Monday, April 25, 2016

on Leave a Comment

Bagaimana Hukum Musyawarah dalam Islam

Link : https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=910874545692670&id=207119789401486

Salam ust. Semoga selalu di anugrahi kesehatan. Maaf mau bertanya
1.Sy pernah membaca sejarah nabi kalau tidak salah di perang badar dan uhud rosul membentuk dewan untuk musawarah mengenai perang.
a.Yang sy tanyakan apa latar belakang rasul membentuk dewan tersebut, karena rasul adalah maksumin dan a'lam?
b.bagaimana kedudukan musawarah dijaman adanya maksumin(maksumin tidak ghaib besar)
Maaf mungkin sudah pernah ditanyakan tp sy cari belum ketemu.
2. Sy pernah membaca catatan ustd menghenai kebolehan berbohon untuk strategi perang atau untuk menyelamatkan nyawa.
A. Apakah ini berarti etika itu bersifat relatif dalam islam?
B.kondisi kondisi apa saja yang dibolehkan untuk berbohong? Karena sy pernah membaca kalau tdk salah abu hurairah pernah berbohong mengenai hadis kalau memakan bawang masuk surga untuk menyelamatkan seorang pedagang bawang dari kelaparanm.
Trims
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1:

a- Saya sudah pernah atau bahkan sering menjelaskan tetang musyawarah ini. Intinya:

a-1- Untuk musyawarah itu dalam urusan aplikasi dan membangun umat, bukan urusan agama. Karena itu dalam ayat dikatakan "amrukum syura bainakum". Yakni urusan kalian adalah musyawarah diantara kalian. Jadi, tidak ada hubungannya dengan agama sama sekali. Halal da haram, jenis penerapan yang benar, semua itu di tangan mutlak Tuhan, Nabi saww dan Ahlulbait as. Kalau sudah tertentukan mesti bagaimana supaya penerapannya itu benar, maka barulah dimusyawarahkan oleh umat.

Misalnya, pendidikan agama itu wajib dipelajari. Lalu penerapannya yang benar adalah dalam bentuk yang khusus atau terfokus seperti hauzah/pesantren/sekolah. Nah, setelah itu barulah dimusyawarahkan oleh umat, di sebelah mana sekolah itu mesti dibangung, dananya dari mana, dan siapa saja yang bersedia mengirim anaknya untuk dididik di sekolah tersebut, dan semacamnya.

Persis seperti yang dicontohkan di Iran sekarang yang dikepalai oleh marja' a'lam sebagai wakil Makshumin as. Jenis hukum dan penerapan dasarnya sudah ditentukan oleh Wali Faqih, lalu yang dimusyawarahkan adalah yang berkenaan dengan teknis-teknisnya. Misalnya kewajiban melawan pada kafir yang selalu menyerang Islam dan muslimin, lalu penerapan dasarnya yang sudah ditentukan seperti melawan pada Amerika dan Israel, maka yang dimusyawarahkan adalah teknisnya. Misalnya menunjuk siapa saja yang layak bermusyawarah untuk itu, siapa tenaga ahlil strateginya, siapa ahli pembuatan senjatanya, siapa ahli sosialnya, siapa ahli riset lapangannya, siapa ahli hukum internasionalnya, siapa ahli itu dan itunya. Lalu dalam rapat-rapat strategi sesuai dengan semua data yang ada dan lengkap itu, dirapatkan bagaimana cara menghadapinya, apa dampak menghadapi dengan begitu atau dengan begini, baik tidaknya untuk Islam dan muslimin dunia dan Iran sendiri, dan seterusnya dan seterusnya.

Alhasil, yang dirapatkan umat itu hanyalah cara dan teknis pelaksanaan dari hukum/fatwa dan penerapan dasarnya. Begitu pula dengan apa yang diperintahkan Makshumin as. Karena itulah maka ketika Imam Makshum as diajark angkat senjata sekalipun, artinya sudah ada yang membantunya, tapi kalau dalam penerapan dasar dari memerangi musuh Islam dan muslimin ini belum waktunya yakni tidak sesuai dengan kondisinya, maka para Makshumin as selalu menolak baiat angkat senjata dari para Syi'ah mereka as seperti Imam Ali as yang menolak baiatnya Mu'awiyyah, seperti Imam Ja'far as yang diajak angkat senjata oleh sebagian umat pada jaman beliau as. Begitu pula seperti Imam Ali al-Ridha as yang menolak ajakan angkat senjata oleh umat beliau as pada masa beliau as.

a-2- Islam itu datang untuk membangun umat, bukan dibangun di atas umat. Allah dalam QS: 57:25:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

"Telah Kami kirimkan rasul-rasul Kami dengan penjelasan-penjelasan dan Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan timbangan (keadilan) agar manusia (umat) menegakkan keadilan."

Perhatikan ayat di atas. Allah mengirim Rasul-rasul dan kitab-kitab agar manusia ini mendapatkan pelajaran sebelum kemudian menegakkan keadilan, bukan ditegakkan keadilan terhadap mereka.

Umat dalam ayat ini tidak menjadi obyek pengadilan, melainkan menjadi subyek. Karena itulah bacaannya al-naasu bukan al-naasa. Dhammah di sini adalah faa'il atau pelaku. Jadi, pelaku keadilannya itu adalah umat. Tentu dengan bimbingan, pengajaran dan contoh-contoh dari Makshumin as (Nabi saww dan Ahlulbait as).

Maksud dari uraian ke dua ini adalah SEKALIPUN TUHAN DAN NABI saww SERTA AHLULBAIT as TAHU DAN JAUH LEBIH TAHU DARI UMAT TENTANG APA YANG SEMESTINYA DILAKUKAN OLEH UMAT MANUSIA PADA SETIAP KEADAAN DAN KONDISINYA, AKAN TETAPI KARENA AGAMA DITURUNKAN (NABI DAN KITAB) UNTUK MENGAJARI DAN MEMBIMBING UMAT, MAKA ALLAH swt MEMERINTAHKAN PARA MAKSHUMIN as SEMUANYA UNTUK MENGAJAK UMAT BERMUSYWARAH DALAM PELAKSANAAN TEKNIS AGAMA PADA SETIAP KONDISINYA ITU, SUPAYA UMAT BELAJAR MEMAHAMI DAN MENERAPKAN SERTA TERBIASA UNTUK SELALU MENEGAKKAN KEADILAN ALA AGAMA (bukan keadilan ala kita sebagai umat). JADI, MUSYAWARAH MAKSHUMIN as ITU ADALAH UNTUK MEMBANGUN UMAT, BUKAN MENCARI TAHU APA YANG TIDAK MEREKA as KETAHUI.

b- Sudah dijawab di atas.

2- :

a- Jangankan etika, hukum saja relatif. Kadang haram hari ini, besok sudah jadi halal. Misalnya babi haram hari ini, besok kalau tidak ada apapun yang bisa dimakan dan sudah terlalu lemah, maka dibolehkan makan babi (walau tidak boleh sampai kenyang dan hanya dibolehkan sebatas menjaga kehidupannya).

Di dunia ini tidak ada yang yang tidak relatif dan kondisional selain uruan dalil akal. Karena itulah di kalangan para pelajar dan ulama sangat dikenal sebuah istilah yang mengatakan: "Kaidah akal tidak adap pengecualiannya."

Nah, apapun kaidah dan hukum yang selain hukum akal, baik politik, ekonomi, fiqih dan semacamnya, semua dan semua, memiliki pengecualian. Karena itulah bisa dikatakan relatif. Tapi bukan relatif yang berlawanan antara salah dan benar, melainkan yang kerelatifannya itu ditentukan oleh kondisi obyek pelaku, obyek lapangan, obyek lingkungan dan semacamnya.

b- Yang mengandungi manfaat yang penting atau darurat. Seingat saya untuk menyatukan dua persaudaraan (keluarga) yang pecah juga bisa berbohong. Ini untuk selain urusan darurat lain seperti nyawa dan kehormatan (kemaluan seperti pemerkosaan).

0 comments:

Post a Comment

Andika Karbala. Powered by Blogger.