Tuesday, June 21, 2016

on Leave a Comment

Apakah wajar jika dua marja berbeda fatwa?

Link : https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=948058655307592&id=207119789401486
Salam mohon bimbingax untuk menanggapi soalan sepeti ini
tidak tahu.
:
saya pernah bertanya pada ulama syiah ,"bagaimana hukum hipnotisme, haramkah ?"
ulama syiah itu menberikan jawaban dari dua marja :
1) hipnotiame itu haram (Sayyid Ali Khamanei)
2) hipnotisme tidak haram (Sayyid Ali Sistani)
nah, dua fatwa marja tersebut bukan saja berbeda, tetapi bertentangan pedapat. mustahil dua-duanya benar. Karena sesuatu itu tidak bisa haram srkaligus halak dslam waktu bersamaan.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Sinar Agama Salam dan terimakasih postingannya: Saya belum memahami apa yang mau ditanyakan. Tolong jelaskan lebih dulu. Afwan.

Ali Haidar Al Batuatasy Pertanyaanx,,, Apakah Wajar antara Marja berbeda Fatwa? Sinar agama

Sinar Agama Ali Haidar Al Batuatasy, oooo itu yang ditanyakan. Jawabannya:

1- Bukan hanya wajar melainkan setengah mesti. Hal itu karena:

a- Satu dan lainnya tidak boleh mengikuti pendapat yang lainnya.

b- Banyak riwayat yang beda penilaian perawinya dan begitu pula memahami matan/kandungannya.

c- Banyak alat pemahaman ayat dan riwayatnya, seperti ilmu Ushulfiqih, hadits, kaidah fiqih dan lain-lain bahkan bahawa Arab sekelipun, memiliki perbedaan rumus. Karena itu, hasil penyimpulan ayat dan/atau riwayatnya, juga bisa berbeda.

d- Perbedaan mujtahid seperti perbedaan dokter dalam menangani kesehatan dan pasiennya. Artinya, perbedaan yang biasa terjadi pada para ahlinya. Dan perbedaan para ahli adalah resmi, natural serta syah/sah.

e- Jangannkan pada jaman atau tempat yang jauh dari Imam Makshum as, pada masa mereka as dan hidup bersama mereka as (dalam satu kota) saja para murid bisa berbeda memahami maksud dari pengajaran Imam as atau Nabi saww. Apalagi sekarang yang syah/sah tidaknya penisbatan atau penghubungan riwayatnya saja kepada Makshumin as sudah berbeda. Belum lagi para perawi yang merawikan haditsnya seringnya sesuai pemahaman mereka. Hal ini bisa saja membuat keotentikan hadits menjadi berkurang.

f- Banyak hadits yang diucapkan para Imam as yang dalam keadaan taqiah, atau juga dalam keadaan multi tafsir demi tujuan tertentu. Nah, memahami semua itu bisa saja terjadi perbedaan. Mana yang taqiah mana yang bukan, mana yang multi tafsir dan mana yang bukan. Kalau sepakat dalam multi tafsirnya lalu mana yang makna ini dan mana yang makna itu.

g- Ribuang hadits ada yang saling mendukung, ada yang saling mengkondisikan, ada yang saling menyalahkan dan kontradiksi. Nah, apa penyimpulan kependukungannya, pengkondisiannya dan mana yang mau diambil manakala kontradiksi, semua dan semua, sangat bisa terjadi perbedaan. Bahkan bisa dikatakan mustahil tanpa perbedaan.

2- Kesimpulan Uraian:

- Dengan semua poin di atas itu, maka bisa dikatakan bahwa mustahil adanya kesepakatan pada setiap hukum.

- Tentu saja, hukum-hukum yang darurat, pasti sama. Namanya saja darurat. Yaitu yang diketahui dengan mudah oleh setiap muslimin sepanjang sejarah Islam, seperti wajibnya shalat, puasa, haji dan semacamnya. Tapi cara-caranya maka tidak termasuk darurat, karena itu di sinilah perbedaan itu terjadi.

- Perbedaan mutahid itu wajar dan tetap mendapat pahala. Kesalahannya dimaafkan dan amalnya tetap diterima. Misalnya shalat dengan cara ijtihadnya yang salah, maka tetap diterima. Karena kesalahan fatwanya dimaafkan dan karenanya, shalatnya juga diterima. Begitu pula para penaqlidnya.

- Pemaafan dan penerimaan itu dipahami dari ayat dan riwayat. Akal juga memahaminya. Sebab kalau tidak, maka agama sama sekali tidak bisa diamalkan dan hanya Makshumin as saja yang hukum dan amalnya dterima. Kalau ilmu dan amal yang diterima hanya Makshumin as, maka buat apa agama ini diturunkan kepada semua manusia dan menyuruh seluruh manusia beriman dan berimam kepada Makshumin as (Nabi saww dan Ahlulbait as)?

- Dengan semua itu dapat dipahami mengapa taqlid dan belajar fiqih marja'nya itu adalah WAJIB yang kalau tidak dilakukan adalah dosa. Ini baru belajarnya, belum lagi amalnya. Hal itu karena dasar kehidupan itu tidak bisa dengan cara makshum sekalipun belajar langsung pada Makshumin as sekalipun. Sebab pahaman kita belum tentu yang dimaksudkan oleh Makshumin as.

- Kesalahan besar Wahabi adalah mengira bahwa pahaman mereka tentang ayat dan hadits itu, benar-benar ayat dan hadits. Padahal, sekalipun belajar ke Nabi saww langsung, sangat bisa berbeda pahaman.

Kesalahan terbesarnya adalah dalam pada mereka mengingkari adanya makshum selain Nabi saww dan meyakini bahwa diri mereka sama sekali tidak makshum, akan tetapi dalam memahami agama, meyakini kepastibenaran pahamannya sampai-sampai memastikan pembid'ahan, pensyirikan dan pengkafiran orang lain. Bahkan merasa menjadi wakil-wakil Tuhan dan Nabi saww untuk menghukum dan mengeksekusi muslimin yang lainnya yang beda pendapat. Nah, dari satu sisi mengingkari makshum, tapi dari sisi yang lain meyakini kemakshuman pendapatnya, ini kontradiksi dan paradoks yang nyata. Ini kesalahan paling besarnya secara akar. Dari akar inilah lalu muncul berbagai petaka di dunia hingga seperti yang kita lihat sekarang ini.
SukaBalas124 Mei pukul 18:38

Ali Haidar Al Batuatasy Sukron ustad atas pecerahannya...

0 comments:

Post a Comment

Andika Karbala. Powered by Blogger.