Monday, February 20, 2017

on Leave a Comment

Mohon dijelaskan maksud , Amal itu tergantung niatnya?

Link : https://www.facebook.com/sinaragama/posts/1148450671935055

Salam ustadz.
Mohon dijelaskan maksud , Amal itu tergantung niatnya??
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Sinar Agama Dalam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Secara pemahaman pertama dan mudahnya adalah bahwa tiap amal kebaikan itu akan diberi balasan sesuai dengan keikhlashannya. Kalau tidak ikhlash amalnya akan ditolak tapi sebaliknya kalau ikhlash, maka akan diterima oleh Allah swt. Ini pemahaman umum, pertama dan mudahnya yang biasa diistilahkan dalam peristilahana ilmiah sebagai "Mutabaadir".

2- Secara pemahaman ilmiah, filsafat dan irfan mungkin perlu mempehatikan beberapa hal berikut ini (hitung-hitung pengulangan, peringkasan dari yang sudah-sudah dan pengarahan kepada obyek baru yang tentang niat ini):

a- Pembahasan Ilmu:

a-1- Dalam pembahasan ilmu dan esensinya, telah dibuktikan bahwa pemilik ilmu di dalam diri manusia itu adalah ruhnya, baik ilmu di ruh daya-tambang, daya-nabati, daya-hewani dan/atau daya-akalnya, sesuai dengan tingkatannya masing-masing.

a-2- Dalam pembahasan ruh juga sudah dibahas bahwa ruh itu adalah wujud non materi yang mengatur semua materi yang ada di alam wujud ini.

a-3- Dalam pembahasan ruh, ilmu, yang diketahui dan obyek ilmunya (ilmu, ilmuan dan ilmued) telah dibuktikan pula bahwa pada hakikatnya ketiganya itu adalah satu, yaitu ruh itu sendiri.

Alasannya, obyek itu itu baik tentang alam nyata di luar diri ruh atau alam nyata di dalam diri ruh, semuanya berada di dalam diri ruh. Sebab ilmu itu definisinya adalah kehadiran obyek ilmu di dalam yang pemilik ilmu (yang tahu atau ilmuan).

Nah, kalau ilmu itu adalah kehadiran obyek ilmu di dalam diri pemilik ilmu (ruh) dan semuanya adalah non materi sebab kehadirannya di dalam ruh yang non materi, berarti ruh itu adalah hakikat ketiganya, yaitu pemilik ilmu, obyek ilmu dan hubungan antara keduanya yang dikatakan ilmu.

Kalau antum belum pernah membahas hal ilmu ini ketahuilah bahwa dalam peristiwa ilmu atau pengetahuan, ada tiga unsur penting:

- Pertama, pemilik ilmu (ilmuan).

- Ke dua, obyek ilmu atau yang diketahui (ilmued).

- Ke tiga adalah ilmunya (ilmu), yaitu hubungan antara pemilik ilmu dan obyek ilmu.

Dengan rincian di atas, dapat diketahui bahwa ketiganya itu ada di dalam ruh yang non materi. Kalau demikian, maka ketiganya adalah satu pada hakikatnya. Terlihat tiga oleh kita karena dilihat dari tiga sisi atau dimensi, ilmuan, ilmued dan ilmu.

(bersambung......)

Sinar Agama .

a-4- Dalam pembahasan obyek ilmu, disebutkan ada dua macam:

a-4-1- Ilmu Hushuuli atau Ilmu Panca Indra. Yaitu ilmu yang didapat dari luar diri melalui panca indra. Di sini, obyek sebenarnya yang diketahui ruh, bukan wujud-wujud luar dirinya itu, melainkan gambaran yang dihasilkan dari copas-an yang dilakukan panca indra. Misalnya, panas yang dirasakan indra badaninya, dicopas ke ruh. Jadi, yang diketahui ruh bukan panas hakiki di wujud luarnya, sebab kalau demikian maka seluruh alat-alat ruh seperti otak yang dimiliknya, akan hangus terbakar atau jadi masak.

Jadi, kehadiran obyek ilmu di sini adalah kehadiran gambarannya, bukan dirinya secara langsung. Tapi karena ilmu itu terhadap esensi/hakikat obyek, bukan wujud/eksistensi dan ciri wujud luarnya, apa yang diketahui ruh sama persis dengan esensi obyek luarnya. Tidak seperti yang dituduhkan kelompok Sophis yang mengatakan bahwa seluruh ilmu itu tidak lain hanyalah kesalahan dan kepalsuan sebab yang di ruh bukan yang di luar ruh. Yakni ilmuednya bukan hakikat yang ada di luar.

Karena Sophis ini mengingkari semua ilmu, maka dijelaskanlah seperti yang sudah saya jelaskan di atas itu. Dan para filosof mengatakan bahwa kalau mereka masih mengingkarinya juga, maka ajaklah menyebrangi sungai atau ke harimau ganas. Kalau dia mengangkat celananya atau lari dari harimau itu, maka katakan: "Apa yang kamu tahu itu (ilmued), tidak sama dengan yang sebenarnya, karena itu jangan angkat celanamu atau jangan lari dari harimau itu."

a-4-2- Ilmu Hudhuri atau Ilmu Kehadiran. Yaitu ilmu yang obyek ilmunya (ilmued) itu sendiri yang datang di ruh, bukan gambarannya atau esensinya saja, melainkan wujud atau eksistensinya sendiri. Misalnya kita mengetahui keberadaan diri kita, cinta diri kita, marah diri kita, lapar diri kita dan seterusnya (Hudhuri), bukan mengetahui keberadaan orang lain, cinta orang lain, marah orang lain dan lapar orang lain (Hushuli).

(bersambung......mau ngerjain tugas lain dulu).

Sinar Agama .

a-5- Dalam pembagian obyek ilmu dari sisi kemuliaannya maka obyek ilmu (ilmued/knowed) terbagi menjadi:

a-5-1- Sangat sempurna, yaitu Allah swt. Walaupun Allah tidak bisa menjadi obyek apapun karena ketidak-terbatasanNya, akan tetapi setidaknya pengertian-pengertian tentangNya sejauh yang dapat dijangkau akal (walaupun tetap bukan Dia), adalah obyek yang paling sempurna bagi ilmu dan ilmuannya. Tentu saja selain Dia (walau yang ada dalam akal dan pengertian manusia) sendiri yang Maha dalam segala-galanya, juga dapat memberikan banyak kebaikan bagi manusia, seperti mengertiNya, tawadhu' padaNya, mencari mauNya, menaati mauNya, ikhlash padaNya, mendambakan dan mengharapkanNya, dan seterusnya.

a-5-2- Sempurna, yaitu agama yang meliputi akidah-akidah selain tentangNya dan Sifat-sifatNya yang sudah dipoinkan di atas, seperti tentang kenabian, keimamahan, hari akhir, Qur an-hadits (dari sisi keimanannya fan filosofinya) dan seterusnya, dan juga yang meliputi selain akidah seperti fiqih, akhlaq, Qur an-hadits (dari sisi pembelajaran tafsirnya, maksudnya, dan cara perawiannya atau mutu haditsnya), sosial, politik dan seterusnya dari sisi pandangan Islam tentunya.

a-5-3- Biasa saja, yaitu ilmu-ilmu yang berkenaan dengan teknologi yang mana sebenarnya dalam istilah filsafat tidak disebut ilmu melainkan keahlian.

a-5-4- Tidak baik, yaitu ilmu-ilmu yang obyeknya berkenaan dengan sihir.

Catatan:
Poin (a-5-1) dan (a-5-2) kalau diamalkan disebut sebagai Ilmun Naafi', atau Ilmu Yang Berguna. Tapi kalau tidak diamalkan maka tidak disebut sebagai ilmu yang berguna. Berguna yakni bagi kemuliaan derajat kemanusiaan di hadapan Tuhan Yang Maha Tidak Terbatas. Dan kesempurnaan di hadapanNya, sudah jelas berupa kehinaan mutlak dan tanpa kepemilikan mutlak sebagai sudah sering dijelaskan.

Sedang obyek ilmu di poin (a-5-3) tidak disebut sebagai ilmu yang naafi' (baca: bagi derajat kemanusiaan dan keakhiratannya). Begitu pula obyek kedua ilmu sebelumnya itu manakala tidak diamalkan. Jadi, kalau kita dianjurkan oleh agama untuk berdoa seperti ini:

"Ya Allah, berikanlah aku ilmu yang bermanfaat." Atau "Ya Allah jauhkanlah aku dari ilmu yang tidak bermanfaat.", maka maksudnya adalah yang sudah diterangkan di atas itu.

Yakni berguna untuk derajat kemanusiaannya dan/atau keakhiratannya, bukan untuk metari di dunia ini. Karena itulah bagi mereka para pencari kebahagiaan akhirat, dunia ini di mata mereka terhitung kecil.

Ingat, sebagaimana sudah sering dijelaskan bahwasannya dunia itu bukan alam, uang, anak, istri, jabatan, harta dan semacamnya, melainkan suka kepada semua itu. Suka dan bangga kepada semua itulah yang dikatakan dunia yang rendah yang akan merontokkan sendi-sendi kemanusiaan atau kederajatan-manusianya.

(bersambung......)

Sinar Agama .

b- Pembahasan Amal/perbuatan:

b-1- Di atas sudah diterangkan bahwa iimu seperti apapun, kalau tidak diamalkan maka akan menjadi ilmu yang tidak bermanfaat karena akan tertahan di Hushuliannya.

b-2- Kalau ilmu Hushuli itu diamalkan maka akan dikatakan bermanfaat untuk derajat kemanusiaannya. Hal itu disebabkan oleh kemenjadian ilmu Hushuli itu kepada Hudhuri.

Misalnya tahu atau ilmu tentang wajibnya shalat atau haramnya zina/pacaran dimana jelas merupakan ilmu Hushuli karena yang hadir pada diri yang tahu adalah gambarannya, bukan hakikat shalat, zina dan pacarannya secara esensial dan hakiki (batin). Namun ketika diamalkan, yakni melakukan shalat dan menjauhi zina/pacaran, maka hakikat keduanya akan merapat pada ruh yang mengetahuinya melalui ilmu Hushuli tersebut. Kalau ketaatan itu terus dilakukan secara istiqamah, hingga tidak lagi ada kemungkinan akan berubah, maka ketika itulah ilmunya itu tidak lagi bisa dipisahkan darinya.

Nah, ketika tidak bisa dipisahkan dari dirinya, maka berarti telah menjadi bagian dirinya, alias bagian esensi dan eksistensinya. Karena itu sebenarnya esensi yang menyatukan ketaatan tersebut dalam esesnsinya itu, telah berbeda esensi dengan esensi-esensi lain yang terlihat secara lahiriah sama dengan dirinya, misalnya manusia atau binatang rasional. Sebab dia sudah memiliki jati diri lain atau bagian esensi yang lain yang tidak bisa dipisahkan dari esensinya, yaitu shalat dan menjauhi haramnya zina/pacaran. Karena itu secara hakikinya esensi dia sudah menjadi "Manusia yang shalat, jauh dari zina/pacaran" atau "Binatang Rasional yang shalat, jauh dari zina/pacaran." Kalau shalat itu kita ganti dengan X dan pahala dari menjauhi zina/pacaran itu kita ganti Y, maka esensi dia akan menjadi "Manusia yang X dan Y", atau "Binatangn rasional yang X dan Y."

Nah, karena esensi dan bagian-bagiannya itu tidak bisa dipisah, maka kelak dia akan dibangkitkan dengan esensi yang sudah memiliki dua tambahan tersebut. Karena itu, kelak wajah/esensi dia dengan manusia yang lain akan berbeda.

Karena itulah Tuhan mengatakan kepada kaum Yahudi yang melanggarNya seperti ini: "Jadilah kalian monyet-monyet yang hina." (QS: 2:62). Atau mengatakan bagi pemakan harta anak yatim sebagai contoh makanan haram, sebagai tidak makan apapun dalam perutnya kecuali api neraka (QS: 2:174). Atau yang tidak menjual ayat-ayat Tuhan kecuali dengan harga yang sedikit seperti jabtan dan/atau hawa nafsu seperti para Wahabi yang menjual ayat dengan keyakinannya sendiri yang sangat relatif itu (dengan meyakin-yakinkan bahwa dirinya sesuai ayat seratus persen dan yang lainnya ahli neraka karena tidak seperti dirinya) dan membantai muslim yang lain demi kekuasaan dan kesokbenarannya sendiri sebagai tidak makan apapun kecuali api sebagaimana difirmankan dalam QS: 2:174:

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang telah diturunkan Allah dari kitab, dan membeli dengannya dengan harga yang sedikit, maka mereka itu tidak makan apapun di dalam perut mereka kecuali api dan Allah tidak akan berbicara dengan mereka (baca: dengan pembicaraan penuh rahmat dan ampunan, bukan pembicaraan secara mutlak yang meliputi kemurkaan) pada hari kiamat, dan -Allah- tidak akan mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih."

Kerena itu pula Nabi saww menangis sepulang dari Isra' dan Mi'raj karena telah melihat banyak orang di neraka tersiksa dengan wajab berupa anjing, babi dan semacamnya.

(bersambung ....)

Sinar Agama .

b-3- Sebagaiman perincian tentang ilmu, tentang amal ini juga dirinci seperti itu. Yakni sebagaimana badan tidak bisa mengetahui kecuali ruhnya, maka badan juga bukan pelaku amal, melainkan ruhnya. Jadi, pelaku dari semua yang dilakukan oleh manusia, bukanlah badannya melainkan ruhnya.

b-4- Kalau pelakunya adalah ruh, dan ruh itu non materi, maka berarti amal dan obyek amalnya juga di dalam ruh. Karena itu, pelaku, amal dan obyek amalannya, adalah satu yaitu ruh itu sendiri sebagaimana ilmu, ilmuan dan ilmuednya adalah satu yaitu ruhnya.

b-5- Kalau ketiganya adalah ruh, maka perbedaan pengertian dari pelaku, obyek perbuatan dan perbuatannya, hanyalah di alam pemahaman kita lantaran melihat ruh dari tiga sisi yang berbeda.

b-6- Contohnya manusia melakukan shalat atau makan.

- Pelakunya jelas ruh karena badan tanpa ruh tidak bisa bergerak. Apalagi untuk melakukan keduanya perlu kepada ilmu dan kehendak dimana badan tanpa ruh tidak mungkin memiliki keduanya.

- Obyek perbuatannya jelas bukan shalat dan makanan. Sebab keduanya diketahuinya secara Hushuli alias keduanya tidak ada di ruh manusia. Karena itu, obyek perbuatannya adalah ilmu tentang keduanya dan tentang kemaslahatan keduanya bagi ruh yang mengetahuinya. Karena itulah yang dijadikan kejaran obyek perbuatannya adalah kemaslahatan di dalam ruhnya itu sendiri, seperti berpahala, tidak sakit, senang di dunia-akhirat dan semacamnya.

- Perbuatannya juga di dalam ruh karena perbuatannya adalah melakukan shalat dan makan yang diketahuinya di dalam dirinya (ruh). Jadi, shalat dan makan yang secara badani itu, hanya perantaraan yang tidak bisa tidak (baca; yang harus dilakukan, ini yang membedakan kita dengan aliran kebatinan) harus dilakukan demi mencapai shalat dan makan serta kemaslahatannya yang ada di dalam ruh yang non materi itu.

c- Kalau semua itu sudah diingat kembali (bagi yang sudah tahu sebelumnya) atau diketahui (bagi yang belum tahu), maka berarti seluruhnya adalah satu saja, yaitu ruh. Maksudnya ilmu, ilmuan dan ilmued, begitu pula pelaku, perlakukan dan obyek perlakuannya, semua adalah satu yaitu ruh itu sendiri.

3- Jawaban Soal:

Kalau semua itu sudah diketahui, maka ketika ada riwayat mengatakan semua amal itu tergantung niatnya, maka berarti tergantung ruhnya. Sebab ruh yang mengetahui dan melakukan, ruh juga yang diketahui dan menjadi obyek perbuatan, serta ruh itu pula yang merupakan ilmu dan perbuatannya. Karena ruh yang berniat, yang diniati dan juga sebagai niatnya itu sendiri (esensi niat alias ilmu ruh tentang niat yang juga ada di dalam ruhnya).

Jadi, ketergantungan amal pada niat itu, akan memiliki dua pembagian derajat secara global:

a- Sejauh mana ilmu dan amal terhadap niat dan tulusnya itu sendiri.

b- Sejauh mana ilmu dan amal terhadap perangkat-perangkat niatnya, seperti ilmu dan amal tentang/terhadap Tuhannya, Nabinya saww, Imamnya as, agamanya, Qur an-haditsnya, akhiratnya, dan seterusnya. Wassalam.

Ali Asytari Luar biasa penjelasannya ustadz.

Smoga kita semua betul2 berniat yg krnAllah setiap gerak2 kita....Lihat Selengkapnya







0 comments:

Post a Comment

Andika Karbala. Powered by Blogger.