Sunday, August 14, 2016

on Leave a Comment

Mohon penjelasan hadis Imam Ali: "Siapa yg mengasingkan diri dari masyarakat akan selamat dari kejahatan mereka." (Ghurar al-Hikam)

Link : https://www.facebook.com/sinaragama/posts/979268158853308

Shadra Hasan ke Sinar Agama
13 Juli
Assalamu'alaikum ustadz,saya ingin bertanya ttg penjelasan hadis Imam Ali: "Siapa yg mengasingkan diri dari masyarakat akan selamat dari kejahatan mereka." (Ghurar al-Hikam)
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya: Yang tahu betul makna hadits itu adalah makshumin as. Tapi karena diucapkan untuk kita juga, maka kita boleh merabanya. Rabaannya mungkin seperti berikut:

a- Dilihat de fakto masyarakatnya.

a-1- Kalau masyarakatnya secara umum tidak taqwa kepada Allah swt, misalnya tidak menggunakan hukum Islam dalam segala aspek kehidupannya dan bahkan cara berfikir dan cara menyinta dan membencinya, maka masyarakat seperti ini sangat berbahaya dan secara umum akan memberikan mudharat. Karena itu, menjauhi mereka akan mendapatkan kebaikan dari sisi ini.

a-2- Kalau masyarakatnya secara umum merupakan masyarakat taqwa, yaitu yang menggunakan hukum Islam dalam segala aspek kehidupannya bahkan dalam cara berfikiri, beridola, bercita dan bercinta (juga membenci) dan semacamnya, maka masyarakat seperti ini secara umum akan banyak memberikan manfaat. Karena itu menjauhi mereka akan memberikan kerugian kepada kita.

a-3- Kalau masyaratkanya campuran antara yang taqwa dan yang tidak taqwa, maka menjauhi keduanya merupakan kerugian karena akan menjauhi sebagian yang taqwa itu. Padahal agama dan akal serta hadits-hadits lainnya menganjurkan kita untuk bergaul dengan orang-orang taqwa. Apalagi kalau yang bertaqwa itu memiliki ilmu pengetahuan agama yang baik, banyak, benar dan jelas.

b- Karena hadits itu bukan satu sebagaimana yang ditanyakan itu, melainkan ribuan jumlahnya dimana diantaranya memerintahkan kita untuk bergaul dengan yang taqwa dan apalagi berilmu hingga dikatakan melihat wajah ulama saja sudah ibadah dan mendapat pahala, dan begitu pula pewajiban amar/amr ma'ruuf dan nahi mungkar kepada kita demi melakukan pencegahan atau penanggulangan kemaksiatan dari yang tidak taqwa, maka meraba hadits di atas itu dapat dilakukan sebagai berikut:

b-1- Untuk yang taqwa, jelas tidak dijauhi terutama yang berilmu gamblang dan penuh ketawadhuan asli (bukan palsu) dan pengamalan ilmunya.

b-2- Untuk yang tidak taqwa, selama bisa memberikan amr ma'ruf dan nahi mungkar, maka sebaiknya melakukan amr ma'ruuf dan nahi mungkar. Akan tetapi bukan berarti mesti bergaul sepenuh jiwa dan raga dengan mereka karena bisa memberikan mudharat.

b-3- Kalau bidang tidak taqwanya itu jelas, seperti pemaksiat dalam pergaulan, korupsi, pencuri, penipu dan semacamnya, maka sangat ditekankan untuk berhati-hati di bidang-bidangnya itu. Kasarnya jangan bergaul di bidang-bidang tersebut.

b-4- Secara umum hadits di atas juga bisa dirabakan sebagai penjauhan pergaulan yang sampai ke tingkat merugikan atau mengkhawatirkan. Karena itu, kalaulah mesti bergaul dengan mereka, maka bergaullah dalam bentuk lahiriah saja supaya terjaga dari kejahatan mereka yang lebih parah, sedang hati dan akalnya mesti dikokohkan dan juga mesti waspada. Jadi, kita bisa melakukan pergaulan basa basi saja agar kita tidak terjerat dalam kejahatan mereka atau menjadi obyek kejahatan mereka.

SukaBalas114 Juli pukul 9:09

Zhaluman Jahulan Afwan nyambung Ustad, bagaimana menghadapi masyarakat yg udah merasa benar sendiri & gak butuh kebenaran, atau menghadapi takfiri. Dilingkungan sy takfiri nya gencar banget ngejelek2 in syi'ah sampe2 sy harus menyembunyikan identitas.

Andika Allahumma sholli ala Muhammad wa Aali Muhammad..

Sinar Agama Zhalum Jahul, :

1- Menghadapi masyarakat yang merasa benar sendiri itu tergantung keadaan, baik keadaan masyarakatnya dan keadaan yang menghadapi. Misalnya, kalau yang menghadapi tidak berbekal ilmu walau sedikit, maka tidak akan mampu menghadapi masyarakat yang benar sendiri itu dalam segala kondisinya. Atau kalau masyarakat yang benar sendiri itu sudah tidak mau lagi mendengar apapun, maka seperti apapun alimnya yang menghadapi, tetap akan kesulitan menghadapi dan menyikapinya.

2- Akan tetapi kalau yang menghadapinya itu orang Syi'ah yang dulunya Sunni atau Wahabi, maka sedikit banyak bisa melakukan hal-hal positif terhadap masyarakat yang seperti itu. Tentu kalau diserati dengan argumentasi dan ketawadhu'an selalu walau pada pengejek sekalipun. Tawadhu' di sini maksudnya adalah tetap bertahan dengan argumentasi dan tidak masuk ke dalam kancah cela mencela.

3- Bagi saya senjata paling ampun untuk Wahabi dan siapa saja, adalah makshum. Logika makshum ini dapat dijadikan apa saja, misalnya:

a- Kalau tidak ada makshum setelah Nabi saww, lalu buat apa kita diwajibkan Tuhan meminta jalan lurus dalam setiap shalat ketika diwajibkan membaca surat Faatihah? Bukankah jalan lurus itu adalah jalan Islam yang ilmunya lengkap seratus persen dan benar seratus persen? Emangnya kalau ilmu dan amalnya lengkap dan benar seratus persen, tidak dikatakan makshum?

b- Kalau jalan lurus itu adalah makshum dan makshum tidak ada setelah Nabi saww, mengapa kita meminta jalan lurus? Bukankah meminta jalan lurus itu tandanya meminta kemakshuman?

c- Kalau makshum alias pasti lengkap dan benar itu tidak ada setelah Nabi saww, lalu mengapa kamu merasa benar secara pasti? Apalagi benar sendiri lagi?

d- Kamu yang merasa benar sendiri itu kan sama dengan berkata seperti ini:

"Syi'ah itu sesat karena mengimani para imam mereka itu makshum dan pasti benar. Itu salah dan sesat secara pasti. Karena tidak ada yang makshum selain Nabi saww dan ilmu serta penyataan saya ini begitu tentang Islam yang saya pahami ini."

Karena "maling teriak maling" itu adalah maling teriak bukan maling untuk dirinya sendiri, karena memalingkan orang lain dan bukan dirinya yang maling sesungguhnya, maka "bukan makshum teriak makshum" bisa dikatakan "maling teriak maling", atau "sesat teriak sesat".





0 comments:

Post a Comment

Andika Karbala. Powered by Blogger.