Monday, November 27, 2017

on Leave a Comment

Kebenaran yang tersingkap setelah kematian.

Salam ustad
Sebelum Imam Mahdi As masih graib maka islam yang sebenarnya kebanyakan manusia tidak mengetahuinya atau tidak menerimanya
Apakah setelah mati nanti dialam barzakh akan ada pemberitahuan dari para malaikat tentang islam yang sebenarnya yaitu islam yang di ajarkan oleh Rasulullah Saww kepada ummatnya.

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar


SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
BalasKemarin pukul 9:32
Kelola

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya yang menurut saya cukup bagus karena bisa juga kebayang oleh antum hal tersebut, ahsantum:

Untuk menjawaban pertanyaan antum, perlu kepada beberapa mukaddimah:


1- Ilmu itu adalah non materi. Pembuktiannya sudah sering saya lakukan di facebook ini dan antum bisa merujuknya. Seingat saya, beberapa hari yang lalu saya juga menerangkannya lagi. 

2- Wujud itu dibagi dua, materi dan non materi. Yang materi, karena matternya itu mengemban potensi, maka bisa bergerak menyempurna. Tapi non materi, karena semuanya de fakto (sekarang, apa adanya), maka tidak bisa menyempurna lagi. Ini juga sudah sering saya jelaskan. 

3- Manusia terdiri dari materi dan ruhani. Ruhnya memiliki empat daya: Daya-tambang; Daya-nabati; Daya-hewani dan Daya-akal.

4- Ketika manusia tidur, maka yang aktif hanya Daya-tambang (yang mengatur seperti atom-atom badan dan semacamnya seperti putaran darah dan lain-lain) dan Daya-nabatinya (yang mengatur pertumbuhannya).

Ketika manusia mati, maka yang aktif hanya Daya-tambangnya yang mengatur segala kemateriannya dari putaran atom, pembusukan dan seterusnya. 

5- Islam adalah hakikat yang sulit dijangkau sekalipun oleh Nabi saww sendiri. Karena Islam terbagi pada banyak hal seperti:

a- Tentang Allah swt. Di sini, tidak ada yang bisa memiliki pengetahuan sampai ke Allah swt. Semuanya hanya MENUJU KEPADANYA. Karena itulah Tuhan mengatakan:

- QS: 5:18:

وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ

"Dan kepunyaanNyalah kerajaan langit dan bumi dan diantara keduanya dan kepadaNyalah semuanya menjadi."

Mashiir itu menjadi, akan tetapi karena kebanyakan ahli tafsir takut syirik, maka menafsirkannya dengan Masiir, yakni kembali. Padahal Mashiir adalah menjadi, yakni shaara, yashiiru, yakni menjadi. 

Sekalipun semuanya menjadi Allah, akan tetapi Allah mengatakan dalam ayatNya itu "kepadaNya menjadi". Nah, ada kata "kepadaNya", jadi selamanya tidak bisa mencapaiNya.

Nah, Islam yang ini, tidak bisa dijangkau oleh siapapun selain Diri Allah sendiri. Dan Nabi saww, Imam Makshum as serta para wali ra serta umat, semuanya mencapat derajatnya masing-masing sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tentu saja, derajat capaian Nabi saww dan para Imam Makshum as, tidak bisa dibandingkan dengan yang dicapai orang lain sekalipun juga nabi atau rasul atau imam sebelum Islam. 

Jadi setiap orang bisa menjadi kepadaNya dalam sifat dan dzatNya akan tetapi dalam kategori "kepadaNya", bukan menjadiNya.


SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas
1
Kemarin pukul 15:32Telah disunting
Kelola

Sinar Agama .

b- Tentang Qur an. Untuk hakikat Qur an ini, karena dia sudah dikemas untuk manusia, maka bisa digapai sesuai dengan kemampuan masing-masing. Jadi, selama di dunia, setiap orang bisa menggapai Qur an yang dikatakan dalam hadits memiliki tujuh batin 
dan dari tujuh batin itu masing-masingnya masih memiliki tujuh batin lagi. 

c- Tentang Hadits. Untuk hadits ini penjelasannya sama dengan tentang Qur an. 

d- Tentang berabgai makhluk dan hakikat dalam Qur an. Tentang ini, maka setiap orang bisa mencapainya sesuai kemampuan masing-masing. Misalnya haikikat malaikat, lauhu al-mahfuuzh, surga dengan seluruh derajatnya, neraka dengan seluruh derajatnya, malaikat biasa (Barzakh atau yang juga disebut Malakuut), malaikat tinggi (Akal yang juga disebut dengan Jabaruut dan juga 'Aaliin seperti di QS: 38:75.


SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas
1
Kemarin pukul 15:30
Kelola

Sinar Agama .

6- Manusia karena di samping dia memiliki ruh juga memiliki badan, maka selama di dunia, bisa mencapai apa saja yang diinginkannya secara aplikatif, bukan keinginan perasaan saja. Karena ruh sekalipun seluruhnya de fakto, akan tetapi karena ruh berh
ubungan dengan badan (karena definisi ruh adalah non materi secara dzat tapi materi secara aktifitas), maka selama di dunia bisa menjadi apa saja yang diinginkan dan diikhtiarkannya, mau jadi malaikat paling tinggi atau jadi iblis, mau masuk surga paling tinggi atau masuk neraka paling dalam, mau menjangkau Lauhu al-Mahfuuzh atau bahkan Akal-satu, mau menjakau kedakhsyatan sifat-sifat Tuhan (walau tidak akan sampai ke akhirnya sebagaimana maklum karena Tuhan dan SifatNya tidak ada akhirnya) atau kegelepan sifat-sifat syaithan, dan seterusnya, maka manusia bisa memilih dan melakukannya. Tentu saja selama di dunia ini. Karena kemasihbersatuan ruh yang non materi dengan badan yang materi dalam seluruh dayanya yang empat (tambang, nabati, hewani dan akli).

7 Manusia ketika sudah mati, maka keterkaitannya dengan materi sudah melemah karena hanya di daya-tambang nya saja yang tersisa. Karena itu, dia sudah tidak bisa berkembang lagi, baik untuk melebihsempurna atau melebihgelap dan celaka. 

8- Jawaban Soal:

Dengan semua keterangan di atas, dapat dipahami bahwa:

a- Manusia yang masih hidup, bisa mencapai kesempurnaan dan kegelapan yang tertinggi karena masih utuh bersama dengan badan si pembawa potensi. 

b- Manusia yang mati, maka hanya bisa membawa hasil akhir apa-apa yang telah diikhtiarkannya di dunia. Itulah yang dikatakan dengan catatan amal. Yakni dicatat dalam jiwa dan ruhnya, bukan dalam kitab dan buku, atau CD dan hardisk.

c- Akan tetapi, karena di kubur itu manusia masih berhubungan dengan materi walau sedikit, yaitu dalam daya-tambag nya, maka masih bisa melihat beberapa hal yang bisa dilihat sesuai kemampuannya dan ijin serta syafaat Allah. Maksud saya, bisa melihat lebih dari sekedar hasil amal dan ikhtiarnya di dunia. 

Karena itulah saya sudah pernah menjelaskan bahwa siksa kubur itu selalu ada. Hal itu karena yang sudah tahu masuk surga sekalipun, masih merasa sedih. Dan sedih itulah siksanya. Mengapa sedih? Karena dia masih bisa melihat maqam-maqam atau derajat-derajat yang ada di atasnya. Jadi dia sedih karena tidak berbuat lebih banyak lagi sewaktu di dunia. Sedih karena tidak belajar lebih banyak tentang agama dan tidak mengamalkan lebih banyak tentang agama dan ajaran kebaikannya. 

d- Jadi, manusia ketika mati bukan melihat ajaran Islamnya sebagai ajaran. Misalnya yang tidak tahu bahwa shalat itu wajib nanti akan tahu, atau yang tidak tahu bahwa imamah itu mesti nanti menjadi tahu, atau yang tidak tahu bahwa anjing itu najis nanti jadi tahu, atau yang tidak tahu batin ke tujuh ayat fulan lalu nanti jadi tahu, bukan itu. Melainkan akan tahu hakikat isi dan Islam itu sendiri. 

Sebenarnya, setiap ajaran Islam, seperti tauhi, kenabian, imamah, Adilnya Tuhan, tidak adanya taqdir/nasib, halalnya daging sapi, haramnya daging babi, wajibnya shalat, haramnya zina dan seterusnya, memiliki makna lahir dan batin. 

Makna lahiriahnya adalah yang kita pahami di dunia ini dan kita lakukan. Sedang makna batinnya adalah hakikat dan ruhnya. Jadi, wajibnya shalat, haramnya babi, semua itu memiliki hakikat. Karena itulah Tuhan kadang menyindir hakikat-hakikat itu, seperti yang mengghibah saudara muslimnya sama dengan memakan daging bangkai saudaranya itu (QS: 49:12), yang memakan harta anak yatim sama dengan memakan api neraka (QS: 4:10); orang yang menjual ayat Tuhan (hukum Tuhan) demi harta (yakni menyembunyikan kebenaran demi harta dan pangkat) dikatakan tidak makan kecuali api (QS: 2:174). Apalagi kalau membaca hadits isra' mi'rajnya Nabi saww maka beliau saww melihat di neraka manusia-manusia yang berwajah anjing dan semacamnya. 

Semua itu adalah makna batin dari semua ajaran Islam. Tauhid, kenabian, keimamahan dan semuanya termasuk fiqih, adalah suatu ajaran lahir yang memiliki hakikat batin alias non materi. 

Nah, manusia yang sudah mati, maka hanya bisa melihat apa-apa yang diketahui dan diamalkan dari agama Islam ini. Sedang yang tidak diketahuinya dan tidak diamalkannya, maka tidak akan ditunjukkan kecuali sesuai dengan kemampuannya menerima syafaat Tuhan untuk melihatnya. Akan tetapi, syafaat penunjukan ini, bukan syafaat mencapainya. 

Syafaat penunjukan ini terjadi karena kemasihterhubungan ruh yang non materi dengan materinya walau secara lemah sebagaimana maklum. Syafaat seperti ini, masih berlaku di Makhsyar dan pengadilan Tuhan dimana kelak semua makhluk akan dikumpulkan di sana (bukan hanya manusia, sebagai ayat di atas yang mengatakan semuanya menjadi kepadaNya).

Walaupun di akhirat yang maksudnya di makhsyar itu ruh manusia sudah tidak berhubungan lagi dengan badannya, akan tetapi karena mungkin baru terlepas dari materinya, maka masiih bisa mengalami masa saling melihat maqam dan derajat masing-masing dan orang lain sesuai potensinya masing-masing dan mungkin juga karena syafaat Tuhan demi terwujudnya pengadilan yang seadil-adilnya.

Akan tetapi setelah semuanya masuk surga dan neraka, maka sudah bisa lagi melihat maqam/derajat, selain maqam dan derajat dirinya sendiri dan yang sederajat dengan dirinya. 

Dan derajat itulah yang saya maksudkan ajaran Islam dalam artian sesungguhnya atau makna batinnya. Jadi, yang masuk nerakapun melihat Islam, akan tetapi dalam aspek itu saja. Tapi selagi di kuburan sebelum kebangkitan, atau setelah kebangkitan sebelum masuk surga dan neraka, maka masih bisa melihat derajat yang bukan derajatnya. Yakni bisa melihat hakikat dan batin Islam yang di atas derajat yang dicapainya. Akan tetapi bukan berarti menjangkaunya. Jangkauannya hanyalah sejauh apa dia belajar agama dan hakikatnya dan sejauh mana dia mengamalkan dengan ikhlash semua ilmu agama yang diketahuinya itu. Wassalam.


SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas
1
Kemarin pukul 16:01Telah disunting

Sumber : https://

www.facebook.com/sinaragama/posts/1440361179410668
on Leave a Comment

Takdir yang difahami kaum Jabariyah/Kadariyah serta bedanya dengan Muktazilah, Bagaimana dengan Syiah Imamiyah?


Salam ustad mana yg paling tua jabariyah/qadariyah? Serta apakah qadariyah sama dengan mu'tazilah?
Dan apakah para imam as beraqidah mu'tazilah?
Terimah kasih
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Sebenarnya istilah Qadariah itu dinamakan pada golongan Asy'ariah yang Jabariah (Sunii yang percaya rukun iman ke 6-nya yang dibuat sendiri, yaitu semua nasib manusia sudah ditentukan Tuhan), dan juga Mu'tazilah
 (Sunni yang tidak percaya rukun iman ke 6 buatan Asy'ari itu, dan karenanya tidak percaya penasiban dan penaqdiran tersebut). Tentu dengan maksud berbeda. Tapi belakangan istilah Qodariah hanya dipakaikan untuk golongan Sunni Asy'ariah yang memiliki arti semua nasib manusia sudah diqadarkan oleh Tuhan, dan Ikhtiariah dinamakan pada golongan Sunni yang Mu'tazilah (yang tidak percaya takdir manusia).

2- Yang paling tua kalau dilihat dari peristilahan tersebut di atas, maka Asy'ariyyah. Sebab Mu'tazilahlah yang pergi meninggalkan majilisnya yang mengajarkan akidah Qodariah itu. Makanya diistilahkan dengan i'tizaal dan orangnya disebut Mu'tazilah. Yakni yang meninggalkan majlis (taklim).

3- Tapi kalau dilihat dari sejarah hakikat Islam, maka ketidakimanan pada Qodariah atau Jabariah itulah yang paling tua. Sebab dialah ajaran hakiki Islam. Yaitu ikhtiariah. Maksudnya semua nasib manusia ditentukan oleh pilihan dan ikhtiarnya sendiri. 

Dalam ayat-ayat dan hadits-hadits, tidak bisa dihitung jumlahnya yang menerangkan tentang keberikhtiaran manusia itu. Dan hanya satu ayat yang disalahtafsirkan oleh Sunni Asy'ari hingga meyakini penasiban atau penaqdiran itu, yaitu QS: 6:59:

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

"Dan Dia memiliki kunci-kunci keghaiban, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia tahu apa-apa yang di darat dan di laut, dan tidak jatuh satu daun kecuali Dia mengetahuinya, dan tidak pula satu biji di dalam kegelapan bumi, baik basah atau kering, kecuali ada di dalam kitab yang agung (Lauhu al-Mahfuuzh)."

Nah, karena ditulis di Lauhu al-Mahfuuzh itulah maka ditafsirkan bahwa semua nasib manusia sudah ditulis dan karenanya tinggal melakukannya saja di muka bumi dengan mengikuti tulisan itu. Itulah yang dikatakan penaqdiran dan menjadi Qodariah.

Padahal Tuhan sedang menceritakan tentang ilmuNya dan kunci-kunci ilmuNya. Jadi, kalau semua hal sudah ditulis di kitab lauhu al-mahfuuzh itu, maka sudah tentu ditulis dengan lengkap. Misalnya, si Fulan, pada tanggal sekian dan jam sekian DENGAN IKHTIARNYA SENDIRI melalukan shalat malam. Begitu pula dengan hal-hal lain yang berkenaan dengan perbuatan dan ikhtiar manusia. 

Nah, jadi Tuhan mengetahui dan bukan menentukan. TulisanNya itu adalah pengetahuanNya tentang apa saja termasuk perbuatan dan ikhtiar manusianya. Kalau dari awal ditentukan Tuhan, maka buat apa ada hari Hisab kelak di akhirat. Kan kalau kita ditanya malaikat: "Mengapa kamu bermaksiat?" Kan tinggal menjawab: "Wong aku mengikuti yang ditulisNya kok?"

4- Imam Ali as sesuai dengan ajaran Nabi saww yang paling gigih mengajarkan dan memahamkan hal ikhtiar manusia ini kepada umat. Suatu hari beliau as duduk di bawah naungan tembok. Yakni berteduh di bawah tembok dari panasnya matahari. Kemudian beliau as melihat tembok itu miring. Karena itu beliau pindah tempat. Ada orang yang meyakini Islam secara salah yaitu meyakini keqadariahan itu, menegur imam Ali as:

"Wahai Ali, mengapa kamu berpindah tempat?"

Imam as menjawab: "Karena temboknya miring dan aku khawatir roboh kemudian menimpaku."

Orang itu: "Ya Ali, kalau kamu tidak ditentukan mati dirobohi tembok ini, maka sekalipun kamu tidak pindah, kamu tidak akan mati. Kalau sebaliknya, maka kamu akan mati."

Imam as menjelaskan kepada orang itu tentang masalah taqdir dan ikhtiar itu. Setelah menjelaskan panjang lebar, imam Ali membalikkan masalahnya dan berkata:

"Kalau kamu memang percaya dengan keyakinanmu itu, yakni percaya bahwa semua sudah ditaqdirkan mestinya kamu sudah mengerti dari awal bahwa ketika aku pindah itu, berarti sudah ditaqdirkan Allah untuk berpindah."

Orang itu: Bungkam.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas
2
24 November pukul 14:56
Kelola

Sinar Agama .

Bagus kalau saya nukilkan di sini, pernyataan antum di diskusi sebelumnya yang sudah ana komentari, yaitu:


Yusril Crow: Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu, kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (H.R. Muslim, no. 6925)

terimah kasih

Asri Rasjid: salam...

Sinar Agama: @Yusril Crow,:

1- Hadits itu sangat bertentangan dengan semua isi Qur an yang mengatakan bahwa apapun kebaikan dan keburukan manusia itu dilakukan dengan ikhtiarnya sendiri dan akan dimintai tanggung jawab. Kalau sudah ditulis dalam arti ditaqdirkan, maka sudah pasti tidak perlu hisab dan adzab. Wong Tuhan kok yang menaqdirkan.

2- Kalau semua dikatakan semua manusia ditaqdirkan berzina, maka semua anbiyaa' (para nabi dan rasul as) juga ditaqdirkan demikian. Na'udzhubillah. Apalagi kalau para nabi dan rasul as itu contoh bagi umat, maka semua wajib mencontoh untuk berzina sampai sebelum kemaluan. Yakni dimulai dari zina mata sampai zina tangan dan kakinya.

3- Sekalipun hadits itu oleh orang Sunni bisa dikatakan shahih karena ditulis di shahih Muslim, akan tetapi matannya atau kandungannya, tidak bisa dianggap shahih karena sangat bertentangan dengan akal, Qur an dan hadits-hadits yang lain.

Apalagi Tuhan mengatakan yang baik dari Tuhan dan yang buruk dari kamu (QS: 4:79):

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

"Apa-apa yang baik yang menimpamu maka itu dari Allah dan yang apa-apa yang jelek menimpamu maka hal itu dari diri kamu sendiri."

Setidaknya dalam hal keburukan, dari manusia sendiri, bukan dari ketentuan Tuhan. Sedang yang baik maka sudah pasti dariNya akan tetapi bukan melalui ketentuan dan penaqdiranNya, melainkan dari DiriNya yang merupakan sumber kebaikan seperti ilmu, fiqih, hukum, hidayah, pertolongan dan semacamnya. Manusia layak ditolong atau tidak, maka tergantung bagaimana dia menggunakan akal dan ikhtiarnya.

Dengan demikian jelas hadits di atas bertentangan dengan Qur an dan tidak boleh dipakai sebab Nabi saww sendiri yang mengatakan bahwa apapun yang datang dari beliau saww yakani yang diriwayatkan dari beliau saww akan tetapi kalau bertentangan dengan Qur an, maka pasti bukan dari diri beliau saww. Karena itu, hadits tersebut sama sekali tidak bisa dipakai.

4- Lagi pula haditsnya berbunyi seperti ini:

6925 - حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا أَبُو هِشَامٍ الْمَخْزُومِىُّ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ ».

"Telah dituliskan ke atas anak-anak Adam bagiannya dalam zina .....dst"

Hadits ini, walau sudah dikatakan tidak shahih dengan alasan di atas, masih bisa ditakwilkan kepada yang shahih atau setidaknya rada shahih, misalnya:

a- Dalam hadits itu tidak dikatakatan: "Telah dituliskan kepada seluruh anak Adam", tapi hanya dituliskan: "Telah dituliskan ke atas anak-anak Adam." Begitu pula, dikatakan dalam hadits itu: "nashiibuhu minazzina" atau "bagiannya dari zina".

Kedua kalimat di atas, bisa menunjukkan bahwa tidak pada semua anak-anak nabi Adam, melainkan hanya pada orang-orang yang mengambil bagian dari zina tersebut, baik zina mata, tangan, kaki dan seterusnya.

b- Kutiba yakni dituliskan. Dan saya sudah menjelaskan di atas dan di berbagai tempat bahwa yang dituliskan Allah itu adalah ilmu Allah tentang apa saja termasuk tentang ikhtiar dan perbuatan manusia. Jadi, penulisan itu bukan penaqdiran dan penasiban, melainkan ilmu Allah swt yang tahu sebelum kejadian. Jadi, yang dituliskan adalah: "Anak-anak Adam yang mengambil bagian dari zina DENGAN IKHTIARNYA SENDIRI, baik zina mata, tangan, kaki dan seterusnya."

c- Kalau mau diartikan penulisan tanpa bisa ditolak yang sebagai taqdir, dan terhadap semua perkara manusia, maka mengapa di bagian zina kemaluan dikatakan: "Lalu, kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” Di sini mengapa Tuhan tidak menuliskan apakah kemaluannya membenarkan hingga dia zina kemaluan, atau mengingkari hingga tidak melakukan zina kemaluan walaupun telah melakukan zina-zina yang lainnya?

Dengan demikian maka hadits itu tidak bisa dipakai, dan kalau mau dipakaipun maka mesti ditafsirkan dengan yang sesuai Qur an dan akal sehat. Karena itu, hadits itu anggap saja benar, maka artinya bukan penaqdiran melainkan ilmu Tuhan yang dituliskan di Lauhu al-Mahfuuzh terhadap manusia-manusia yang mengambil bagian dari zina sesuai dengan ikhtiarnya sendiri. Dan karena ilmu Allah itu pasti benar, maka Nabi saww mengatakan (anggap haditsnya benar): "..dan hal itu pasti terjadi tanpa keraguan...."

Jadi, kepastian itu bukan karena dituliskan Allah swt, melainkan karena Allah tahu secara pasti kepastian pilihan dan ikhtiar manusia yang mengambil bagian dari zina tersebut. Semoga dapat menerangi kegelapan yang berabad, amin.
Suka
· Balas · Dikomentari oleh Nuruddin SA · 4 menit
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas
4
24 November pukul 15:38
Kelola

Yusril Crow Mantap terimah kasih banyak ustad.. sy memang punya pendapat sama dgn Quraish shihab yg pendapat takdirnya sama dgn antum sy bkn jabariyah. Sy bertanya hny ingin liat tanggapan antum, sungguh ksian mereka yg tidak tah bahasa arab tapi sudah mempelintir hadits
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas24 November pukul 15:51
Kelola

Hendy Laisa seperti biasa..........
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas24 November pukul 17:11
Kelola

Hendy Laisa problem solvedLihat Terjemahan
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas24 November pukul 17:11
Kelola

Mohammad Fadel afwan ustadz, mungkin yang memercayai Penaqdiran nasib (Percaya terhadap iman ke-6) itu Jabariah bukan Qodariah.
Qodariah=Mu'tazilah=Freewild VS Jabariah=Asy'ariah=Determinis
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas24 November pukul 20:38Telah disunting
Kelola

Yusril Crow Ya qadariyah sebutan utk mu'tazilah

Tapi klo asy 'ari itu agak beda dgn jabariyah gk sama. Klo bedanya as'ari dgn mutazilah Misalnya mutazilah mengatakan qur'an itu makluk sedangkan asy'ari mengatakan dia itu qalamullaah
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas24 November pukul 20:21Telah disunting
Kelola

Mohammad Fadel "Dan Dia memiliki kunci-kunci keghaiban, tidak ada yang mengetahuinya KECUALI DIA SENDIRI, ..."

maksud ayat diatas berarti tidak ada yang mengetahui Lauhu Al-Mahfuuzh KECUALI DIA SENDIRI. dan dalam gradasi wujud lauhu Al-Mahfuuzh berada di Aqal akhir.
 berarti dengan demikian SELAIN DIA tidak dapat mencapai Aqal Akhir (LauhulMahfuzh) lebih lagi Aqal-satu.
lalu bagaimana dengan pencapaian seseorang yang sampai di Aqal-Satu, Apakah tidak bertentangan?

penjelasannya ustadz..
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas24 November pukul 20:49Telah disunting
Kelola

Sinar Agama Yusril Crow dan Mohammad Fadel, saya sudah katakan bahwa penamaan Qodariah itu untuk yang percaya taqdir dan yang tidak (Mu'tazilah). Tapi kalau sekarang-sekarang ini dikatakan Qodariah, lebih cenderung pada Asy'ariyah yang percaya rukun iman ke 6 mereka itu. Apapun itu, penamaan tidak penting karena memang saling silang karena kadang keluar dari penjulukan lawan-lawan bicaranya. Qodariyyah adalah pengtaqdiran. Nah, ini lebih cocok untuk Asy'ariyyah. 

Yang lebih bagus penamaannya pakai Asy'ariyyah dan Mu'tazilah saja. Sementatara Syi'ah, Amrun Baina al-Amrain, yakni di tengah-tengah dari dua keyakinan itu. Dan saya sudah sangat banyak mengulang masalah ini di facebook, tolong antum rujuk ke sana kalau penjelasan-penjelasan di atas dan beberapa hari ini, masih dirasa kurang cukup. Atau kalau sudah membacanya akan tetapi masih memilii ganjalan, maka boleh ditanyakan lagi.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
BalasKemarin pukul 10:33
Kelola

Sinar Agama Mohammad Fadel, ketika Tuhan mengatakan "Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri", maka maknanya bisa dua:

a- Tidak ada yang mengetahuinya betul-betul secara mutlak kecuali Dirinya sendiri. Misalnya tidak tahu Diri Tuhan kecuali Dia sendiri. 


b- Tidak ada yang mengetahuinya secara mandiri. Misalnya Akal-akhir yang merupakan Lauhu al-Mahfuuzh. Lah, kan Akal-akhir itu sendiri tahu tentang dirinya bukan? Kalau begitu apa maksud Allah ketika mengatakan "Tidak ada yang tahu kecuali Dirinya sendiri?" Maksudnya adalah tidak ada yang tahu secara mandiri. Jadi, Akal-akhir, Akal-sebelum-akhir sampai ke Akal-satu yang tahu isi Lauhu al-Mahfuuzh itu, juga tahu akan tetapi tidak secara mandiri melainkan diberitahu Tuhan. Begitu pula para nabi, rasul, imam dan wali yang sampai Fanaa'. Mereka semua tahu isi Lauhu al-Mahfuuzh, akan tetapi karena diberitahu Allah swt, yakni tidak mandiri.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
BalasKemarin pukul 10:37
Kelola

Andika Allahumma sholli ala Muhammad wa Aali Muhammad..
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas22 jam
Kelola

Carbela RafaFx Nyimak
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas21 jam




Sumber : https://www.facebook.com/sinaragama/posts/1439228629523923
Andika Karbala. Powered by Blogger.