Sunday, February 5, 2017

on Leave a Comment

Pengertian Bid'ah dan apakah ada bid'ah yang di bolehkan? pembahasan tentang sholat taraweh dan azan "sholat itu lebih baik daripada tidur.

Link : https://www.facebook.com/sinaragama/posts/1128702990576490

Assalamualaikum... 
Ustadz apakah dalam islam ada bid'ah yang di bolehkan?
Suka
Komentari
Komentar

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Secara bahasa bid'ah memiliki arti "Suatu hal yang baru".

2- Secara istilah, kata bid'ah kebanyakannya dipakai kepada penambahan hal baru pada agama dan menyalahi agama.

3- Saya sudah teramat sering menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bid'ah adalah menambahi dan mengurangi hukum syari'at, bukan perbuatan dan semacamnya.

4- Saya juga sudah teramat sering menerangkan bahwa Nabi saww sangat merangsang umat untuk mencipta hal baru yang belum ada sebelumnya akan tetapi dalam naungan Islam. Yakni tidak melanggar syari'at atau tidak ada larangannya dalam syari'at.

5- Ini saya nukilkan salah satu catatan yang sudah pernah dibuat:

428. Bid'ah dalam Islam (antara hakikat dan dugaan), seri tanya jawab: Frianto Afri dan Sinar Agama
http://www.facebook.com/.../21057069.../doc/234739896570814/

by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, August 17, 2011 at 11:34am

Bismillaah: Bid'ah dalam Islam (antara hakikat dan dugaan)

Afrianto Afri: Ustadz ini ada perdebatan yang banyak mengutip kitab/fatwa marja dilink berikut ini, bisakah ustadz memberi pencerahan buat pesertanya...
“Dodi ElHasyimi:
Syiah Bicara Bid'ah ????? Ape Kagak Salah Denger tuch ???? Mau nanya Nich ma Mahluk2 Syiah : Solat Ghodir, Solat Mab’ats, Solat Amirul Mukminin, Solat Ja’far bin Abi Tholib, Solat Az Zahra’ , Solat Ziyarotun Nabi Au Ahadi Aimmah dll yg dilakukan mahluk2 Syiah itu Bid'ah ape kagak ??? membaca Asyhadu anna 'Aliyyan Waliyyullah (أشهدأنعلياوليالله) dalam Adzan itu Bid'ah ape kagak ???? Qiqiqiqiqiqiqi..... MONNGO YG AGAK PINTER SILAHKAN MENJAWAB !!!! .”

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk kirimannya Afri:

(1). Bid'ah itu adalah menambah dan mengurangi hukum yang telah ditetapkan Allah melalui NabiNya saww, bukan menambah amal dan perbuatan. Karena manambah perbuatan baik itu hukumnya sunnah dan dianjurkan. Seperti di hadits Shahih Muslim hadits ke: 2398:

مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

"Siapa saja yang membuat -hal baik dan baru- tradisi baru dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengikutinya setelahnya tanpa terkurangi sedikitpun dari pahala mereka -yang mengikutinya. Dan barang siapa yang membuat tradisi buruk dalam Islam, maka ia akan mendapat dosanya dan dosa orang-orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka -yang mengikutinya itu."

Jadi, bid'ah itu bukan suatu hal baru yang diadakan, tapi menambah dan mengurangi hukum Tuhan yang sudah digariskan.

Hal seperti itu karena Islam itu banyak sekali perintahnya yang berupa hal-hal umum, seperti menolong orang. Disini tidak disebutkan apakah menolong orang itu dengan uang, sarung (yang tidak ada di jaman Nabi saww), memberi durian, membuat pendidikan dengan sistem yang ada di persantren dan SD, SMP, SMA dan Univ yang tidak ada di jaman Nabi saww, atau pakai sepeda engkol mengantar orang tua (tidak seperti wahhabi yang menfatwai bahwa sepeda itu bid'ah dan kendaraan syethan. Begitu pula radio ...dan seterusnya, atau menolong orang dengan naik pesawat, memberinya komputer, HP ...dan seterusnya. Begitu pula dosa mengganggu orang lain, dimana kedosaannya itu tidak ditentukan dengan satu cara tertentu. Karena itu di jaman Nabi saww mungkin hanya bersifat sederhana, seperti mengejek orang, melempari batu, melempari kotoran ...dan seterusnya yang biasa dikerjakannya langsung dengan tangan, mulut ,,, dan seterusnya. Tidak seperti sekarang yang seperti dengan virus komputer, obrolan di tv, internet, fitnah di fb ....dan seterusnya.

Dengan demikian, kalau ada orang mengarang atau mencipta hal baru dalam Islam, yakni yang sesui dengan anjuran umum Islam, seperti pendidikan yang dianjurkan dalam Islam, lalu kita mencipta pendidikan TK, SD ...dan seterusnya, maka hal itu bukan saja tidak bid'ah, akan tetapi malah dianjurkan dan berpahala.

Misalnya juga mengucap syahadat terhadap keimamahan imam Ali as itu tidak bid'ah. Tentu kalau tidak melanggar hukum Islam. Artinya masih dalam kaedah hukum Islam. Tapi kalau dibaca di tasyahhud shalat, maka ia sudah keluar dari hukum fikih shalat. Atau mengatakan bahwa membaca syahadat terhadap keimmahannya itu adalah sunnah. Nah, hal-hal seperti inilah yang bid'ah itu. Karena yang pertama merusak hukum shalat yang ada, dan yang ke dua, menambah hukum Islam yang tidak ada di Jaman Nabi saww.

(2). Shalat-shalat yang disebut itu, adalah ajaran Nabi saww yang sudah tentu tidak bid'ah. Tentu saja ajaran Nabi saww itu ada yang tidak sempat diajarkan kepada umat secara keseluruhan. Karena itulah pengetahuan shahabt yang satu berbeda dengan yang lainnya. Hanyalah imam makshum yang mampu dan mengingat semua pelajaran Nabi saww itu secara lengkap 100 % dan benar 100 % pula. Karena itu, shalat yang disebut itu adalah shalat yang diajarkan Nabi saww.

(3). Shalat Ghadir itu pada hakikatnya adalah shalat syukur kepada Tuhan yang telah mengangkat imam Ali as sebagai penerus Nabi saww dalam menjaga dan mengajarkan Islam seratus persen. Apakah peristiwa itu tidak layak disyukuri? Dan apakah shalat syukur itu bid'ah. Nah, shalat syukur untuk peristiwa Ghadir itu yang dikatakan shalat Ghadir. Begitu pula shalat Mab'ats (pengangkatan Nabi saww).

(4). Begitu pula shalat-shalat lainnya. Seperti shalat Amiru al-Mukminin as, adalah shalat sunnah mutlak yang dilakukan oleh beliau as dan merupakan sunnah bila kita juga melakukannya. Begitu juga dengan shalat-shalat lainnya. Untuk shalat Ja'far itu adalah shalat tasbih (kalau di Sunni) dimana bedanya hanya dari sisi penamaannya. Jadi, orang mau menamakan apa saja terhadap beberapa shalat yang diajarkan Nabi saww yang memang sering tidak ada namanya itu, tidak masalah. Orang Sunni menamakan shalat Ja'far sebagai shalat tasbih karena banyak tasbihnya dan orang Syi’ah menamakannya shalat Ja'far karena Nabi menghadiahkannya kepada Ja'far.
Wassalam

Sinar Agama .

Ini juga (catatan):

678. Bid’ah dalam Islam (peringatan ulang tahun dan lain-lain), seri tanya jawab Juli Benzema Hadiyanto dengan Sinar Agama
http://www.facebook.com/.../21057069.../doc/329734507071352/

by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, January 11, 2012 at 8:14pm

Bismillaah: Bid’ah dalam Islam (peringatan ulang tahun dan lain-lain)

Juli Benzema Hadiyanto: Salam ustadz. Bagaimana hukumnya merayakan ulang tahun?

Juli Benzema Hadiyanto: Berikut adalah copas dari teman saya. Bagaimana menurut pandangan ahlulbait? Terimakasih.
Mas Heri Temon: “Hukum Merayakan Ulang Tahun”
Assalamualaikum.wr.wb
Pak Ustadz, bagaimana hukumnya merayakan ulang tahun, sedangkan kita tahu budaya ulang tahun itu kan dari Barat, bukankah yang menyerupai kaum kafir itu di anggap kafir juga. Mohon jawabannya, karena penting sekali bagi saya. Terima kasih.
Wassalamualaikum.wr .wb

Azai: Jawaban
Assalamu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Perayaan ulang tahun atas kelahiran seseorang atau suatu organisasi tertentu tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Karena itu bila dilakukan, tidak bernilai ibadah.
Cukup banyak ulama tidak menyetujui perayaan ulang tahun yang diadakan tiap tahun. Tentu mereka datang dengan dalil dan hujjah yang kuat. Di antara alasan penolakan mereka terhadap perayaan ulang tahun antara lain:

1. Ulang tahun bila sampai menjadi keharusan untuk dirayakan dianggap sebuah bid’ah. Sebab Rasulullah SAW belum pernah memerintahkannya, bahkan meski sekedar mengisyaratkannya pun tidak pernah. Sehingga bila seorang muslim sampai merasa bahwa perayaan hari ulang tahun itu sebagai sebuah kewajiban, masuklah dia dalam kategori pembuat bid’ah .

2. Ulang tahun adalah produk Barat/ non muslim. Selain itu, kita tahu persis bahwa perayaan uang tahun itu diimpor begitu saja dari barat yang nota bene bukan beragama Islam. Sedangkan sebagai muslim, sebenarnya kita punya kedudukan yang jauh lebih tinggi. Bukan pada tempatnya sebagai bangsa muslim, malah mengekor Barat dalam masalah tata kehidupan. Seolah pola hidup dan kebiasaan orang Barat itu mau tidak mau harus dikerjakan oleh kita yang muslim ini. Kalau sampai demikian, sebenarnya jiwa kita ini sudah terjajah tanpa kita sadari. Buktinya, life style mereka sampai mendarah daging di otak kita, sampai-sampai banyak di antara kita, mereka kurang sreg kalau pada hari ulang tahun anaknya tidak merayakannya. Meski hanya sekedar dengan ucapan selamat ulang tahun.

3. Apakah Manfaat Merayakan Ulang Tahun?
Selain itu perlu juga kita renungkan sebagai muslim, apakah tujuan dan manfaat sebenarnya bisa kita dapat dari perayaan ini? Adakah nilai-nilai positif di dalamnya? Ataukah sekedar meneruskan sebuah tradisi yang tidak ada landasannya?
Apakah ada di antara tujuan yang ingin dicapai itu sesuatu yang penting dalam hidup ini? Atau sekedar penghamburan uang?
Pertanyaan berikutnya, adakah sesuatu yang menambah iman, ilmu atau amal? Atau menambah manfaat baik pribadi, sosial atau lainnya? Pertanyaan berikutnya dan ini akan menjadi sangat penting, adakah dalam pelaksanaan acara seperti itu maksiat dan dosa yang dilanggar?

Yang terakhir namun tetap penting, bila ternyata semua jawaban di atas positif, dan acara seperti itu menjadi tradisi, apakah tidak akan menimbulkan salah paham pada generasi berikut seolah-olah acara seperti ini ‘harus’ dilakukan? Hal ini seperti yang terjadi pada upacara peringatan hari besar Islam baik itu kelahiran, isra` mi`raj dan sebagainya.
Jangan sampai dikemudian hari, lahir generasi yang menganggap perayaan ulang tahun adalah ‘sesuatu’ yang harus terlaksana. Bila memang demikian, bukankah kita telah kehilangan makna?

Kalau menimbang-nimbang pernyataan di atas, ada baiknya kita yang sudah terlanjur merayakan ulang tahun buat anak atau bahkan untuk diri kita sendiri melakukan evaluasi besar. Sebaliknya, mungkin ada baiknya pemikiran yang disampaikan oleh Dr. Yusuf Al-Qradawi tentang ulang tahun untuk anak. Misalnya, pada saat anak itu berusia 7 tahun, tidak ada salahnya kita ajak dia untuk menyampaikan pesan-pesan dalam acara khusus tentang keadaannya yang kini menginjak usia 7 tahun. Di mana Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada para orang tua untuk menyuruh anaknya shalat di usia itu. Bolehlah dibuat acara khusus untuk penyampaian pesan ini, agar terasa ada kesan tertentu di dalam diri si anak. Bahwa sejak hari itu, dirinya telah mendapatkan sebuah tugas resmi, yaitu diperintahkan untuk shalat.

Nanti di usia 10 tahun, hal yang sama boleh dilakukan lagi, yaitu sebagaimana perintah Rasulullah SAW untuk menambah atau menguatkan lagi perintah shalat. Kali ini dengan ancaman pukulan bila masih saja malas melakukan shalat. Bolehlah diadakan suatu acara khusus di mana inti acaranya menetapkan bahwa si anak hari ini sudah berusia 10 tahun, di mana Rasulullah SAW membolehkan orang tua memukul anaknya bila tidak mau shalat.

Kira-kira usia 15 tahun lebih kurangnya, ketika anak pertama kali baligh, boleh juga diadakan acara lagi. Kali ini orang tua menegaskan bahwa anak sudah termasuk mukallaf, sehingga semua hitungan amalnya baik dan buruk sejak hari itu akan mulai dicatat. Bolehlah pada hari itu orang tua membuat acara khusus yang intinya menyampaikan pesan-pesan ini.
Jadi bukan tiap tahun bikin pesta undang teman-teman, lalu tiup lilin, potong kue, bernyanyi-nyanyi, memberi kado. Pola seperti ini sama sekali tidak diajarkan di dalam agama kita dan cenderung tidak ada manfaatnya, bahkan kalau mau jujur, justru merupakan cerminan dari sebuah mentalitas bangsa terjajah yang rela mengekor pada tradisi bangsa lain. Bukankah Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari padanya? Lalu mengapa kita bangsa Islam ini harus mengekor pada tradisi bangsa lain yang jauh lebih rendah? Mungkin jawabannya yang paling jujur adalah…istafti qalbak….
Mintalah fatwa kepada hati nuranimu…
Wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc: Sumber Hukum Merayakan Ulang Tahun : http://assunnah.or.id/.
Assunnah Online

(Nukilan catatan 678 masih berlanjut ...)

Sinar Agama .

(lanjutan nukilan 678):

Sang Pecinta: Mungkin ini sedikit sinkron mas Juli,, perayaan/peringatan ulang tahun baru/ ulang tahun/hari ibu menurut Islam. Bocah X Arus:

(((Salam...Ustadz bagaimana hukumnya ikut merayakan tahun baru...bagaimana kalau perayaan tahun baru kita isi dengan muhasabah, diskusi kajian ilmu dst ...apakah tetap haram...dan apa batasan hadist "man tasabbaha bi kaumin fahuwa minhum" apakah merayakan tahun baru juga berarti tasabbuh bil kuffar...?
Tio Adjie: Hukumnya sunnah yaitu dilihat dari muhasabahnya dan juga pada malam-malam lain. Jangan dilihat dari tahun barunya, tapi perbuatan baiknya. Salam.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:
Perayaan apapun yang tidak bersumber dari agama lain sebagai suatu ajaran dan bagian agama, maka tidak masalah diikuti. Misalnya tentang peringatan tahun baru hitungan matahari, 17 Agustus (nasional), tahun Jawa, dan semacamnya dimana bersumber pada alam sebagai alam atau bersumber pada sejarah sebagai sejarah. Yakni bukan bersumber dari alam atau sejarah yang sebagai agama. Masalah ini sama dengan pakaian suatu bangsa atau suku, sama dengan cara bersilaturrahim, sama dengan cara atau budaya kawin, sama dengan peringatan kelahiran, seni dst.

Memang, Islam memberikan batasan-batasannya, seperti pada baju, sentuhan, pergaulan dan dasar niatanya. Karena itu, kalau peringatan-peringatan alamiah, seperti tahun baru itu, dimana memang tidak dijadikan bagian ajaran agama lain oleh agama lain yang memilikinya, dan kita tahu hal itu dan hanya memperingati tabiat alamnya sebagai ia, apalagi mengisinya dengan hal-hal yang baik, seperti silaturrahim, diskusi, dan semacamnya, dan tidak diiringi dengan hukum seperti sunnah atau semacamnya, maka jelas tidak masalah. Tapi kalau niatnya tidak seperti itu, misalnya, meyakini sunnah mengadakan muhasabah di tahun baru masehi itu, maka ia telah menjadi bid'ah yang dosa dan haram.

Bocah X Arus: Terimakasih ustadz, jawaban ustad begitu elegan tidak kaku tapi tetap teguh di dalam nilai-nilai islam....

Sang Pecinta: Dharma Narendra T P: Salaamun 'alaikum !
Ustadz. Bagaimanakah ditinjau dari hukum Islam sebenarnya memperingati Hari Ibu yang ada di sini karena meskipun baik karena memang untuk motivasi menghormati ibu - ibu, akan tetapi jika menelusuri sejarah / latar belakangnya ini untuk memperingati Ibu Dewi Sartika yang dalam sejarah ia berkiprah dalam dunia pendidikan wanita bahkan berorientasikan pendidikan barat. Akan tetapi peringatan akan kiprah Dewi Sartika ini menjadi meluas sebagai Hari Ibu.
’Alaikum Salaamullah wa Rahmahmatullah !

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Peringatan hari kepahlawanan atau apa saja dalam suatu negara, syah-syah saja mau menjadikan siapa tokoh yang dianggap pahlawannya. Artinya, mungkin tidak sampai ke tingkat haram sekalipun yang diambil harinya itu adalah hari orang kafir yang diambil sisi baiknya, seperti pendidikan.

(2). Akan tetapi, bagi seorang muslim sejati, maka sudah pasti tidak akan mengambil contoh dan apalagi penokohan seorang yang bukan Islam dan/atau yang tidak disebabkan kemasalah-Islamannya. Karena dalam islam, kita tidak memiliki kekurangan sedikitpun dari kepahlawanan wanita atau apalagi lelaki.

(3). Jadi, kalau mu diambil jalan tengah, bahwa kalau peringatan itu diperuntukkan untuk persatuan bangsanya (masalah nasional/negara) dan bukan untuk masalah keislaman, maka sangat mungkin dalam hal ini, tidak diharuskan penokohan pada orang dikarenakan keIslamannya. Tapi kalau untuk penokohan Islam atau dimensi keIslamannya, maka sudah semestinya mengambil tokoh yang menonjolnya itu karena keislamannya. Allahu A'lam.

Dharma Narendra T P: Syukran atas pandangan Ustadz. Jawaban yang cukup jelas ana pahami ... jazakumullah khairan Ustadz. )))

(nukilan catatan nomor: 678 masih berlanjut ...)

Sinar Agama .

(lanjutan nukilan catatan nomor: 678):

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Jawabanku yang dinukil oleh Pencinta itu sudah sangat cukup. Tapi mungkin saya tambahi sedikit tentang pengertian bid'ah yang diharamkan dalam Islam.

(2). Bid'ah itu bukan suatu yang baru yang tidak ada di jaman Nabi saww. Kalau semua yang baru itu bid'ah, maka menara masjid, lantai masjid dan apalagi karpetnya, sudah pasti bid'ah. Padahal ia adalah tempat paling pentingnya ibadah. Begitu juga Saudi yang tiap tahun menukar baju Ka'bah dan menjualnya beribu-ribu dollar juga bid'ah. Begitu juga pembukuan Qur an, karena menurut Sunni ide pembukuan Qur an itu dari Utsman dan dibuat oleh tim yang dikepalainya. Sekolah-sekolah SD, SMP, SMA, Fakultas ...dst semua bid'ah. Ilmu-ilmu seperti ilmu Kalam, Ushulfikih, Rijal, Hadits, Pembukuan hadits (karena menurut Sunni tidak boleh hingga mereka membolehkan pembakaran kitab-kitab Sunni yang dilakukan Abu Bakar dan Umar), ilmu akhlak, ilmu tafsir, ...dan seterusnya....Karena semua itu tidak ada di jaman Nabi saww sebagai ilmu tersendiri.

(3). Dengan demikian maka tidak semua yang baru itu bid'ah, karena Islam menganjurkan mencipta yang baru karena itu kemajuan. Misalnya hadits Nabi saww yang berbunyi:
....
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ
....
".....Maka bersabdalah Nabi saww: Siapa yang membuat hal baru yang baik dalam agama Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala siapapun yang menirunya di masa setelahnya tanpa berkurang sedikitpun....." (Shahih Muslim, hadits ke: 1691, 4830, 2398).

Jadi, hal baru itu, bukan hanya bukan bid'ah yang tidak haram, tapi justru dianjurkan, asalkan kebaikan. Seperti mencipta sistem pendidikan, atau meniru sistem pendidikan barat dari sisi yang bisa diterima Islam.....dan seterusnya.

(4). Bid'ah yang diharamkan dalam Islam itu adalah yang berupa tambahan hukum syariat. Misalnya mencipta shalat dengan cara lain yang tidak sama dengan yang ada di Islam. Jadi, yang dimaksud bid'ah adalah tambahan hukum fikih, bukan sekedar tambahan. Bahkan pengurangan juga bisa dikatakan bid'ah (tambahan) karena ia telah menambahkan pengurangan tersebut dalam Islam.

(5). Perlu diketahui bahwa Islam itu memilki dua bentuk ajaran: Khusus dan Umum. Yang khusus adalah yang diatur caranya, seperti shalat dari takbir, rukuk dan sujudnya, atau puasa atau haji. Tapi ada yang tidak diatur caranya seperti menolong orang, belajar Ilmu, hubungan-hubungan sosial seperti cara menghormati orang tua, cara memperingati kelahiran, cara kawin, cara pinangan, cara tunangan, cara berpakaian ...dst. Nah, di bagian yang umum ini, Islam hanya memberikan garis-garis besarnya dan memberikan kepada kita kebebasan dalam mengaturnya di selain yang sudah ditentukan secara umum itu. Disinilah hadits anjuran membuat hal baru yang baik dalam Islam itu dianjurkan.

Mungkin anda bertanya, kalau hal itu hal Islam, kan berarti sudah ada ajarannya, tapi mengapa dikatakan "baru"???? Jawabnya adalah karena Islam memiliki kebaikan ajaran yang umum tadi. Jadi, selama ia tidak melanggar aturan umum Islam itu, maka apapun dibolehkan oleh Islam.

Tapi ingat, Nabi saww tidak mengatakan siapa yang membuat HUKUM FIKIH BARU DALAM ISLAM, tapi mengatakan yang membuat HAL BARU YANG BAIK DALAM ISLAM. Artinya, apapun kebaikan yang kita buat yang berkesesuaian dengan hukum umum Islam itu, tidak boleh dibubuhi HUKUM ISLAM, seperti sunnah, makruh, wajib atau haram, selain dari hukum pertamanya yang halal dimana kehalalan membuat yang baru ini jelas dianjurkan oleh hadits tersebut.

(6). Dengan semua uraian itu, maka apapun budaya yang ada, asal tidak bertentangan dengan hukum Islam dan tidak pula dijadikan hukum Islam, maka ia adalah halal-halal saja. Apalagi di dalam ciptaannya itu diselingi hal-hal positif yang jelas sunnah atau wajib seperti silaturrahim, doa, syukuran dengan memberi jamuan dan amar makruf dan nahi mungkar atau majlis ilmu/kajian, mempertemukan keluarga yang saling bermusuhan...dan lain-lainnya.

(7). Orang tidak bisa anti barat. Nabi saww saja menyuruh umatnya kala itu belajar ke China sebagai baratnya jaman itu. Nah, kalau baratnya itu masuk Islam, apakah terus semua budayanya itu dibuang?. Kita yang kalau berjalan di depan rumah orang, atau di dekat orang-orang duduk, mengucapkan "permisi" apakah juga harus dibuang, karena di jaman Nabi saww hal itu tidak ada? Sudah tentu tidak demikian. Orang barat itu boleh tetap dengan ulang tahunnya, kita boleh dengan "permisinya", kita juga boleh ulang tahun, orang barat juga boleh melakukan "permisi".

Mungkin anda akan berkata bahwa "salam" yang diajarkan Islam. Benar, tapi hal itu sunnah-sunnah saja. Dan kesunnahannya itu membuat ucapan lain tidak diharamkan.

(nukilan catatan nomor: 678 masih berlanjut ....)

Sinar Agama .

(lanjutan nukilan nomor: 678):

(8). Lihat di argumen pertama pembid'ah ulang tahun itu. Sudah jelas tidak ada dalil pengharamannya. Karena itu, ia dan ulamanya mengatakan bahwa kalau ulang tahun itu dijadikan kewajiban akan menjadi haram. Lah .. kan lucu amat ada orang muslim yang mewajibkan ulang tahun sebagai kewajiban Islam? Dimana hal itu pernah ada di alam semesta ini? Tapi kalau kewajiban-kewajiban sosial dan bukan agama, seperti anak yang dijanjikan orang tuanya untuk mengadakan ulang tahun, maka hal ini jelas tidak haram dan tidak ada dalil pengharamannya.

(9). Dengan semua itu, maka jelas bahwa orang yang membid'ahkan ulang tahun itulah yang bid'ah. Karena ia telah berani membuat hukum Islam. Yaitu hukum haram. Karena bid'ah itu adalah haram. Jadi, kalau ada yang mebid'ahkan ulang tahun, maka jelas ialah pembuat bid'ah dan pelaku haram itu. Karena Nabi saww tidak pernah berkata bahwa ulang tahun itu haram, dilarang atau bid'ah. Jadi, yang tidak punya dalil itu adalah pengharaman ulang tahun, bukan pembolehannya. Karena pembolehannya itu adalah jelas ada dan diatur oleh HUKUM/FIKIH UMUM ISLAM. Atau dengan kata lain, karena tidak ada pengharamannya maka ia adalah halal. Seperti memakai sarung, kopiah, memakai uang Rupiah, haji pakai pesawat ... dst. Pembuat bid'ah dengan menyebar pembid'ahan banyak hal itulah yang harus diperangi dan dicegah, bukan yang dibid'ahkan.

(10). Tidak ada yang tidak tahu bahwa semua hal itu adalah halal sampai tahu haramnya. Tapi bukan berarti yang tidak mengerti hukum fikih lalu semua hal halal baginya. Tapi apapun yang tidak dijelaskan dalam Islam sebagai haram, maka ia memiliki hukum halal. Karena itu hal ini dikenal juga di Sunni, seperti, tafsir Rasyid Ridha ketika menafsirkan ayat QS: 5: 101:

وَإِمَّا مُبَاحٌ لَا يَعْصِي مَنْ فَعَلَهُ وَلَا مَنْ تَرَكَهُ . وَهَذَا الْمُبَاحُ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ : إِمَّا مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ يُؤْجَرُ مَنْ فَعَلَهُ وَلَا يَعْصِي مَنْ تَرَكَهُ ، وَإِمَّا مَكْرُوهٌ يُؤْجَرُ مَنْ تَرَكَهُ وَلَا يَعْصِي مَنْ فَعَلَهُ ، وَإِمَّا مُطْلَقٌ لَا يُؤْجَرُ مَنْ فَعَلَهُ وَلَا مَنْ تَرَكَهُ ، وَلَا يَعْصِي مَنْ تَرَكَهُ وَلَا مَنْ فَعَلَهُ . وَقَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ : خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا) (2 : 29) وَقَالَ تَعَالَى : (وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ : فَصَّحَ أَنَّ كُلَّ شَيْءٍ حَلَالٌ إِلَّا مَا فُصِّلَ تَحْرِيمُهُ فِي الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ

Mubah artinya adalah tidak maksiat (dosa) bagi yang melakukan atau meninggalkannya. Makruh artinya adalah tidak maksiat bagi pelakunya dan pahala bagi yang meninggalkannya. Sedang Mutlak artinya adalah tidak dosa dan tidak ada pahala bagi pelakunya atau yang meninggalkannya. Allah berfirman “Telah diciptakan semua yang ada di bumi dan langit untuk kalian.” (QS: 2: 29). Dan juga berfirman “Telah dijelaskan semuanya bagi kalian apa-apa yang diharamkan ke atas kalian.” (QS: 6: 119). Karena itu, maka benarlah -kalimat yang menyatakan- “Sesungguhnya semua hal itu halal, kecuali apa-apa yang sudah diterangkan keharamannya di Qur an dan Hadits.”

Jadi, apapun yang tidak diterangkan keharamannya di Qur an dan Hadits, kita tidak boleh mengharamkannya, karena ia adalah halal. Hal itu karena Allah telah berfirman di QS: 6: 119, itu bahwa apa-apa yang diharamkan itu sudah dijelaskan. Artinya yang tidak dijelaskan sebagai haram, maka ia adalah halal.

Karena itu jangan berfikir dan bermadzhab (berjalur Islam) seperti wahabi yang merupakan raja bid’ah dengan hukum tunggalnya yang abadi “Yang tidak ada di jaman Nabi saww adalah bid’ah”. Karena pernyataan ini, tidak ada ayat dan riwayatnya dan merupakan bid’ah yang jelas-jelas dan di siang bolong. Persis seperti pernyataan mereka “Maulud itu bid’ah”. Sebab pernyataan ini tidak ada di ayat dan riwayat. Karena itu pernyataan tersebut adalah bid’ah yang demonstratif dan kebodoh-bodohan dan termasuk yang diharamkan Nabi saww dalam haditsnya:

“Semua hal yang baru itu, adalah tambahan. Dan setiap tambahan itu adalah sesat. Dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka”

Hal itu karena yang dimaksud dengan hal baru itu adalah dalam hal hukum. Seperti pengharaman wahabi terhadap maulud dan ulang tahun di atas itu, bukan perbuatan baru, budaya baru, pakaian baru, cara peringatan baru dan semacamnya kalau tidak dibumbui dan diiringi dengan penghukuman seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Wassalam.

Sinar Agama .

DLL catatan

Bung Burhan Jadi ustadz bagaimna dengan umar ibnu khattab yg menyerukan untuk sholat tarwih secara berjamaah, apakah itu dibolehkan dalam islam atau tidak, dan kalau tdk salah dan kalau saya tidak salah saya pernah baca dalam sebuah buku bahwa umar ibnu khattab menambah2 kreasi dalam adzan subuh apakah di bolehkan ustadz

Sinar Agama Bung Burhan Marhaenisme, jelas tidak boleh karena hal itu yang dikatakan menambahi atau mengurangi hukum. Ibadah khusus sudah diajarkan secara khusus, karena itu tidak boleh ditambah atau dikurangi supaya tidak menjadi bid'ah yang haram. Shalat Sunnah tidak boleh dilakukan berjamaa'ah kecuali minta hujan. Mengurangi "hayya 'alaa khairi al-'amal" dalam adzan dan menggantikannya dengan "al-shalaatu khairun mina al-naum" jelas tidak bisa dibenarkan secara muttafakun 'alaihi.

Mursalin Mursal Maaf ustad.
Adakah dalil / hadis yang di akui oleh orang2 sunni bahwa azan di jaman nabi Swwa seperti azan nya orang2 syia'h. Hayya 'alas khairi al-'amal. Bukan as-shalaatu kharum mina al-naum.

Sinar Agama Mursalin Mursal, sudah jelas ada sekalipun berbagai pandangan terhadap riwayat terserbut. Riwayat adzan Bilaal yang ada kalimat yang antum sebutka itu terdapat di riwayat nomor: 23174 mengambil dari riwayat Thabrani. Tapi di nomor: 23188 dikatakan bahwa Nabi saww menyuruh Bilaal mengganti kalimat tersebut dengan "Shalat itu lebih baik dari pada tidur", akan tetapi mengambil dari kitab hadits yang sangat kurang mu'tabar dibandingkan dengan hadits Thabrani di atas, yaitu "Musnad Sa'du al-Qarzh" dari Abu Syaikh.

Koreksi Jawaban Sebelumnya Tentang penambahan "Al-Shalaatu khairun mina al-naum" dan pengurangan "Hayya 'alaa khairi al-'amal", yang dikatakan muttafakun 'alaihi:

a- Seperti jawaban di atas di kolom ini (bukan kolom sebelumnya yang akan diperbaiki sekarang ini), dikatakan bahwa dalam satu riwayat yang sekalipun lemah, ada penambahan "Al-shalaatu khairun mina al-naum" dari Rasulullah saww.

b- Banyak hadits lain yang senada dengan poin (a) di atas yang lebih mu'tabar, akan tetapi banyak yang meragukan dari sisi matan atau kandungannya. Artinya, tidak jelas-jelas dari Nabi saww atau multi pahaman atau tafsir terhadap kalimat hadisnya.

c- Hadits yang lebih kuat dan umum di Sunni seperti di Shahih Muslim hadits ke: 578 ini, tidak menyebutkan "al-shalaatu khairun mina al-naum":

578 - حَدَّثَنِي إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ الثَّقَفِيُّ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ عَنْ خُبَيْبِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِسَافٍ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ فَقَالَ أَحَدُكُمْ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ثُمَّ قَالَ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ قَالَ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ

d- Tentang kalimat "Hayya 'alaa kairi al-'amal" juga terdapat banyak riwayat di Sunni sekalipun dari jalur mereka bisa dikatakan termasuk lemah.

e- Ada banyak riwayat di Sunni bahwa yang menambahkan "Al-shalaatu khairun mina al-naum" itu adalah Umar ketika dia menjadi khalifah, yaitu ketika mu'adzdzin sudah adzan tapi Umar masih tidur, lalu dipanggillah dia dengan kalimat "shalat itu lebih baik dari pada tidur", lalu ketika Umar bangun memerintahkan tukan adzan (mu'adzdzin) itu untuk menambahkannya dalam adzan secara resmi, seperti di hadits berikut ini:

انه بلغه إن المؤذن جاء إلى عمر بن الخطاب يؤذنه لصلاة الصبح فوجده نائماً فقال : الصلاة خير من النوم ، فأمره إن يجعلها في نداء الصبح

(lihat hadits di atas dan yang serupa di: Muwaththa' Imam Maalik, 1/69; Sunan al-Daaru Quthni, 1/243; Syarhu al-Zarqaanii, 1/149-150; Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 1/208)

f- Apapun itu, tentang adzan ini tidak terlalu penting untuk dijadikan pertengkaran atau bahkan peruncingan pendapat, karena dari awal hukumnya sunnah saja, bukan wajib. Terlebih riwayatnya banyak sekali perbedaan, baik dari sisi mutu hadits atau matan haditsnya.

Sinar Agama .

g- Tambahan:

Saya ingin menambahkan pembahasan kalimat "Asyhadu anna 'Aliyyan waliyyullaah" di riwayat sunni dengan menukilkan catatan yang sudah pernah dibuat sebelumnya, yaitu:

1283. Awal Penambahan Kesaksian Pada Wilayah Imam Ali as dalam Adzan, seri tanya jawab Delnia Hussen dengan Sinar Agama

http://www.facebook.com/.../21057069.../doc/491320587579409/
by Sinar Agama (Notes) on Saturday, February 9, 2013 at 1:35pm

Bismillaah: Awal Penambahan Kesaksian Pada Wilayah Imam Ali as dalam Adzan

Delnia Hussen Friends with Weni A. Riza:
(9-12-2012)

Ustadz, maaf mau tanya tapi melenceng dari status di atas. Perihal Penyebutan Nama Imam Ali as dalam adzan, siapakah yang pertama menggunakan penyebutan Nama Imam Ali as di dalam adzan? Apakah Rasulillah ustadz?

Sinar Agama: Delnia: Menurut berbagai riwayat yang diantaranya di kitab Sunni yang berjudul "al-Salaafah" karya Syaikh 'Abdullah al-Maraaghii al-Meshri diriwayatkan bahwa yang pertama menambahkannya itu adalah Salmaan al-Faarisi ra setelah perintah Nabi saww terhadap pembaiatan kepada imam Ali as di Ghadiir Khum. Juga disebutkan bahwa Abu Dzar ra.
Riwayat yang mengatakan Salmaan ra, mengatakan:

أنّ سلمان الفارسي ذكر فيهما ـ أي في الأذان والإقامة ـ الشهادة بالولاية لعليّ بعد الشهادة بالرسالة في زمن النبي )صلى الله عليه وآله(، فدخل رجل على رسول الله فقال: سمعت أمراً لم أسمع قبل ذلك. فقال: ماهو؟ فقال: سلمان قد يشهد في أذانه بعد الشهادة بالرسالة، الشهادة بالولاية لعليّ. فقال: سمعتم خيراً.

Sesungguhnya Salmaan al-Faarisii, di jaman Nabi saww, menyebutkan dalam keduanya -adzan dan iqomah- kesaksian terhadap wilayah/keimamahan untuk imam Ali as setelah kesaksian terhadap kerasulan Nabi saww. Lalu satu orang mendatangi Nabi saww dan berkata: "Aku mendengar sesuatu yang tidak pernah kudengar sebelumnya." Nabi saww bertanya: "Apa itu?" Dia berkata: "Salmaan terkadang bersaksi dalam adzannya dengan kewilayahan Ali setelah kesaksiannya terhadap kerasulan." Nabi saww berkata: "Kamu mendengar sesuatu yang baik."

Riwayat yang mengatakan bahwa Abu Dzar ra yang pertama melakukannya mengatakan:

وفيه رواية اُخرى أنّ أباذرّ يذكر في الأذان بعد الشهادة بالرسالة ذلك، ويقول: أشهد أنّ عليّاً وليّ الله، فأخبر بذلك رسول الله )صلى الله عليه وآله( فقال: كذلك أو نسيتم قولي في غدير خم: من كنت مولاه فعليّ مولاه؟ ـ

Abu Dzar menambahkan kesaksian kepada wilayah imam Ali as setelah kesaksiannya terhadap kerasulan dan berkata: "Aku bersaksi bahwa Ali adalah wakil/wali Allah." Lalu orang-orang menyampaikannya kepada Rasulullah saww. Lalu beliau saww berkata: "Memang demikian kenyataannya. Apakah kalian lupa perkataanku di Ghadiir Khums: 'Siapa yang menganggap aku sebagai pemimpimnya, maka Ali adalah pemimpinnya juga" ???
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa pembolehan itu, anggap hadits ini memang demikian, maka bermaksud pembolehan, bukan pensunnahan dan, apalagi pewajiban.

Tambahan:
Hadits-hadits itu, walau saya belum melihat kitabnya sendiri dan sanad-sanadnya, tapi dikuatkan dengan banyak hadits-hadits Sunni yang lain secara tidak langsung, seperti:

1 - عن أبي الحمراء، عن رسول الله )صلى الله عليه وسلم( قال: لمّا أُسري بي إلى السماء، إذا على العرش مكتوب: لا إله إلاّ الله محمّد رسول الله أيّدته بعلي

Dari Abu al-Hamraa' dari Rasulullah saww yang bersabda:

"Ketika aku israa' ke langit, tertulis di 'Arsy: 'Tiada Tuhan kecuali Allah, Muhammad rasulullah dan Kukuatkan dia dengan Ali.'." (lihat: al-Syifaa'-u Bi Ta'riifi Huquuqi al-Mushthafaa, 1/138; Manaaqib 'Alii bin Abii Thaalib, karya Ibnu a-Maghaazilii al-Waasithii, 39; al-Riyaadhu al-Nadhratu Fii Manaaqib al-'Asyarati al-Mubasysyirati, 2/172; Nazhmu Duraru al-Simthain, 120; Majma'u al-Zawaaahid, 9/121; al-Khashaaish al-Kubraa, 1/7; Tafsiir al-Duraru al-Mantsuur, 4/153).

2 - الطبراني بالاسناد عن جابر بن عبدالله الانصاري، قال: قال رسول الله: مكتوب على باب الجنّة: محمّد رسول الله علي بن أبي طالب أخو رسول الله، هذا قبل أنْ يخلق الله السماوات والارض بألفي عام

Thabraani dengan sanadnya dari Jaabir bin 'Abdullah al-Anshaari berkata bahwa Rasulullah saww bersabda: "Ditulis di pintu surga: (Muhammad rasulullah, 'Ali bin Abi Thaalib saudara Rasulullah) dimana tulisan ini ditulis sejak dua ribu tahun sebelum Allah mencipta langit dan bumi." (Kanzu al-'Ummaal, 11/624; al-Manaaqib, 87).

3 - عن ابن مسعود، عن رسول الله (صلى الله عليه وسلم): أتاني ملك فقال: يا محمّد (وَاسْأَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رُسُلِنَا) على ما بعثوا، قلت: على ما بعثوا ؟ قال: على ولايتك وولاية علي بن أبي طالب.
فالانبياء السابقون بعثوا على ولاية رسول الله وأمير المؤمنين من بعده، أي كلّفوا بإبلاغ هذا الامر إلى أُممهم.

Dari Ibnu Mas'uud, dari Rasulullah saww: "Telah datang kepadaku malaikat dan berkata: 'Wahai Muhammad, tanyakan kepada kami atas tujuan pengutusan para rasul sebelum kamu!' Akupun bertanya: 'Atas apa?' Ia menjawab: 'Atas kewilayahanmu dan kewilayahan Amirulmu'miniin setelah kamu.'." Karena itu, para nabi terdahulu as, diutus untuk kepemimpinan Rasulullah saww dan Amirul mu'miniin setelahnya. Yakni ditugasi untuk menyampaikan hal tersebut. (Lihat di kitabnya Hakim pengarang Mustadrak, dalam kitabnya Ma'rifatu 'Uluumi al-Hadiits, 96).
......................dan lain-lain dari hadits-hadits yang menyusulkan kepemimpinan atau kewilayahan imam Ali as kepada kepemimpinan dan kewilayahan Nabi saww.
Wassalam.







0 comments:

Post a Comment

Andika Karbala. Powered by Blogger.