Friday, May 26, 2017

on Leave a Comment

Mohon pencerahannya yang di maksud dengan "menolong agama Alloh" itu seperti apa ustadz?

Salam ustadz.. Mohon pencerahannya yang di maksud dengan "menolong agama Alloh" itu seperti apa ustadz..? Bukankah agamalah yang akan menyelamatkan manusia ya pak.. Matursuwun
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Mursalin Mursal Ikut Nyimak
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas18 April pukul 21:35

Sukarno Karno Salam nyimak
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas18 April pukul 22:32

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya: Menolong agama Allah swt itu banyak sekali caranya dan tingkatannya, misalnya:

1- Mempelajari agama dengan gigih dan dengan cara yang benar dari perawian yang benar dan dipercaya serta semua ilmunya mesti argumenta
tif.

2- Mengamalkan ilmunya dengan benar dan ikhlash kepada Allah. 

3- Memberi penjelasan dan rangsangan kepada yang belum tahu untuk belajar dan mengamalkan, yakni mengajar mereka dan mengajak mengamalkan ilmunya. Kalau kurang pintar mengajarinya, maka ajak ke mereka ke tempat belajar yang benar.

4- Menyumbangkan harta, waktu dan kemampuan untuk agama manakala agama memerlukannya, yakni umat muslim memerlukannya, seperti kegiatan syi'ar, dakwah, pengajian, tadarus, pendidikan dan apa saja bahkan seperti membangun masjid, sekolah agama, jalan-jalan yang diperlukan muslimin dan semacamnya. 

5- Melindungi agama dari serangan lahir batinnya orang kafir dan orang-orang sesat dengan segala cara yang benar dan dengan sepenuh kemampuan, baik lisan, tulisan, perbuatan dan apa saja. Kalau klimaks dan puncak, maka barangkali perlu berperang secara fisik. Tentu kalau Islam dan muslimin diserang duluan. Sebab kita sebagai muslim, tidak boleh menyerang duluan kepada orang kafir.

6- Bahkan membantu ekonomi orang muslim yang fakir dan miskin, juga termasuk menolong agama Allah swt.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas
1
19 April pukul 15:31Telah disunting

Mohamad Misrundiewirya Nuwunsewu.. Pertanyaan susulan.. Tentang kalimat syahadat. apakah di Syiah itu dalam bersyahadat berbeda dengan Suni, apa benar harus di tambahi ashadu Anna Aliyin waliyullah.. Matursuwun atas pencerahannya ustadz Sinar Agama..
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas19 April pukul 19:43

Sinar Agama Mohamad Misrundiewirya, ini saya cuplikkan dari catatan bernomor (pertanyaan antum adalah pertanyaan nomor: 1 dari beberapa pertanyaan di catatan tersebut) berikut:

705. Sekilas Kandungan Aqidah Syi’ah Oleh Ustadz Sinar Agama

http://www.facebook.com/.../21057069.../doc/331113216933481/
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 11 Februari 2012 pukul 22:27
(sumber : FB : 25/01/2012:Pukul 18:11 Akun : Sinar Agama)

Komariah Hermansyah: APAKAH BENAR YANG BERIKUT, KALAU SALAH MOHON KERENDAHAN HATI USTADZ UNTUK MENJELASKAN KEBENARANNYA ?
Kandungan Aqidah Syi’ah :

1. Mempunyai tiga kalimat Syahadat disamping Asyhadu An Laailaaha illallaah, wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullaah, ditambah lagi dengan menyebut nama 12 Imam mereka.

2. Kedudukan Imam-Imam Syi’ah lebih tinggi dibanding kedudukan para Nabi ( termasuk Nabi Muhammad SAWW ) dan para Malaikat ( termasuk Malaikat Jibril ). Imam Syi’ah mampu mencegah dan melarang kehendak Allah, serta mampu memerintah Allah sesuai kehendaknya. Imam Syi’ah bersifat MA’SHUM / tidak mungkin salah, justru Allah yang pernah melakukan kesalahan, seperti menurunkan al-Qur an kepada Nabi Muhammad SAWW, semestinya kepada Imam Ali bin Abi Tholib. Orang yang tidak beriman kepada Imam-Imam Syi’ah dianggap kafir dan akan masuk Neraka. 

3. Barang siapa menangis / menangis-nangiskan dirinya atas kematian Sayyidina Husein akan diampuni semua dosa-dosanya baik yang sudah dilakukan maupun yang akan dilakukan, dan WAJIB atasnya mendapat Surga. 

4. Menziarahi kubur Sayyidina Husein di Karbala menyamai 100 haji mabrur dan 100 umrah yang diterima Allah, terlebih lagi jika dilakukan pada hari Arafah maka pahalanya sama dengan haji 1.000.000 kali bersama Imam Mahdi. Seseorang yang menziarahi Husein selepas kematiannya pasti diampuni dosanya walaupun sebanyak buih di laut dan PASTI mendapat Surga, tetapi bagi yang tidak mampu menziarahinya cukuplah ia menangisi kesyahidan Sayyidina Husein. 

5. Seseorang yang menangisi Ali Al-Ridha ( Imam Ma’sum yang ke-8 ) pasti diharamakaan Allah atasnya Neraka. Menurut versi Syiah Imam Musa Al-Kazim ( Imam Ma’sum yang ke-7 ) mengatakan bahwa : “Barang siapa yang menzirahi kubur anakku Ali Al-Ridha maka pahalanya di sisi Allah menyamai pahala 70.000 haji, dan siapa yang bermalam di kuburnya dia seperti menziarahi Allah di Arasy-Nya“. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya. Nanti akan diberikan oleh Pencinta in syaa Allah. Tetapi mungkin secara ringkas saya akan menyebutkan sebagian saja:

(1). Syahadat itu adalah kesaksian, apapun itu. Seperti antum menyaksikan di pengadilan terhadap pemukulan, pemerkosaan, pembunuhan ....dan seterusnya. Jadi tidak ada yang angker dengan syahadah ini. Kesaksian-kesaksian akan Tuhan itu Esa, nabi Muhammad saww itu nabi dan rasul, kitab-kitab itu hak dan benar, kiamat itu benar, timbangan di akhirat itu benar, bidadari itu benar, surga itu benar, Qur ban itu benar, jin itu benar adanya, syethan itu benar adanya, alam ini benar adanya, nabi Adam as itu benar adanya, nabi Isa as itu benar adanya, . dan seterusnya ... yang seambrek lagi kesaksian-kesaksian, tidak ada yang salah dan tidak ada yang aneh dan angker. Yang salah adalah yang membuatnya angker.

Nah, dengan itu pula, maka kesaksian akan kebenaran imam 12 itu, sudah tentu tidak angker dan merupakan hal biasa. Akan tetapi kesaksian-kesaksian seperti ini, tidak masuk ke dalam ibadah-ibadah khusus yang sudah ditentukan caranya, seperti syahadat dalam shalat wajib atau sunnah kita. Karena itu dalam tahiyyat atau tasyahud, tidak menyebutkan keimanan-keimanan selain kesaksian kepada keTuhanan Allah dan kenabian nabi Muhammad saww.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas
1
20 April pukul 10:40

Sinar Agama .

(2).: 

(2-a). Pangkat kenabian dan kerasulan itu memang kalah dengan pangkat keimamahan. Akan tetapi para rasul itu biasanya juga imam. Tetapi dari pangkat kenabian atau kerasulannya itu harus diuji dulu. Karena itulah, mereka juga memimpin imam-imam setelahnya.

Bukti tentang tingkatan imamah itu lebih dari kenabian dan kerasulan, adalah QS: 2: 124:

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

Ketika nabi Ibrahim diuji Tuhannya dengan kalimat-kalimat (ujian-ujian) dan iapun menyelesaikan semua ujian-ujian itu, kala itulah Tuhan berkata: "Sesungguhnya Aku sekarang menjadikanmu IMAM untuk manusia". Berkata Ibrahim: 
"Dan dari keturunanku?" (baca: memohon). Berkata -Allah: "Tidaklah janjiku ini akan menepati keturunanmu yang zhalim (punya dosa dan lain-lain)."

Nah, nabi Ibrahim as yang sudah menjadi nabi dan rasul dengan berbagai wahyu yang diterimanya (seperti ketika menerima perintah-perintah ujian itu), seperti harus dibakar, tidak punya anak, setelah punya anak disuruh meletakkan anak dan istrinya di padang sahara yang tidak ada siapapun disana (yang kemudian menjadi Makkah sekarang ini), dan bahkan diuji dengan menyembelih anknya ketika sudah besar ....dan seterusnya ... baru setelah itu Allah mengangkatnya menjadi IMAM.

Dan ketika Imam itu melebihi nabi dan rasul, dimana nabi dan rasul melebihi mukminin, dan mukminin itu melebihi malaikat (hingga karenanya disuruh sujud pada manusia), maka sudah tentu Imamah itu melebihi tingkatan malaikat. Untuk kelebihan orang shalih dari malaikat ini tidak perlu dibuktikan, karena Sunni juga meyakininya. Apalagi kemulian malaikat itu sudah dari sononya, bukan diusahakan seperti manusia yang harus memerangi hawa nafsunya. Karena itulah maka para malaikat menjadi pelayan orang-orang shalih di surga.

Nah, untuk nabi Muhammad yang lebih afdhal dari nabi Ibrahim as, sudah tentu beliau saww selain nabi dan rasul, juga merupakan imam, karena itu, maka keimamahan siapapun di muka bumi ini, tidak melebihi tingkatan keimamahan nabi Muhammad saww.

Perlu diketahui, bahwa sebagaimana kenabian dan kerasulan yang memiliki tingkatan, imamah ini juga memiliki tingkatan dan, terafdhalnya imamah adalah imamahnya nabi Muhammad saww, setelah itu baru imamahnya 12 imam pengganti beliau as dan baru setelah itu imamahnya nabi-nabi dan rasul-rasul terdahulu.

Dan hal ini, yakni kelebihan imam 12 dari para nabi terdahulu itu tidak aneh dan angker karena di Sunni sendiri, ulama itu saja sudah seperti nabi-nabi dan rasul-rasul jaman dulu atau para nabi dan rasul Bani Israil, seperti:

علماء أمتي كأنبياء بني إسرائيل

"Ulama umatku seperti nabi-nabi Bani Israil"
Lihat di kitab-kitab Sunni seperti.: Tafsir Fakhru al-Roazi, 17/93; 19/77; 27/108; 29/130; Tafsir al-Siraaju al-Muniir, 3/205; ...dan lain-lain dari kitab-kitab tafsir Sunni.
Nah, kalau ulama yang tidak makshum saja, sudah seperti nabi-nabi dan rasul-rasul menurut Sunni, maka bagaimana dengan yang makshum?

Lagi pula ditambah dengan hadits Sunni yang lain yang mengatakan:

العلماء ورثة الأنبياء

"Ulama itu pewaris pasa nabi."

Lihat di kitab-kitab Sunni seperti: Tafsir Kabir, 21/157; 22/171; 28/119; Tafir Qurthubi, 11/78; 11/81; 13/164; ...dan lain-lain-nya dari kitab-kitab tafsir yang banyak sekali; Jaami'u al-Ahaadiits, karya Suyuuthi, hadits ke: 14509, 22142, 22469, .... dan lain-lain dari kitab-kitab yang banyak.
Nah, kalau ulama itu pewaris para nabi, berarti mewarisi nabi-nabi sebelumnya dan nabi Muhammad dimana kalau digabung, maka sudah pasti lebih afdhal dari sebelum nabi Muhammad saww, walaupun tidak akan lebih dari nabi Muhammad saww karena ilmu beliau saww meliputi nabi-nabi yang lainnya juga. Tetapi kalau dibandingkan dengan nabi-nabi sebelumnya, maka apa-apa yang akan diwarisi ulama ini, walaupun hanya dari nabi Muhammad saww (apalagi hadits itu mengatakan mewarisi para nabi dimana mencakupi semua nabi-nabi), maka sudah tetap lebih afdhal dari nabi-nabi atau rasul-rasul sebelumnya. Karena jelas, bahwa Qur an itu adalah paling lengkapnya paling sempurnanya kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi dan rasul-rasul. Nah, kalau ulama Islam mewarisi Qur an, maka ia bisa melebihi nabi dan rasul-rasul terdahulu.

Mungkin kita bertanya, bahwa anggap pewarisan ilmu Nabi Muhammmad saww seperti itu, akan tetapi siapa yang bisa mewarisinya dan apa jaminan pewarisannya itu?
Pertanyaan ini jurstru harus diajukan ke Sunni, karena ulamanya tidak ada jaminannya dari Tuhan dan Nabi saww. Akan tetapi kalau di Syi’ah, karena setidaknya maksudnya adalah Ahlulbait yang makshum, maka sudah jelas bahwa mereka ada jaminannya dari Allah dan Nabi saww, seperti:
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas
1
20 April pukul 10:41

Sinar Agama .

- Jaminan Allah: QS: 33: 33:


إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

"Sesungguhnya Allah hanya ingin menjauhkan dari kalian Ahlulbait, segala kekotoran (dosa-dosa), dan membersihkan kalian sebersih bersihnya."

Nah, ketika Ahlulbait itu sudah bersih dan makshum, maka semua ilmu dan amalnya sudah pasti lengkap, benar dan diamalkan 100 %.

- Jaminan Nabi saww banyak sekali, salah satunya adalah:

أنا مدينة العلم وعلي بابها ، فمن أراد المدينة فليأت الباب

"Aku kota ilmu dan Ali adalah pintunya, barang siapa ingin masuk kota, maka masuklah liwat pintunya".

Hadis ini dan semacam ini bisa dilihat di kitab-kitab Sunni seperti: Mustadrak Hakim, hadits ke: 4612. 4613, al-Mu'jamu al-Kabiir, karya Thabrani, hadits ke: 11061; Jaami'u al-Ahaadiits, hadits ke: 5741, 5742, 5743, 33915, Kanzu al-'Ummal, hadits ke: 32890, 32978, 32979, 36464; ...dan lain-lain -nya dari seambrek lagi di kitab-kitab Sunni lainnya.

Dengan demikian, apapun makna hadits pewarisan itu, maka Ahlulbait as dijamin sebagai pewaris lengkap ilmu-ilmu Nabi saww yang, sudah tentu juga al-Qur an, karena itulah Qur an sendiri mengatakan (QS: 56: 77-79):

إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ (77) فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (79) 

Sesungguhnya ia adalah al-Qur an yang mulia. Berada di Kitab yang tersembunyi (lauhu al-mahfuzh). Tidak ada yang bisa menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan (makshum)."

Dan ketika Ahlulbait as itu pewaris Nabi saww dan Qur an, maka sudah tentu mereka akan lebih afdhal dari nabi-nabi sebelumnya.

Kata orang awam, "Memang para imam Ahlulbait as itu adalah wakil, akan tetapi wakilnya Nabi saww dimana merupakan paling afdhalnya para Nabi saww. Seperti wakil presiden yang sudah tentu lebih afdhal dari ketua Provinsi, Kota, Desa ...dan seterusnya."

Kata-katanya awam dan sederhana, akan tetapi memiliki bobot yang memudahkan pemahaman orang yang baru mendengar akan hal-hal seperti ini.

Sudah tentu, kita tidak melecehkan para nabi dan rasul terdahulu, na'udzubillah, karena hal itu sama dengan melecehkan Nabi saww dan para imam Ahlulbait as itu sendiri. Akan tetapi, kami mengurai hal ini, dalam rangka menyanjung Nabi saww dan agama terakhir Tuhan yang jelas lebih lengkap dan afdhal dari agama dan kitab-kitab sebelumnya. 

‎(2-b). Tentang bahwa imam-imam mampu mencegah kehendak Tuhan atau bahwa Tuhan telah keliru menurunkan Qur an, maka jelas itu, merupakan kata-kata yang asal diucapkan saja dan jelas tanpa bukti. Kalau orang yang mengatakan bahwa Ali as itu sebagai Tuhan, maka jelas mereka adalah ghulat yang sebelum Sunni mengafirkan, orang-orang Syi’ah lebih mengafirkannya terlebih dahulu. Karena mereka berasal dari penyinta imam Ali as, akan tetapi melakukan ghulu dan berlebihan. Karena itulah mereka bisa saja berkata bahwa mestinya imam Ali as yang diangkat jadi nabi.

Perlu diketahui, bahwa Syi’ah 12 imam itu menyanjung imam-imamnya itu karena ketaatannya kepada Allah dan RasulNya saww hingga mereka mencapai derajat makshum. Nah, karena kemakshumannya inilah, maka kita tidak mau mendengar Islam yang beda dari mereka. Artinya, kalau ada ajaran yang beda dengan ajaran mereka, maka kita tolak. Jadi, mereka itu adalah tester bagi semua periwayatan Islam. Hal itu, tidak lain, karena mereka makshum.

Nah, ketika mereka makshum, maka sangat jelas bahwa sifat ini bertentangan dengan menentang Tuhan dan kehendakNya. Makshum itu adalah penyerahan mutlak kepada Tuhan, baik secara keimanan atau aplikasinya/amalnya. Nah, bagiamana mungkin dibayangkan menentang dan merubah kehendak Tuhan? Kan tidak lucu, kata tetangga?

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas
1
20 April pukul 10:42

Sinar Agama .

(2-c). Tentang kemakshuman imam-imam Syi’ah, di atas itu sudah dijelaskan. Itu hanya sebagai tambahan dari yang sebelum-sebelumnya yang ada di catatan-catatan atau dokumen-dokumen di fb ini, silahkan merujuk kesana atau menunggu nukilan Sang Pencint
a. Begitu pula nukilan-nukilan lainnya yang ia janjikan itu.

(2-d). Tentang yang tidak menerima imamah itu adalah kafir, maka benar adanya. Tetapi kafir ini jangan diartikan sendiri. Artinya harus sesuai apa yang dimaksud kafir oleh Syi’ah dalam hal ini. Karena pengkafiran orang Syi’ah terhadap orang lain, sangat beda dengan pengkafiran para wahabi dan pengikut-pengikutnya. Karena pengkafiran di wahabi dan antek-anteknya ini adalah kafir secara mutlak dan murtad dimana bahkan dihalalkan darahnya. Karena itulah mereka membunuhi orang-orang Sunni yang tidak terhitung jumlahnya dalam sepanjang sejarahnya. Dan kalau hajipun, karena takut bisnis hajinya rusak, maka mereka hanya mementungi kepala para jema'ah haji dan tidak menghargainya sedikitpun sambil membentak-bentak: 

"Syirik" 100000000x.

Sedang kafir di Syi’ah, manakala mengafirkan orang, terutama ketika berbicara tentang imamah, maka sudah jelas maknanya adalah KAFIR DALAM KEMAMAHAN, BUKAN KAFIR MUTLAK DIMANA TERMASUK KAFIR KEPADA TUHAN, NABI, QUR AN...DST.

Dan kafir dari imamah ini tidak membuat kafir dari Tuhan, Nabi saww, Qur an, agama Islam ...dan seterusnya. Jadi, hanya kafir tentang imamah saja. Jadi, yang mengingkari imamah ini tetap muslim dan mukmin.

Dan hukum orang yang kafir kepada imamah ini tergantung keadaannya. Kalau ia tahu imamah makshum as itu benar adanya, tapi ia tidak mengikutinya, maka sekalipun ia muslim dan mukmin, akan tetapi semua amal-amalnya tidak akan diterima Allah. Karena Allah menyuruh mengambil dari yang makshum, akan tetapi ia mengambil dari yang tidak makshum. Karena itu menentang Allah dan tidak diterima.

Tetapi kalau ia tidak berimamah karena belum tahu, belum paham, belum didatangi ajaran Syi’ah secara baik dan sempurna dan dipahami, maka sudah jelas akan dimaafkan Tuhan dan kalau di madzhabnya itu ia termasuk orang shalih, maka akan dimasukkan surga. Jangankan mereka, orang kafir seperti Yahudi, Nasrani, Budha, ....dan seterusnya... kalau Islam/Syi’ah belum datang kepada mereka secara sempurna dan dipahami dengan baik, maka mereka-mereka itu, kalau baik di dalam agama-agama mereka itu, maka akan dimaafkan Tuhan dan dimasukkan ke surga. Tentu saja hal ini global sekali. Rinciannya masih banyak, seperti apakah mereka tidak merasa aneh dengan agama atau madzbah mereka? Kalau merasa aneh dan janggal akan tetapi tidak berusaha mencari penyembuhnya, maka sangat mungkin orang seperti ini tidak dimaafkanNya. 

Begitu pula orang yang sudah mendengar berita-berita tentang Islam/Syi’ah, dan mudah mencarinya dan ada kelebihan-kelebihan yang didengarnya tetapi ia tidak meneruskan pencariannya. Walhasil, urusan-urusan detail mereka-mereka itu diserahkan kepada Allah. Yang jelas di Syi’ah, diyakini bahwa yang masuk surga itu bukan hanya agama dan madzhab yang benar saja. Tetapi yang salah dan kafir juga bisa masuk dengan berbagai kondisi pemaafannya (kalau ada peluang maaf itu). Dan yang Syi’ah juga tidak mesti otomatis masuk surga, karena Syi’ah itu bukan karcis masuk surga, akan tetapi jalan kehidupan. Karena itu, yang akan masuk surga hanyalah orang-orang yang mengamalkannya.

‎(2-e). Tambahan utnuk makshum yang sebenarnya ulangan:

Kalau setelah Nabi saww tidak ada makshum, yakni yang ilmu Islamnya lengkap dan benar 100%., maka berarti jalan lurus atau shiratulmustaqim sudah tidak ada lagi. Karena jalan lurus itu dikatakan oleh Qur an sebagai jalan yang tidak salah sedikitetapiun (wa laa al-dhaalliin). Dan kalau jalan lurus ini tidak ada, maka Tuhan telah mempermainkan kita yang mewajibkan kita shalat 5 kali (bukan lima waktu) sehari dan mewajibkan kita membaca alfatihah dimana didalamnya ada permintaan terhadap jalan lurus ini. Yakni berarti kita diwajibkan Tuhan untuk meminta kepadaNya jalan lurus tersebut. Nah, kalau jalan ini tidak ada karena tidak adanya makshum, berarti Tuhan telah menipu kita, karena memerintahakn kita meminta sesuatu yang tidak ada.

Hal seperti itu jelas tidak mungkin. Maha Suci Allah dari menipu hamba-hambaNya yang taat kepadaNya. Karena itulah, maka jalan lurus ini pasti ada. Dan karena kepastian adanya jalan lurus itu, maka dapat dipahami bahwa makshum itu ada walau setelah wafatnya Nabi saww. Dan keberadaannya itu sampai hari kiamat, karena shalat tersebut wajib sampai hari kiamat. Karena itulah imam 12 as itu harus mencukupi sampai hari kiamat.

Tentang dalil 12 imam di Sunni, dan tentang imam Mahdi as ... merujuklah ke catata-catatanku yang lain atau dokument2ku yang lain atua ke tulisan2 orang lain yang menulisnya dengan ilmiah dan mudah.

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas
1
20 April pukul 10:42

Sinar Agama .

(3). Tentang tangisan itu memang demikian adanya. Tetapi semua kandungan pahala seperti puasa, shalat malam, puasa sunnah ...dan seterusnya, baik di Sunni dan Syi’ah, juga banyak seperti itu. Yakni mengampuni dosa dan mewajibkan surga. Akan tetapi k
ita kan punya akal yang dapat memahami dengan mudah, bahwa anjuran-anjuran itu, kewajiban-kewajiban itu, bukan satu-satunya sebab pengampunan dan masuk surga dan bukan satu-satunya pencegah masuknya orang ke neraka.

Di Sunni juga sangat terkenal hadits yang mengatakan:

"Siapa yang berkata laa ilaaha illallaah wajib baginya surga."

Hadits-hadits ini dan yang serupa bisa dilihat di: Mustadrak Hakim, hadis ke:7746; al-Mu'jamu al-Ausath, hadits ke: 2124, 2426, 2932; al-Mu'jamu al-Kabir, hadits ke:6348; Jaami'u al-Ahaadiits, hadits ke: 23234 -sampai dikatakan di hadist bahwa walaupun pengucapnya itu berzina dan mencuri- , 41734, Turmudzi, hadits ke: 2562, 2638, 2849; Kanzu al-'Ummaal, hadits ke: 208 -disini juga dikatakn sekalipun berzina dan mencuri-, 1425; Syarah Bukhari, karya Ibnu Baththaal, 1/208; 8/389; Syarah Muslim, karya Nawawi, 2/41; 2/71; ... dan lain-lain yang banyak sekali.

Karena itulah, maka tangisan kepada imam Husain as itu, bukan satu-satunya yang bisa menyebabkan orang tidak masuk neraka. Artinya, harus disertai dengan taqwa kepad Allah. Artinya, dosa-dosa itu hanya Allah yang tahu hakikatnya. Karena itu hanya Dia yang tahu mana-mana dosa yang bisa diampuni dengan tangisan tersebut dan mana-mana yang tidak bisa, dan berapa jumlah dosa yang bisa diampuni serta berapa yang tidak bisa. Walhasil, urusan sesungguhnya hanya dan hanya Tuhan yang tahu.
Kita sebagai umat Islam, tidak bisa lebih dari sekedar mengharap ridha dan ampunan Allah dari perintah-perintah ibadah ibadah yang diperintahkan olehNya di dalam agamaNya ini, baik perintah sunnah atau perintah wajib.

By the way, kita tidak bisa dengan hanya melihat satu ajaran, lalu melupakan yang lainnya. Dengan melihat dzikir la ilaaha illallaah, lalu mengabaikan yang lainnya. Jadi, harus dikomperatifkan dengan yang ajaran-ajaran lainnya hingga kita tidak menjadi orang yang lebih cenderung ke kanan atau ke kiri. Karena itulah umat Islam dijuluki dengan "Ummatan Wasathan", yakni " Umat Yang Di Tengah", yakni "Umat Yang Seimbang", yakni "Umat yang Adil", yakni "Umat yang Bisa Menempatkan Diri" ...dan seterusnya.
Karena itulah, maka jangan hanya mengandalkan dzikir tauhid itu, atau puasa Ramadhaan saja, atau shalat saja, atau haji saja, walaupun untuk semua itu sudah dijanjikan pahala dan surga, akan tetapi harus melihat agama itu secara keseluruhan, supaya menjadi umat yang bijak dan adil.

Sedang menangisi imam Husain as itu jelas merupakan kesunnahan, karena Nabi saww sendiri melakukannya sejak baru lahirnya imam Husain as, dan begitu seterusnya Nabi saww menangis menakala teringat kepada berita malaikat Jibril as yang memberitakan bahwa imam Husain as itu akan disembelih oleh umatnya sendiri. Saya sudah menulis tentang hal ini sesuai dengan riwayat Sunni, silahkan mencari di catatan-catatanku atau dokumen-dokumen yang ada di Berlangganan Catatan-Catatan Sinar Agama.

‎(4). Tentang ziarah imam Husain as itu sama saja penjelasannya dengan tangisan itu. Sedang perbandingan dengan haji itu, adalah haji sunnah. Karena ziarah itu hukumnya adalah sunnah. Tentang pengampunan dan semacamnya itu penjelasannya sama dengan point sebelumnya.

Perlu diketahui bahwa menangisi dan menziarahi imam Husain as itu adalah menangisi dan menziarahi imam makshum dimana berarti kita menangisi Islam yang disembelih oleh umat Islam sendiri dan atas nama Islam dan didukung oleh kaum muslimin sampai sekarang (setidaknya sebagian mereka). Karena (umat Islam yang mendukung ini) umumnya mereka membela Mu’awiyyah yang mengangkat Yazid pembunuh imam Husain as, dan bahakn mereka mendukung Bani Umayyah secara keseluruhan dan Bani Abbas dimana mereka-mereka ini adalah pembunuh imam-imam imakshum dari Ahlulbait Nabi saww sendiri.

Jadi, tangisan dan ziarah itu sangat hebat fungsinya. Karena simpatik dan membela dan meyakini kebenaran makshumin sekalipun disembelih oleh umat Islam sendiri dan sembelihan itu didukung sampai sekarang. Artinya, menangisi dan menziarahi imam makshum seperti imam Husain as, adalah kembali kepada Islam yang Hakiki dan jalan lurus yang sebenarnya. Nah, kalau karena hal ini lalu dijanjikan surga dan pengampunan dosa, apa anehnya? Apakah aneh kalau Tuhan menjanjikan ampunan kepada umat yang memilih jalan lurusNya, Ahlulbait NabiNya saww yang makshum, yang meninggalkan jalan semu?.

Yang aneh itu adalah yang membid'ahkan orang yang tidak sama, mensyirikkan dan mengkafirkan serta diwajibkan masuk neraka, gara-gara tidak sama dengan madzhab atau pandangannya. Yang aneh itu adalah orang yang mengkafirkan shahabat hanya lantaran tidak taat pada khalifah-khalifahnya, sampai membenarkan Khalid bin walid ketika menjadi jendral Abu Bakar menyerbu Bani Tamim dan membakar hidup-hidup beberapa shahabat Nabi saww di depan umum. Yang aneh itu adalah orang yang mengkafirkan shahabat dan dibunuh dan diperangi hanya karena tidak menyetorkan zakatnya ke pemerintahan Abu Bakar. Yang aneh itu adalah orang menshalawati Aalu Muhammad (Ahlulbait as) dalam shalatnya, tetapi membunuhnya setelah shalat. Yang aneh itu orang yang menshalawati Aali Muhamaad dalam shalatnya, tetapi di luar shalatnya ia mendukung pembunuh-pembunuh Aalu Muhammad itu. Yang aneh itu adalah orang meminta jalan lurus, tetapi tidak meyakini keberadaannya. Yang aneh itu adalah orang yang meminta jalan lurus tetapi tidak meyakini adanya orang makshum setelah Nabi saww. Yang aneh itu yang mengatakan tidak ada makshum setelah Nabi saww sementara ayat Tuhan berakibat dengan jelas dan gamblang dimana mengatakan adanya makshum selain Nabi saww (WS: 33: 33). Yang aneh itu .... adalah ini ... dan itu .... yang banyak sekali dan tidak terhitung jumlahnya......Hanya kepada Allah kita belindung dari hal-hal aneh-aneh ini dan hanya kepada Islam yang dibawa Ahlulbait as kita merujuk hingga terhindar dari sejuta keanehan-keanehan ini.

(5). Sedang untuk yang menangisi imam Ali alRidha as itu, jawabannya sama dengan yang diatas. Imam Ridha as diracun oleh Makmun bin Harun al-Rasyiid di tgl 30 Shafar. Semoga beliau as sudi mensyafaati orang yang beriman kepada keimamahannya yang ke 8 dan meangisi kemazhlumannya dan syahid di tanah asing. Amin.

Untuk pertanyaan ke duamu, apakah dalam Islam itu ada rukun iman, maka aku sudah menjelaskannya di catatatn yang berjudul "Pokok-Pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah", yang intinya tidak ada rukun yang umum dipakai itu. Karena biar sudah berukun iman, tetapi kalau tidak percaya adanya jin, maka ia bisa dihukumi kafir. Kalau alasannnya karena ada di Qur an, maka sebaiknya rukun iman itu satu saja, yaitu beriman kepada Qur an. Hal itu karena di Qur an sudah dijelaskan semua, termasuk tentang Tuhan, nabi dan hari kiamat. Memang tentang nasib/takdir manusia, tidak ada dan hal itu diada-ada oleh 'Asy'arii yang diikuti kebanyakan kaum muslimin dunia. Btw, merujuklah ke sana. Yakni bagian awal dari catatan itu.
Wassalam.
Abuzahra Gagah menyukai ini.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas
1
20 April pukul 10:43

Sinar Agama Mohamad Misrundiewirya, intinya, syahadatain semua umat Islam itu sama persis dan tidak ada bedanya sedkitpun. Hanya orang yang kehabisan akal saja yang ingin menggunakan fitnah terhadap Syi'ah dengan menggunakan aji mumpung. Yakni mumpung masyarakat belum tahu, maka fitnah saja sesukanya. 

Syahadataian itu dua kalimat syahadat yang menyaksikan ada dan Edanya Tuhan dan kerasulan kanjeng nabi Muhammad saww. 

Kesaksian di atas, biasa dipakai dalam shalat-shalat fardhu dan sunnah. 

Sedang keimanan-keimanan yang lain, walaupun cukup diimani, akan tetapi sering diajarkan dengan ucapan dan boleh diucapkan. Persis seperti Sunni (tentu selain Wahabi) yang menalqini orang mati yang misalnya berkata:

"Kalau kamu ditanya siapa Tuhanmu, jawablah Allah adalah Tuhanku. Kalau ditanya siapa nabimu, katakanlah Muhammad adalah nabiku. Kalau ditanya apa kitabmu, jawablah Qur an adalah kitabku. Kalau ditanya, apa kiblatmu maka jawabkan Ka'bah kiblatku. Ketahuilah bahwa akhirat itu hak, timbangan itu hak, surga-neraka itu hak, ...."

Nah, kesaksian pada kebenaran 12 imam makshum as, cukup dihati sebagai yang diimani. Tapi tidak masalah diucapkan asal tidak di ibadah-ibadah khumus (yang tata caranya sudah ditentukan dan diajarkan agama dan tidak boleh dirubah) seperti shalat.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas
1
20 April pukul 11:02

Mursalin Mursal Jadi pengertian kafir yang di lontarkan oleh orang syi'ah terhadap orang sunni atau orang yang mengikari imamah(manusia suci /ma'sum) setelah Rasulullah saww itu sama dengan perkataan Rasulullah saww, bahwa perbedaan seorang muslim dengan kafir itu adalah shalat. apa hadis atau bukan ana kurang tau juga cuma ana sering mendengar kata seperti itu usdat. Jadi kafir yang di maksud oleh Nabi saww di sini adalah karna mengikari perintah shalat bukan kafir karna mengingkakari Allah dan Rasul-Nya.pa benar gitu ustad.kalau salah mohon di perbaiki ustad.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas
1
20 April pukul 23:50Telah disunting

Sinar Agama Mursalin Mursal, :

1- Dimana ada orang Syi'ah mengatakan bahwa Sunni itu kafir? Di kitab apa? Orang Syi'ah tidak mengatakan bahwa selain Syi'ah itu kafir. Syi'ah bukan teroris sejak awal-awal keberadaannya dan awal-awal dibentuknya oleh Nabi saww. Ima
m Ali as ketika mengutus Malik Astar untuk menjadi gubernur di sana mengatakan (nukilan maksud):

"Jangan berbuat zhalim kepada rakyatmu. Sebab kalau mereka muslim, maka mereka adalah saudaramu dalam agama dan kalau mereka bukan muslim maka mereka adalah manusia sepertimu."

Yang kafir dikatakan kafir dalam imamah itu ada dua poin penting:

a- Kafir imamah dikatakan pada orang yang sudah tahu dengan benar apa makna imamah dan sudah meyakini dalam hatinya bahwa ajaran imamah ini yang benar, akan tetapi tetap menolaknya. 

b- Kafir yang di poin (a) di atas itupun, tidak mengeluarkannya dari agama Islam dan dari kemuslimannya. Karena itu mereka itu wajib dihormati, tidak boleh dianiaya, tetap boleh nikah dengan mereka dan semacamnya. Setidaknya dua imam makshum kita sendiri bahkan dibunuh oleh istri mereka as. Kalau yang tidak percaya kepada keimamahan mereka itu dianggap kafir, maka apakah kita mau mengatakan bahwa imam makshum as kita telah melakukan perkawinan dengan tidak sah karena seorang muslim tidak boleh dengan orang kafir?

2- Contoh yang dibawa antum itu adalah hadits yaitu Nabi saww bersabda (nukilan maksud dan bebas):

"Islam itu dibangun di atas lima perkara: .., shalat..."

Pengertian kasarnya kan kalau sendi-sendinya tidak lengkap berarti bukan muslim? Tapi yang dimaksudkan Nabi saww, bukanlah orang tidak shalat itu terus menjadi kafir hakiki, melainkan Islamnya kurang kokoh atau tidak sempurna.

Ini juga haditsnya:

وبها يتبين الكافر من المؤمن

"Dan dengannya (shalat) menjadi terbedakan antara kafir dan mukmin."

Tapi bukan berarti yang tidak shalat lalu dikafirin dan bisa dikatakan kafir. Bukan seperti itu. Sebab ayat-ayat dan hadits-hadits lain menerangkan bahwa siapa saja yang mengatakan syahadatain, maka dia muslim dan wajib dihormati. 

Dengan menggabungkan dua hadits tidak terbedakannya orang yang tidak shalat itu sebagai mukmin, dan dengan hadits Islamnya orang yang mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat), maka dapat dipahami bahwa maksud hadits yang mengatakan bahwa orang yang tidak shalat itu tidak bisa dikenali sebagai mukmin dan bahkan dikenali sebagai kafir, bahwa orang yang tidak shalat itu tetap muslim akan tetapi tidak sempurna dalam iman dan keIslamannya.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas
2
21 April pukul 15:50Telah disunting

Mursalin Mursal Syukran ustad.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas
1
21 April pukul 15:49

Sinar Agama Mursalin Mursal dan Mohamad Misrundiewirya dan teman-teman lainnya yang sudah membaca jawaban di atas, tolong baca lagi sebab ada penambahan.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas
1
21 April pukul 15:52


Sumber : https://www.facebook.com/sinaragama/posts/1234338676679587




0 comments:

Post a Comment

Andika Karbala. Powered by Blogger.