Friday, May 27, 2016

on Leave a Comment

Menikah dapat menyempurnakan separuh agama, Apa Maksudnya? Bagaimana ukuran minimal kesempurnaan agama nya orang yang tidak maksum?


Link : https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=929842510462540&id=207119789401486

Aif Al Akif ke Sinar Agama
22 April
salam ustadz
izin bertanya ustadz
1. Apa makna dari hadits " Menikah dapat menyempurnakan separuh agama"?
2. Adakah ibadah/ sunah lain yang dikatakan sebagai separuh agama?
2. Bagaimana ukuran minimal kesempurnaan agama nya orang yang tidak maksum?
syukron ustadz
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya: Sepertinya sebagian pertanyaan antum ini sudah pernah dibahas sebelumnya. Mungkin secara pengulangan dan ringkasan bisa dikatakan sebagai berikut:

1- :

a- Yang tahu rahasia separuh atau dua pertiga Islam kalau seseorang sudah melakukan perkawinan, adalah Allah swt sendiri. Dan dariNya diberikan kepada kanjeng Nabi saww dan Ahlulbait as serta para auliaa'Nya.

Riwayatnya juga ada yang berbunyi: "Siapa yang melakukan perkawinan maka dia telah menjaga separuh agamanya."

b- Kalau sekedar meraba maka bisa banyak sekali hal hingga bisa menjadikan seseorang mencapai separuh atau dua pertiga agamanya dengan melakukan perkawinan. Dengan kelemahan ilmu yang ada dan dengan ijin takwiniNya saya akan mencoba memberikan pemancing terhadap perenungan antum semua terhadap hikmah-hikmah Tuhan yang menghujan tanpa henti sepersejuta detikpun. Beberapa hal secara globalnya mungkin dapat dirabakan sebagai berikut:

b-1- Sebagai poin pertama yang mesti saya tekankan di sini adalah: Secara pasti atau setidaknya lebih memastikan, bahwa yang akan mendapatkan fadhilah kawin itu adalah orang yang kawinnya karena Allah swt, bukan karena cinta, harta, pelezatan seksual dan semacamnya.

KekarenaanAllah swt itu juga sangat banyak gradasi dan tingkatannya, misalnya:

b-1-a- KekarenaanAllah dari sisi kehalalan saja. Yakni di dalam kawinnya itu, hanya sekedar supaya tidak jatuh kepada yang haram. Hal ini sebenarnya sudah teramat tinggi lantaran kawinnya murni karena Allah swt dalam arti kehalalanNya semata, tanpa campuran gebuan dan pengejaran pada dunia seperti kemolekan, kegagahan, seksual, harta, martabat sosial-politik, dan semacamnya.

Orang Indonesia kalau melakukan ini, yakni di negara yang bisa dikatakan tenggelam dalam lautan maksiat yang meraja lela (tidak tersembunyi lagi), sudah bisa dikatakan bisa terbang melesat ke derajat tinggi. Tentu kalau dibarengi dengan ketaatan yang benar, yakni dengan fiqih yang benar dalam segala halnya, baik ibadah pribadi, keluarga atau sosial politik.

Kemelesatannya itu karena dari satu sisi Indonesia tenggelam dalam dosa/maksiat yang merajalela (seperti pacaran dan perzinaan, korupsi dan hal-hal lain yang sulit dihitung jumlahnya) sedang dari sisi yang lain dia sudah melepaskan diri dari semua efek buruk sosialnya itu, tidak tenggelam dan bahkan mencari perisai untuk mempertahankan dirinya. Tak perduli wanita yang akan dikawininya itu molek atau tidak, lelakinya yang akan diterima sebagai suaminya itu gagah atau tidak, punya harta atau tidak, punya jabatan sosial dan pemerintahan atau tidak dan semacamnya. Sebab yang penting baginya adalah pasangan (suami atau istri) yang taqwa yang dapat menyelamatkan dirinya dari semua efek buruk maksiat pribadi dan sosial yang meraja lela itu.

Orang yang tidak memplototi (baca: mengidamkan) wajah dan badan lawan jenisnya untuk dicari mana yang lebih menggairahkan hingga dijadikan pasangannya (dikawini), orang tidak mempolototi segala macam kredibilitas harta dan sosial-politik dari lawan jenis atau keluarga lawan jenis yang akan dipilih menjadi pasangan hidupnya, dan semacamnya, di kehidupan masyarakat dari suatu negara yang ancur (sangat hancur) dalam maksiat terang-terangan dan meraja lela yang bahkan dipancarkan dalam TV-TV negri dan swasta tanpa protes dari para ulamapun (seperti film dan serial pacaran dan semacamnya), maka akan mendapatkan poin penting dari Allah swt ketika yang menjadi idamannya hanyalah selamat dari maksiat kepadaNya dan kawinnya benar-benar dijadikan alat untuk melindungi diri dan membentenginya dari kemaksiatan.

Catatan: Saya tidak akan membahas yang berdimensi ganda, seperti mencari dunia, kemolekan, kegagahan, harta, penyaluran seksual, jabatan dan semacamnya yang dicari dalam di naungan kehalalan Tuhan. Yakni bercampur antara Tuhan dan selainNya dalam tujuan perkawinannya. Saya tidak mau membahas ini karena akan terlalu panjang, baik esensi-esensinya, efek-efeknya, dan apa saja yang menyangkutinya.

Sinar Agama .

b-1-b- KekarenaanAllah swt dari sisi ingin menumpuk kebaikan yang disukaiNya, seperti menambah kewajiban-kewajiban syari'at seperti wajib melindungi, mengasihi dan menyantuni istri/suaminya, wajib memberikan nafaqah (bagi suami) dan pelayanan seksual (bagi seorang istri), mengajari kekurangan agama masing-masing antara suami-istri, melindungi dan menghidupi anak-anak yang akan dilhahirkan dan mengajari mereka untuk mendapatkan ketaqwaan profesional, dan semacamnya dari kewajiban-kewajiban yang tidak ada ketika belum melakukan perkawinan.

Kasarnya, kalau poin (b-1-a) sekedar untuk melindungi diri dari maksiat, tapi yang poin (b-1-b) ini adalah untuk mengejar pahala yang banyak dari beban-beban kewajiban yang logis dan agamis yang tidak ada ketika belum melakukan perkawinan.

b-1-c- KekarenaanAllah swt dari sisi mutlak atau secara penuh. Yaitu benar-benar karena Allah swt, bukan karena ingin menghindari maksiat karena dia sendiri bukan hanya tidak bermaksiat bahkan sama sekali tidak berfikir sekalipun untuk melakukan maksiat. Bukan pula ingin menumpuk pahala karena seluruh ketaatannya sudah diniatkan karena Allah swt secara murni tanpa campuran apapun, baik pahala atau surga (karena benar-benar mencintai Allah akan tetapi bukan berarti meremehkan pahala -tidak hormat- dan surgaNya, sudah tentu).

Orang di tingkatan ini sudah tidak melihat apapun selain WajahNya. Dunia baginya sudah bukan badani dan lahiri, melainkan benar-benar kewajahanNya. Yakni tanpa ada syahwat, asyik, lezat dan semacamnya terhadap dunia dan selain Allah swt.

Catatan:
Di masing-masing tingkatan di atas dan jarak antara satu derajat dan yang lainnya, terdapat milyarand tingkatan sesuai dengan derajat capaian masing-masing.

Sinar Agama .

b-2- Setelah kita melewati pembahasan Niat Kawin di atas, maka sekarang kita akan membahas rabaan terhadap hikmah perkawinan yang dikatakan sebagai separuh atau dua pertiga agama. Tentu saja sekali lagi bahasan ini sebagai pengembangan bahasan niat perkawinan yang sudah benar di atas itu. Sedang niat yang tidak benar seperti mencari kemolekan dan dunia yang dalam naungan halal, walaupun tidak bisa dipastikan keluar dari bahasan selanjutnya atau tidak bisa dipastikan keluar dari hikmah perkawinan yang akan dirabakan setelah ini, akan tetapi saya tidak berani memasukkannya. Setidaknya hal ini lebih aman, bagi saya dan para pembaca untuk mengambil sikap dalam kawin atau taubat dalam kawin dari niat yang tidak benar. Karena menurut saya hal ini lebih aman dari sisi keterterimaan amal taat kawin kita kepada Allah swt, Allahu A'lam.

Untuk meraba hikmah perkawinan itu, maka beberapa poin berikut ini akan dapat memberikan pencerahan insyaaAllah, yaitu:

b-2-a- Kewajiban Islam itu jelas banyak sekali. Dari masalah pribadi seperti shalat dan puasa, sampai ke masalah-masalah keluarga, sosial dan politik.

b-2-b- Persentase kewajiban itu dapat dibedakan antara orang yang tidak punye keluarga dan yang memilikinya. Sebab banyak sekali kewajiban-kewajiban yang ada pada masa setelah perkawinan ketimbang kewajiban-kewajiban sebelum perkawinan.

b-2-c- Mungkin dilihat dari sisi persentasinya, bisa dikatakan separuh agama atau dua pertiganya. Memberi nafkah/nafaqah, memberikan pelayanan seksual, mendidik anak yang tidak ada hentinya, saling memaafkan dan melindungi, dan lain-lain kewajiban yang banyak sekali yang ada pada masa setelah perkawinan, memiliki persentase yang bisa mencapai separuh atau dua pertiga agama. Ini dari sisi persentase kwantitasnya.

b-2-d- Bisa saja persentase di atas dilihat dari sisi kwalitasnya, bukan dari kwantitasnya. Atau bisa dari sisi keduanya. Misalnya kewajiban shalat atau puasa, tidak memberikan efek positif kecuali pada diri sendiri (secara langsungnya tentunya). Tapi memberikan nafkah dan pendidikan agama yang benar kepada seorang anak yang merupakan hamba Tuhan juga, akan memberikan efek pada orang lain dan pada akhiranya pada sosial kehidupan umat dan masyarakat.

b-2-e- Bisa saja persentase di atas itu dilihat dari pahalanya. Sebab kewajiban pribadi dan kewajiban sosial seperti memberi nafkah pada istri atau melayani seksual suami, atau apalagi menghidupi anak dengan rejeki halal dan pendidikan agama yang benar secara profesional, memberikan pahala yang lebih besar dari ketaatan pribadi dan juga lebih langgeng karena bisa menjadi amal dan pahala jariah dan berkelanjutan.

b-2-f- Bisa saja persentase di atas itu dilihat dari semua dimensi di atas, seperti beban atau beratnya taklif, kwantitas, kwalitas, besarnya sasaran dan pahala, keberlanjutan atau keterjariahan pahalanya.

b-2-g- Bisa juga persentase di atas itu dilihat dari efek pemberian perlindungannya. Misalnya yang melakukan perkawinan akan dapat lebih tebentengi dari ancaman jatuhnya pada maksiat dari pada sebelum melakukan perkawinan, baik maksiat seksual atau maksiat-maksiat lainnya. Karena orang yang kawin secara natural hati dan pikirannya akan lebih tenang dalam menghadapi tugas-tugas hidup. Kalau hal ini bisa dibenarkan, maka separuh atau dua pertiga agama itu memaksudkan (juga, setidaknya) kesuksesan dalam menempuh kehidupan agamanya. Yakni dijamin lebih taat sebesar separuh atau dua pertiga dari sebelum melakukan perkawinan.

b-2-h- Bisa juga persentase itu dilihat dari sisi efek kematangan jiwa seseorang setelah melakukan perkawinan. Yakni orang yang telah melakukan perkawinan akan lebih matang separuh atau dua pertiga lebih tinggi dari sebelum melakukan perkawinan.

b-2-i- Bisa juga dilihat dari sisi pelepasan dari keterikata pada kenikmatan selain Tuhan. Karena bisa dikatakan bahwa kenikmatan materi tertinggi itu adalah seksual. Ketika seseorang melakukan perkawinan, maka dia hanya menyukai satu kenikmatanNya, yaitu seksual. Dari sisi ini, hati dan akal manusia memang bisa dikatakan sejenak terlepas dari segala macam cita-cita dan keinginan lainnya. Ketika manusia terlepas dari banyaknya dimensi kenikmatan selain Tuhan, maka dia akan lebih dekat pada Tuhan. Karena Tuhan itu satu hingga karena itu tidak bisa didekati oleh manusia yang berhati seribu atau bercabang seribu. Jadi, hati yang semakin sederhana atau lebih sedikit keterikatannya, maka dia akan lebih mudah melepaskannya untuk menujuNya.

Karena itu, orang yang sudah kawin akan selalu dilatih dengan fokus pada satu selainNya saja, yaitu seksual. Latihan ini sebenarnya untuk membimbing manusia kepada meninggalkan kenikmatan selainNya, termasuk seksualnya itu pada tingkatan berikutnya.

b-2-j- Orang yang tenggelam dalam kenikmatan seksual ketika berjimak dengan istrinya (atau suaminya), akan tertelan argumentasi tertinggiNya tentang keAgungan dan keIndahanNya. Artinya kalau manusia belum tunduk pada harta, jabatan, indahnya pemandangan, agungnya antariksa dan semacamnya, maka setidaknya dia akan tunduk dan lemah dalam hal yang satu ini, yaitu seksual. Maksudnya, dia akan larut dalam seksualnya itu manakala mengumpuli keluarganya. Kalau seseorang biasa melewati begitu saja keindahan alam, kenikmatan sehat dan harta sebegitu cepatnya hingga tidak tercebur dalam pemerasaan keAgungan dan keIndahanNya serta keMahaPemurahanNya, maka setidaknya dalam melakukan hubungan seksual, maka dia akan tercebur ke dalamnya dan akan lemas karenanya.

Semua itu diharapkan bahwa manusia dapat menyerah pada keAgungan Tuhannya hingga dia tahu betapa dirinya itu kecil dan bodoh serta papa dan tiada berdaya. Hingga perasaan ini akan mengantarkannya kepada kepenerimaan atas keIndahan dan agamaNya hingga dia akan jauh lebih tersupport dan terdorong jauh melebihi sebelum dia kawin.

Lihatlah betapa jauhnya orang seperti ini dari orang yang kawinnya untuk mencari pelezatan seksual. Kalau pencari kenikmatan seksual yang halal, maka dia akan bangkit lagi setelah lemas dari melakukan seksual itu. Yakni bangkit untuk terus bermain dan bermanja dengan seksualinya tersebut. Beda halnya dengan orang yang niat kawinnya sudah benar, maka nikmat dan lemasnya itu akan membuatnya malu padaNya, membuatnya lebih taat dan terus berusaha mengikis kecintaannya pada selainNya. Sebab betapa tidak berakhlaknya kalau manusia bisa hanyut dalam kenikmantan seksual sementara dirinya tidak pernah hanyut dalam kenikmatan shalat, puasa, derita dan semacamnya.

Nah, orang yang niat kawinnya sudah benar itu, maka jauh akan terpicu kepada ketaatan dan makrifah yang tinggi, dengan persentase separuh atau dua pertiga dari seluruh kewajiban agamanya.

2- Sudah mencarinya di puluhan kitab akan tetapi belum mendapatkannya, afwan.

3- Minimal kesempurnaan orang yang tidak makshum adalah tidak melakukan dosa sama sekali, baik dosa dari melakukan yang haram atau dari yang meninggalkan kewajiban.

Yakni tidak melakukan dosa yang disengaja dan/atau semi disengaja. Disengaja yakni sudah tahu haram tapi dilakukan, sudah tahu wajib tapi ditinggalkan, sudah tahu bahwa dirinya tidak tahu hukumnya akan tetapi nekad (atau berspekulasi atau bahkan tidak ambil perduli) dilakukan tanpa mempelajari fiqihnya terlebih dahulu (semi sengaja), dan semacamnya.

Sedang makshum itu harus punya ilmu Islam yang lengkap seratus persen, benar seratus persen, kelengkapan dan kebenaran-seratus-persennya itu dijamin Tuhan dan Nabi saww, dan diamalkan seratus persen dimana ini juga dijamain Tuhan dan Nabi saww sebagaimana maklum seperti QS: 33:33.

Orang yang tidak melakukan dosa yang disengaja atau semi sengaja itu dikatakan Adil dan orang yang tidak melakukan semua jenis kesalahan baik sengaja, semi sengaja atau tidak sengaja, disebut dengan Makshum. Wassalam.

Aif Al Akif Alhamdulillah.. syukron ustadz. Smoga Allah membalas semua kebaikan ustadz. Aamiin

0 comments:

Post a Comment

Andika Karbala. Powered by Blogger.