Tuesday, May 24, 2016

on Leave a Comment

Bagaimana Hukum Makan di Restoran Non Muslim?, Hukum masakan orang kafir?

Link : https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=928907230556068&id=207119789401486


Salam
Semoga Ustadz selalu berada di dalam rahmat dan rida-Nya. Afwan Ustadz, ada yang ingin ditanyakan yaitu sebagai berikut.
1. Kalau kita memasuki sebuah restoran kita rame2 ke sana dan yang membayarkannya itu atasan kita. Setelah selesai makan, kita baru tahu kalo pemiliknya itu china karena pelayannya orang nonchina. Besoknya atasan saya itu mengajak ke situ lagi karena restoran lain yg ingin didatangi udah penuh. Ga nerima tamu lagi untuk jam tersebut. Nah, saya kan bingung lalu saya lihat dapurnya itu di bagian depan jadi terlihat siapa saja yang masak dan tidak afa wajah china. Trus untuk memastikan saya nanya ke salah seorang yg masak apakah yang bagian masak ini muslim semua, dia bilang iya. Bagaimana hukumnya ustadz kalo saya tetap makan di restoran tersebut? Saya juga ga enak kalau saya memisahkan diri dari atasan dan teman2 kerja padahal itu bos saya yg menraktir makan tersebut?
2. Saya memasuki daerah baru. Saya ngga tahu arah kiblatnya. Kemudian nanya kepada penduduk di situ. Dan ditunjukkan arah tertentu. Beberapa hari kemudian teman saya mencari arah kiblat tersebut dengan kompas. Ternyata ada perbedaan sekitar 45 derajat. Apakah salat saya sebelumnya itu sah ustadz?
Syukron
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Secara hukum agama kalau antum yakin bahwa makanannya tidak najis, maka halal dimakan. Keyakinan ini harus dengan ilmu yang diterima agama, seperti kesaksian dua orang adil, atau kesaksian pemilik barangnya ataupemilik kuasa barangnya (pengelola) seperti yang sudah pernah dijelaskan di masa lalu.

Karena itu dalam kondisi yang antum tanyakan adalah, menanyakan dulu pada yang mengelola apakah semua sembelihan binatangnya disembeli dengan cara Islam dan semua barang-barangnya tidak ada yang haram seperti babi, bir, darah (dede), dan selainnya. Ini secara pandangan uruf/umum madzhab Sunni karena mayoritas Sunni. Lalu yang untuk ke Syi'ah perlu bertanya lagi apakah pemiliknya menyentuhi makanannya atau barang-barang dapurnya (alat atau barang mentahan) dalam keadaan basah atau tidak, hingga dapat diketahui najis tidaknya. Hal ini khusus hukum Syi'ahnya karena kafir di Syi'ah hukumnya najis. Dan barang najis, jelas haram dimakan.

Kalau dalam agama sudah dihukumi haram, maka tidak bisa ditawar-tawar. Karena itu antum tinggal cari saja alasan yang masuk akal dan tidak terlalu menegangkan untuk makan di tempat lain, misalnya berkata ke bos antum itu: "Lagi pengen gado-gado Pak" (kalau di sekitaran ada gado-gado yang halal dan di restoran china itu tidak ada gado-gadonya).

2- Kalau orang setempat sudah menunjukkan arah kiblatnya dengan benar secara pandangan uruf/umum di tempat itu karena memang orang di kampung itu, maka sudah bisa dianggap syah/sah.

Andri Kusmayadi Kalo menurut Rahbar keringat ahlulkitab bukannya ngga najis Ustadz?

Hidayat Constantian China kan belom tentu ahlulkitab, mas Andri Kusmayadi, hehehe. Afwan nimbrung doang...

Andri Kusmayadi Iya mas Hidayat Constantian kan kata Ustadz kafir, kafir itu kan bisa dari akhulkitab atau yg lainnya...

Hidayat Constantian Oke mas Andri Kusmayadi, saya ikutan nyimak aja

Sinar Agama Andri Kusmayadi dan Hidayat Constantian, apa hubungannya keringat orang kafir ahlulkitab dengan makanan mereka? Kan tempo hari sudah dijelaskan makanan orang kafir (apapun itu Ahlulkitab atau bukan) tidak bisa dimakan kalau mengandungi sembellihan (yang terhukumi bangkai) dan najis yang lainnya seperti yang sudah disinggung sebagiannya di atas. Seperti dede (makanan dari darah), babi, bir, punya anjing, pemakan babi, dan semacamnya yang bisa menajisi makanan dan barang-barang dapurnya sendiri yang mana dengan semua bejana-bejana najis itu menyajikan makanan kepada kita.

Andri Kusmayadi Ana copaskan lg kalimat antum di atas yang ana maksud.
"Lalu yang untuk ke Syi'ah perlu bertanya lagi apakah pemiliknya menyentuhi makanannya atau barang-barang dapurnya (alat atau barang mentahan) dalam keadaan basah atau tidak, hingga dapat diketahui najis tidaknya. Hal ini khusus hukum Syi'ahnya karena kafir di Syi'ah hukumnya najis. Dan barang najis, jelas haram dimakan." Hal itu jelas menurut ana mengacu ke keringat orang kafir. Atau kesimpulan saya salah Ustadz?

Sinar Agama Andri Kusmayadi, ahsantum. Kesimpulan antum sudah benar. Ana yang kurang lengkap menulisnya. Kadang ana mengandalkan tulisan ana sebelumnya terkhusus kepada orang yang sering tanya seperti antum yang sudah pernah tanya detail tentang makanan orang kafir ini. Ana tidak perlu menambahkan penjelasan lagi karena saya yakin sudah jelas tentang makanan orang kafir ini seperti yang sudah saya ulangi di atas dan yang sebelumnya.

Jadi, kalau yang punya restoran Ahlulkitab dan tidak berhubungan dengan najis-najis seperti bir, anjing, babi dan semacamnya, lalu (kalau berhubungan) tidak menyentuh apapun makanan dan perkakas restorannya yang ditenagai oleh muslim, dan restorannya juga tidak memiliki barang-barang najis yang sudah disebutkan di atas, maka makanan restorannya masih bisa dihukumi halal.

Andri Kusmayadi Oh gitu ya Ustadz...paham sekarang...ahsantum...syukron...

0 comments:

Post a Comment

Andika Karbala. Powered by Blogger.