai cabang pertama yaitu: Penjagaan, Pengawasan, Kesucian, Ikhlash, Adab, Istiqamah, Tawakkal, Penyerahan dan Menyerah.

c- Karena saya memilih yang lebih ringkas, maka saya hanya sudah dan akan menjelaskan pada masing-masing 10 derajat cabang ke dua itu, dengan 3 tingkatan/derajat saja. Karena itu, derajat Ikhlash di sini, akan dijelaskan sesuai dengan 3 tingkatan yang direncanakan tersebut sebagaimana sudah dimulai penulisannya pada beberapa tingkatan sebelumnya (lihat catatan nomor: 17 dan 18).

d- 3 tingkatan yang akan dijelaskan itu diambil dari yang paling dasar, lalu tengah dan paling akhir. Jadi, sudah bisa dianggap cukup sebagaimana sudah diterangkan di catatan nomor 17 dan 18 tersebut.

e- Dengan penjelasan ulangan dan tambahan di atas, dapat diketahui bahwa tingkatan Ikhlash ada di tingkatan ke 4 dari tingkatan ke 3 dari 10 Tingkatan Dasar. Jadi, pada hakikatnya tingkatan Ikhlash ini ada di posisi/tingkatan ke 231-240 dari 1000 derajat, atau tingkatan ke 70-73 dari 300-an derajat (yang lebih ringkas dan yang saya pilih untuk dijelaskan dimana sudah dimulai di catatan ke 17 dan 18 itu).

Dan di tingkatan bersih dari dosa ada di tingkatan Taubah yaitu di tingkatan ke 11 dari 1000 tingkatan dan tingkatan ke 4 dari 300-an tingkatan.

Sinar Agama .

3- Jawaban Soal:

a- Definisi Ikhlash adalah: Mensucikan amal/perbuatan dari segala yang merusak.

b- Dasar ayatnya seperti QS: 39:3:

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

"Ingatlah agana itu hanya milik Allah secara suci/murni."

c- Tingkatan paling dasar dari Ikhlash ini yaitu yang bisa mengantar manusia ke surga dan selamat dari neraka, adalah yang umum kita pahami yaitu mensucikan amal dari selain Allah dalam arti tidak untuk tujuan selain Allah, ampunan, pahala dan surgaNya. Maqam ini tidak menjadi sasaran penulisan tingkatan Ikhlash di sini. Sebab ikhlash yang paling dasar ini diketahui oleh semua orang dan tidak sulit dilakukan. Sedang yang kita akan bahas dalam tingkatan Ikhlash ini adalah yang mengantar manusia kepada derajat ke-manusia-annya yang diistilahkan dengan Insaan Kaamil, yang jauh berada di atas tingkatan surga.

d- Tingkatan Ikhlash secara global dalam pandangan dan jalan suluuk ini ada 3 tingkatan yaitu:

c-1- Tidak melihat amalnya sebagai amalnya dan hanya sebagai pemberian Tuhan, hingga karenanya tidak mencari pahala karena melihat dirinya tidak layak mendapatkannya (karena bukan perbuatannya melainkan taufiq dan pemberian Tuhannya), hingga karenanya dia tidak akan pernah puas dengan yang sudah diamalkan sebab dia tahu bahwa yang dituju itu bukan amal tersebut dan apalagi pahalanya melainkan makrifah dan kefanaa'an, yakni mengembalikan perasaan wujud yang dimilikinya dan yang didakwakan juga sebagai dimiliki oleh semua selainNya (makhluk), kepada Allah Sang Pemiliki Ada secara hakiki.

c-2- Malu terhadap amalnya karena melihat apa yang diberikan Tuhan kepadanya (amal tersebut) telah dia jadikan kurang, cacat dan tidak sempurna (seperti melihat wajahnya dalam cermin yang menjadi lonjong atau bulat), hingga karenanya dia selalu berusaha untuk meningkatkan dan menyempurnakan amalnya (tanpa dirasakan sebagai usahanya dan hanya sebagai pemberian Tuhannya sebagaimana di tingkatan pertama Ikhlash) secara lahiriah, tapi dalam batinnya dan tatapannya tidak melihat usaha peningkatannya itu sebagai usahanya sendiri sebab dia sudah melihat bahwa yang dilakukannya adalah pemberian Tuhan dan milikNya, hingga karena itu dia selalu melihat semua amal peningkatannya itu sebagai taufiq dari Sang Maha Pemberi semata.

c-3- Ikhlash dalam amal dengan menjauhkan amal. Yakni tidak melihat amalnya berhubungan dirinya sama sekali walau sebagai pemberian Tuhan KEPADANYA sebagaimana sebelumnya, hingga melihat perbuatannya itu semata hanya sebagai perjalanan ilmu yang menuntut kewujudannya di alam nyata yang sama sekali tidak berhubungan dengan usahanya dan apalagi balasan untuknya, hingga karena itu dirinya tersucikan dari segala warna dan pandangan kemakhlukan karena tatapannya hanya pada Sang Satu-satunya Wujud dimana selainNya hanya manifestasiNya hingga karena itu bukan makhluk yang memiliki konsekuensi ada/eksistensi/wujud.

4- Kalau antum dapat memahami dengan sepuluh kali baca, maka ketahuilah bahwa hal itu merupakan rahmat yang tergolong sangat besar dari rahmat-rahmat yang antum pernah terima. Kalau antum memahaminya dengan benar dengan membaca di bawah sepuluh kali, maka hal itu bisa dianggap sebagai mukjizat. Antum dan teman-teman lainnya bukan tidak cerdas, melainkan karena memang untuk memahaminya mesti memahami dulu barbagai kaidah Logika, Kalam dan Filsafat serta Irfan Teori (wahdatu al-wujud). Hanya kepada Allah kita wajib berlindung dari segala kekurangan dan keburukan diri kita sendiri. Semoga kita semua selalu diselimutiNya dengan hidayah, inayah, ampunan dan kalau bisa dengan ridhaNya, amin.

Andika Salam ustad, Syukron penjelasannya.. dari penjelasan ustad.. yang saya tangkap bahwa Ikhlas adalah Mensucikan amal/perbuatan dari segala yang merusak. Memurnikan amal ini terbagi menjadi 3 bagian yaitu :

1.-Memurnikan niat hanya untuk mencari Redho Allah swt semata termasuk semua yang diharapkan seorang hamba dari Allah swt seperti ampunan, pahala, syurga dan terhindar dari neraka. Hingga mencari keredhoan Allah adalah satu-satunya tujuan amal ibadahnya namun demikian tidak menafikan kalaupun kita mendapatkan semua itu semuanya hanyalah pemberian dariNya, hadiah dariNya dan bukan tujuan amal ibadahnya.

2.-Ikhlas dalam pandangan dan jalan suluk yaitu memurnikan dari kemerasa mandiri, dimana kita adalah akibat yang bergantung kepada sebabnya, mengikis habis kemerasa mandiriannya dan menyerahkan semua kepada Allah swt sebagai pemilik Ada secara hakiki.. dasar dari keyakinan ini adalah filsafat bahwa akibat sama sekali tidak bisa lepas dari sebabnya. Efek dari keyakinan ini akan membuat kita :
- Menyadari bahwa semua amal yang disangkakan milik kita ternyata hanya pemberian Allah semata, bukan perbuatannya melaikan taufik dan pemberian Tuhannya.
- Malu untuk mengakui bahwa ia telah memiliki banyak amal ibadah karena tidak ada sahamnya melainkan milik Tuhan semata.
- Terus berusaha meningkatkan dan menyempurnakan amalnya sesuai dengan ilmu aqidah dan fiqih yang benar namun tetap memandang sebagai taufik dan pemberian Tuhan.

3.-Ikhlas tingkat tinggi dimana memurnikan wujud dari selain Allah swt.. dimana Allah adalah wujud tidak terbatas sedangkan selainNya tidak wujud atau tidak memiliki Ada melainkan hanyalah manifestasi, wajah, bayangan, cermin dan semacamnya.

Mohon koreksi jika kesimpulan saya salah.

Tambahan ustad, Kaum Muktazilah seingat saya fahamnya bahwa Allah telah memberikan semua sumber daya kepada manusia hingga manusia diberikan kebebasan untuk memilih jalan hidup sesuai pilihan dan ikhtiarnya. Sedangkan dari penjelasan ustad kita manusia bukanlah mahluk mandiri sama sekali.. hingga terlihat perbedaanya sangat jauh. Lalu bagaimana memahami ikhtiar kita sebagai mahluk yang bergantung? Apakah dengan terus berusaha secara maksimal dan profesional sesuai kemampuan kita namun tetap menyadari bahwa kita adalah akibat dari Tuhan.

Hidayat Constantian *nyimak sampai pusing, hehehe

Sinar Agama Andika, antum sudah berapa kali membacanya hingga menulis yang antum tuliskan di atas itu? Antum tidak keluar dari keyakinan Sunni Asy'ariyyah yang mengimani semua nasib manusia tergantung kepada kehendak dan ketentuan Allah swt. Saya sudah bilang baca sekitar sepuluh kali, menangislah meringkuk di hadapanNya. Karena yang naik kepadaNya bukan amal melainkan ilmu makrifah dan amal shalih hanya sebagai pendorongnya sebagaimana yang difirmankanNya di QS: 35:10:

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

"Hanya kalimat yang bagus (tauhid) yang naik kepadaNya dan amal-amal shalih yang mengangkatnya."

Sinar Agama Bisa saja lahiriah tulisan antum itu mirip dengan yang ana tulis, akan tetapi dasarnya jauh beda karena itu perhatikan baik-baik sambil berdoa dan menangis kepada Allah swt.

Andika Baik ustad.. akan saya pelajari lagi lebih mendalam.. Terima kasih penjelasannya. Allahumma sholli ala Muhammad wa Aali Muhammad wa Ajjil farajahum..

Sinar Agama Andika, cara memahami masalah di level yang lebih tinggi itu mesti tidak meninggalkan level yang lebih rendah. Misalnya ketika bicara Irfan (Wahdatu al-Wujud), maka harus melalui ilmu Kalam dulu, lalu Filsafat lalu baru Wahdatu al-Wujud. Nah, ketika Ahlulbait dalam masalah Kalam ini sudah beda dengan selainnya dan jabaran poin-poin Ilmu Kalam misalnya dengan Asy'ariyyah atau/dan Mu'tazilah dan/ata Wahhabiah dan/atau yang lainnya, maka ketika naik ke pembahasan Filsafat, maka tinggal menaikkan dari Kalam Syi'ah itu, ke Filsafat. Begitu pula dari Flsafat ke Irfan. Jadi, jangan muter lagi. Misalnya ketika sudah sampai Irfan, jangan balik ke Kalam Mu'tazilah.

Kalau Kalam mesti diserpurnakan ke Filsafat dan Filsafat mesti disempurkan ke Irfan, maka yang disempurkan itu adalah Kalam Ahlulbait as (Syi'ah). Pondasi ini jangan dirobohkan, tapi disempurnakan. Karena ayat-ayat Qur an itu sendiri memang bertingkat sebagaimana difirmankan oleh Allah swt dalam QS: 39:55:

وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ

"Dan ikutilah oleh kalian yang terbaik dari apa-apa (ayat-ayat) yang telah diturunkan kepada kalian."

Jadi, kalau ayat dasar yang di Ilmu Kalam sudah dikokohkan dengan pengajaran Nabi saww yang diwariskan kepada Makshumin Ahlulbait as, maka untuk menyempurnakannya lagi ke tingkatan ayat yang lebih tinggi, maka mesti menyempurnakannya, bukan merobohkan dan menghancurkannya.

Andika Baik ustad.. jadi rumusnya ikutilah yg terbaik.. mungkin krn level saya msh di tingkat 1 yaitu masih mandiri hingga ketika berusaha naik ke level 2 bergantung masih jatuh.. dan untuk pondasi dimana jalan2 suluk yg banyak tingkatan itu ustad apa bisa diringkas bahwa kita tetaplah hamba yg harus berusaha taat mutlak.. artinya menjalankan semua perintah dan meninggalkan semua laranganNya...

Andika Jadi yang berubah adalah niat atau rasa ya ustad..

Sinar Agama Andika, memahami suluuk/irfan tidak mesti suluuk dulu, tapi memang mesti ingat semua pelajaran sebelumnya seperti Logika, Kalam, Filsafat Biasa dan Filsafat Mulla Shadra ra.

Tentang taat mutlak itu adalah derajat paling dasar yang memang wajib dilakukan manusia kalau ingin salamat dari neraka. Tapi suluk/suluuk itu dimulai justru setelah taat mutlak atau setelah bersih dari dosa dan makruh. Kalau belum bersih dari keduanya, maka tidak bisa melakukan suluuk atau sia-sia.

Andika Baik ustad.. syukron penjelasannya... Allahumma sholli ala Muhammad wa Aali Muhammad..






on Leave a Comment

Makna orang yang Fasiq dalam istilah Islam dan hadist Imam Rodho : "Jadilah engkau pencinta Keluarga Muhammad meskipun engkau seorang fasik, dan cintailah para pencinta Keluarga Muhammad meskipun para pencinta itu orang-orang fasik"

Link : https://www.facebook.com/shadra.hasan/posts/1185342628182308

Salam.
Mohon syarah riwayat berikut
Seorang penyewa unta di salah satu desa di Isfahan menyewakan untanya kepada Imam Ridha as yang akan menuju Khurasan dan meminta Imam menuliskan sesuatu untuk ia bertabaruk dengannya dan yang akan membuatnya menjadi mulia di dunia dan akhirat.
Imam menuliskan:
کُن مُحِبّاً لِآلِ مُحَمَّدٍ وَ اِنْ کُنتَ فاسِقاً و مُحِبّاً لِمُحِبّیهِم وَ اِنْ کَانُوا فاسِقینَ
"Jadilah engkau pencinta Keluarga Muhammad meskipun engkau seorang fasik, dan cintailah para pencinta Keluarga Muhammad meskipun para pencinta itu orang-orang fasik".
📚 Biharul Anwar 66/253
Trims ust Sinar Agama
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Akmal Askari salan. ust. Allahumma Shalli ala Muhammad wa Aali Muhammad

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Fasiq dalam istilah Islam merupakan lawanan dari 'Adl atau 'Aadil. 'Aadil/adil, dalam istilah Islam adalah tidak melakukan dosa, baik besar atau kecil. Sedang dosa adalah melakukan maksiat/pelanggaran hukum Tuhan dengan sengaja atau semi sengaja. Semi sengaja adalah orang yang sadar bahwa dirinya tidak tahu akan tetapi malas belajar untuk tahu.

2- Karena Faasiq lawanan dari 'Aadil, maka bararti artinya adalah yang memiliki dosa, baik besar atau kecil.

3- Kalau antum masih ingat sebuah ayat di Qur an, yaitu dalam QS: 49:6, di sana Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

"Wahai orang-orang yang beriman, kalau datang kepada kalian orang fasiq membawa berita, maka konfirmasikanlah (terlebih dahulu) oleh kalian."

Nah, faasiq di sini adalah orang yang melakukan dosa, baik besar atau kecil.

Jadi teringat tentang hukum Islam tentang pemimpin kafir. Lah, wong beritanya orang muslim yang masih memiliki dosa besar atau kecil saja tidak boleh diterima dan harus dicek dulu, apalagi kalau orang kafir. Nah, kalau beritanya saja seperti itu, apalagi mau dijadikan pemimpin yang akan memutuskan untuk muslimin mau berbuat apa dalam segala bidang kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politiknya. Kan tambah parah? Itulah mengapa saya katakan masalah larangan menjadikan orang kafir itu sebagai pemimpin adalah hal darurat fiqih dalam Islam, yang tidak perlu taqlid dan fatwa. Memang, Islam melarang paksaan. Karena itu, kalau ada orang kafir atau bahkan muslim yang memilih pemimpin kafir, maka Islam melarang kita memaksanya untuk memilih yang kita pilih atau mengamalkan Islam yang kita pahami tersebut.

4- Di sisi lain, kalau kita lihat ajaran Islam, secara pokok memiliki dua ajaran dasar: Pertama keimanan dan ke dua, hukum fiqih.

5- Dua ajaran itu, yang satu dasar dari yang lainnya dan yang lainnya merupakan cabang dari yang satu. Karena itu, yang keimanan diistilahkan dengan Ushuuluddin atau Dasar Agama/syari'at/fiqih sedang yang fiqih diitilahkan dengan Furuu' atau cabang.

6- Karena yang satu merupakan dasar dan yang lainnya merupakan cabangnya, maka sudah pasti timbangannya lebih berat keimanannya dari yang cabangnya, baik pahalanya (bagi yang beriman dan taat fiqih) atau dosanya (bagi yang kafir dan melanggar fiqih).

7- Dalam ajaran Islam yang agak panjang lebar, secara global dikatakan bahwa bagaimanapun banyaknya dosa orang yang beriman, selama dosanya bukan merupakan pengingkaran terhadap keimanannya atau tidak berefek samping pengingkaran terhadap keimanannya (seperti menolak hukumnya disamping melanggar hal-hal yang darurat dalam Islam, yakni yang mudah dipahami dan merupakan identitas Islam, seperti shalat dan semacamnya), dan sampai membunuh para nabi/rasul as, para imam Makshum as dan muslimin, maka selama apapun dia di dalam neraka, maka pada akhirnya akan dimasukkan ke dalam surga setelah dosanya bersih dengan dibakar di dalam neraka.

8- Dalam ajaran yang lain, dan sudah pernah atau sering kita bahas di facebook ini, bahwa ada ayat (QS: 4:48 ) yang mengatakan seperti ini:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

"Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik kepadaNya dan mengampuni selainnya bagi yang Dia kehendaki."

Maksud pengampunan di sini adalah pengampunan tanpa taubat. Sebab kalau dengan taubat, dosa syirikpun akan diampuni. Akan tetapi kita tidak boleh meringankan dosa, sebab belum kita yang akan dikehendakiNya untuk diampuni tanpa taubat tersebut.

Begitu pula, dosa yang dimaksud di atas adalah dosa selain syirik kepadaNya, sekalipun dosa-dosa besar.

9- Dalam ajarannya yang lain, Islam mengajarkan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan perbuatan manusia walau sebesar atom sekalipun, baik perbuatan taat atau maksiat.

10- Allah swt mensifati DiriNya dengan Rahman dan Rahim. Rahman adalah Maha Pengasih, baik kepada selain manusia atau manusia. Yang manusia, baik pada yang kafir atau mukmin. Yang mukmin, baik yang taat atau maksiat. Sifat ini berlaku di dunia. Karena itulah semua manusia bisa hidup dengan penuh kenikmatan dari sejak udara yang dihirup, makanan yang dimakan, air yang diminum dan sebagainya tanpa bisa dihitung jumlahnya.

Sedang Rahiim adalah Maha Penyayang, yaitu pada yang beriman saja, tidak termasuk orang kafir dan yang dihukumi kafir.

Tentu saja kafir yang dimurkai Tuhan adalah kafir yang dengan sengaja atau semi sengaja, yaitu yang sudah didatangi Islam dengan benar, memahami dengan benar, tahu dengan benar tentang kebenaran Islam, akan tetapi tetap tidak beriman dan memilih jalah kekafiran.

Jadi, orang kafir dan apalagi selain Syi'ah, yang belum didatangi penjelasan dengan benar tentang Islam yang benar sesuai dengan yang diajarkan para Imam Makshum as, dan sekalipun didatangi tapi belum berhasil memahaminya dengan benar, maka asal di dalam agama dan madzhabnya itu menjadi orang baik dan tidak menzhalimi orang lain, maka akan diampuni Tuhan dan akan diliputi keMahaPenyarangNya juga.

11- Dalam ajaran yang lain Islam mengajarkan bahwa menyetujui kekafiran dan kefasikan, bisa mendapatkan dosa keduanya sekalipun bukan pelaku terhadap keduanya. Jadi, Islam bukan hanya mengajarkan keimanan dan ketaatan, melainkan juga mengajarkan untuk tidak setuju dan tidak rela terhadap kekafiran dan kemaksiatan walau tidak boleh memaksakan (sudah tentu) kepada siapapun yang memilih kafir dan maksiat selama tidak mengganggu orang mukmin dan yang taat.

12- Dengan penjelasan-penjelasan di atas itu, dapat dipahami bahwa:

a- Posisi keimanan lebih tinggi dari posisi fiqih.

b- Menyepelekan fiqih seperti mengingkari hukum fiqihnya yang tergolong darurat, dalam kondisi tertentu, bisa memasukkan seseorang kepada kafir sebagaimana selalu ditemui dalam fatwa-fatwa para marja'.

c- Kita wajib menyintai keimanan dan ketaatan, atau bahkan keimanan tanpa ketaatan penuh (masih campur maksiat) sekalipun. Karena kalau cinta itu hanya untuk obyek yang tidak fasiq/fasik, maka yang wajib dicintai itu hanya orang Makshum as dan yang lainnya tidak boleh dicintai. Kalau hal ini yang terjadi, maka ajaran Islam tentang saling maaf, keharmonisan rumah tangga, keharmonisan sosial muslimin dan semacamnya, cinta orang tua, cinta anak-istri, cinta guru, cinta murid, cinta orang lemah, dan semacamnya, menjadi hancur. Karena kalau tidak makshum, akan terlarang untuk dicintai. Kalau hal ini yang terjadi, maka hancurlah ajaran Islam itu.

d- Karena menyintai kekafiran dan maksiat dilarang dalam Islam, maka pewajiban cinta kepada yang fasiq dalam hadits di atas, adalah menyintai orangnya sebagai mukmin, bukan perbuatan fasiq dan maksiatnya. Wassalam.

Dwi Terima kasih Ustadz, ini memuaskan dahaga ilmu Sy sampe menangis batin ini.....

Fahmi Husein Maskur jawabannya, namun perlu sedikit koreksi, fasiq bukan lawan kata adil, dhalim yang lawan kata adil. Mungkin lawan kata fasiq itu shalih atau taat.

Orang fasik adalah seorang muslim yang secara sadar melanggar ajaran Allah (Islam) atau dengan kata lain orang tersebut percaya akan adanya Allah, percaya akan kebenaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw tetapi dalam tindak perbuatannya mereka mengingkari terhadap Allah SWT dan hukumNya, selalu berbuat kerusakan dan kemaksiatan.

Saya masih belum menemukan hubungannya dengan pemilihan pemimpin..

Namun, bila ingin juga menanyakan, "Pemimpin kafir yang adil lebih baik dari Pemimpin muslim yang dhalim" - seingat saya, Imam Ali as.

Juga hadits:
Sabda Nabi Saw:

اتقوا دعوة المظلوم وإن كان كافرا، فإنه ليس دونه حجاب

"Waspadalah kamu terhadap doa orang yang dizalimi meskipun ia seorang kafir, karena sesungguhnya tidak ada hijab [antara] dia dengan-Nya [Allah]".

Mizanul Hikmah 2/1781; Kanzul 'Ummal, hadis no. 7600, 7601, 7602

Fahmi Husein Tambahan,

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”. (Surah al-Maidah ayat 47)

Kalau melihat ayat ini, apakah negara2 yang ada (Islam ataupun bukan) adalah kaum fasiq?

Sinar Agama Fahmi Husein,:

1- Tentang faasiq saya sudah tidak perlu memberikan tambahan. Tinggal antum terima atau tidak. Itu saja. Dan berbeda itu adalah wajar. Nanti kita di akhirat akan menjawabnya kepada Allah ketika sampai pada masalah tersebut. Karena sebesar atompun pikiran, ilmu dan perbuatan kita, akan dipertanyakan.

2- Kalau hadits tentang berhati-hatilah terhadap dakwaan orang mazhlum sekalipun kafir, maka jangankan orang kafir, binatang dan tetumbuhanpun tidak boleh dianiaya. Tapi hal tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan pemimpin kafir.

3- Siapapun yang tidak memakai hukum Tuhan secara sengaja, maka jelas zhalim dan faasiq, kecuali kalau dalam keadaan taqiah. Karena itulah saya sering menjelaskan bahwa kita wajib menyintai hukum Islam walau Islam sendiri tidak membolehkan kita untuk memaksakannya kepada orang lain sebagaimana telah dicontohkan oleh para nabi/rasul as dan para Imam Makshum as.






Andika Karbala. Powered by Blogger.