Monday, November 21, 2016

on Leave a Comment

Apa perbedaan pemilihan Marja dan Syiah maupun Sunni? Apakah pintu mujtahid itu sudah tertutup? Apa hikmah penunjukan tidak langsung Fakih oleh Imam Mahdi as?

Link : https://web.facebook.com/sinaragama/posts/1039612629485527

salam ustd. maag mau bertanya.
1. apa perbedaan pemilihan marja di syiah dengam di suni. karena ketika imam mahdi afs ghaib kubro syiah pun menyerahkan pemilihan marja ke umat tidak ada penunjukan langsung by nama hanya kriteria. jadi kesimpilan sy syiah dan suni dalam menentukan marja sama.
2. mohon bisa diraba apa hikmah dari penunjukan tidak langsung fakih oleh imam mahdi?
3. apakah dengan menyerahkan faqih ataupun wali faqih ke umat walau melalii dewan ahli membuka peluang akan perbedaan pandangan di kalangan syiah tentang siapa sebenarnya yang kompatible sebagai sosok wf, dan kenyataannya memang sekarang masih ada yang anti wf ataupun anti wf mutlak? dalam pandangan sy yang awam itu bisa di sebut celah atau lobang perbedaan dikarenakan tidak ada penunjukan wakil secara khusus oleh imam mahdi afs.
trims
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Jelas marja' di Syi'ah dan Sunni berbeda, sekalipun memiliki kemiripan. Sebab:

a- Ijtihad di Syi'ah terus terbuka sampai hari kiamat sementara di Sunni sudah ditutup dan hanya dibatasi pada 4 orang.

b- Siapa, ayat dan hadits apa, yang membatasi pada 4 orang itu? Sementara siapa, ayat dan hadits apanya di dalam ketidakterbatasan pada beberapa orang dan bahkan terbukanya untuk semua orang yang mau sampai hari kiamat sangat jelas, yaitu oleh Tuhan dan Nabi saww sebagaimana banyak terlihat dalam ayat dan riwayat yang tidak terhitung jumlahnya. Misalnya:

- QS: 9:122:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

"Janganlah setiap mukminin itu pergi ke medan perang semuanya. Hendaknya beberapa orang dari setiap suku dari mereka mempelajari agama dan memberikan peringatan kepada kaumnya ketika kembali kepada mereka, barangkali mereka mengambil peringatan."

- Sedang kalau hadits tentang kewajiban menuntut ilmu agama dan fadhilahnya, serta hadit-hadits tentang kewajiban umat yang wajib mengikuti ulama, tidak bisa dihitung jumlahnya. Dan hal itu tidak perlu disebutkan di sini karena umat sudah mengetahuinya. Karena itu tidak ada orang Syi'ah atau Sunni yang tidak kenal hadits Nabi saww ini:

العلماء ورثة الانبياء

"Para alim ulama itu adalah pewaris para nabi."

c- Para mujtahid di Syi'ah dibentuk dan diawasi oleh para Makshumin as dengan tiga belas generasinya sejak dari jaman Nabi saww sampai ke Imam Mahdi as. Mujtahid yang dibentuk, diawasi dan diajari oleh seorang makshum dan dalam tiga belas generasinya, tidak bisa disamakan dengan yang langsung mengambil dari hadits-hadits Nabi saww tanpa pengawasan makshum bahkan diwarisinya dari para tabi'in dan shahabat yang mana satu sama lain saling mengkafirkan dan saling perang dalam berbagai pertempuran yang memakan korban tidak bisa diitung seperti korban yang meninggal di Perang Jamal saja yang diakui Sunni paling sedikitnya 18.000 lebih (delapan belas ribu lebih).

Saya tidak mau memojokkan tabi'in dan shahabat. Sama sekali. Saya hanya ingin mengatakan bahwa ketika ilmu ajaran Nabi saww itu diwarisi dari selain makshum dan bahkan saling berperang, maka dapat digambarkan apa saja yang akan diwariskan mereka kepada generasi setelahnya. Sebab tidak mungkin berbagai golongan yang saling bertikai dan saling bunuh dalam berbagai peperangan, akan mewariskan riwayat-riwayat yang mendukung golongan yang menentangnya dan menjatuhkan golongannya sendiri.

Anggap hal itu tidak bisa dipastikan, akan tetapi setidaknya tidak dapat dipastikan kemurniannya. Atau setidaknya meragukan. Karena ragu ini wajar-wajar saja. Sebab mereka benar-benar saling mengafirkan dan saling berbunuh-bunuhan. Jadi, kalau ada keraguan pada generasi setelahnya, maka sangatlah wajar.

d- Di Syi'ah kriteria marja' dengan mujtahid itu beda. Kalau mujtahid cukup dengan ilmu akan tetapi kalau marja' maka mesti ditambahi dengan taqwa seperti adil (tidak melakukan dosa besar dan kecil) dan bahkan tidak serakah pada dunia sekalipun halal.

Sementara di Sunni hal seperti itu bukan hanya tidak disyaratkan, melainkan dimustahilkan. Sebab bagi Sunni tidak mungkin ada orang yang bisa lepas dari dosa sama sekali, baik besar atau kecil. Jadi, kalau ada syarat taqwa bagi ulama di Sunni, maka taqwa itu tidak lebih dari orang lain, yakni tidak melakukan dosa yang berketerusan. Karena itulah maka di kehidupan umat Sunni, sangat mudah memaafkan ulama atau bahkan orang umum yang melakukan kejahatan dan dosa besar sekalipun. Artinya, mereka segera menjadi pengikut si ulama tertentu yang sudah melakukan dosa besar kalau dia sudah disepakati bertaubat. Jangankan ulama taubat, preman dan morfinis taubat juga bisa menduduki derajat ulama dan berpengaruh bagi kehidupan umat Sunni.

Kalau di Syi'ah, sekali cacat dan melakukan dosa besar, maka selamanya sudah tidak akan didengar lagi. Sebab ulama lain masih banyak. Dan sudah tidak bisa mewariskan keyakinan akan kejujurannya. Perkara dia taubat betulan di sisi Allah, misalnya memang benar-benar taubat, maka baguslah buat dia. Tapi umat tetap tidak akan menerimanya karena tidak tahu hakikat taubatnya dan tidak tahu kembali lagi ke dua kali atau ke tiga kali dari taubatnya. Walhasil, hakikat taubatnya diserahkan kepada Allah, akan tetapi umat tidak mau mengorbakan iman, fiqih dan akhiratnya demi mengikuti rasa kasihannya.

Dosa, preman, korupsi dan semacamnya itu sangat jelas diketahui. Sedang taubat, tidak jelas hakikatnya bagi manusia lain. Sebab taubat itu kan lahir dan batin. Sementara yang tahu lahir batin, begitu pula yang tahu dalam ramai dan sepi dan semacamnya itu, hanya Allah. Karena itulah kalau di Syi'ah, ulama yang mau taubat didukung dan diamini, akan tetapi sudah tidak akan didengarkan lagi. Mereka tidak mau berspekulasi dalam urusan iman, fiqih, agama dan akhirat.

e- Dengan penjelasan di atas itu, maka keketatan pengawasan dimensi ketaqwaan bagi ulama di Syi'ah teramat ketat sebab disamping ajarannya jelas, juga diawasi oleh seluruh umat dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, maka ketidakditunjukannya oleh seorang makshum, tidak membahayakan agama dan umat.

Sinar Agama .

2- Ketika sudah seperti yang dijelaskan di atas bahwa ketidakditunjuknya marja' oleh seorang makshum tidak membahayakan agama dan umat, maka hal ini sudah merupakan hikmah terbesar dari tidak ditunjuknya seorang marja' secara langsung oleh makshumin as. Karena ketika kiprahnya ulama dan marja' di tengah-tengah masyarakat tidak bahaya, maka apalagi selain kebaikan itu sendiri. Sebab ketika kita membicarakan ulama dan syarat-syaratnya untuk diikuti, maka bagi kita sudah jelas bahwa ulama yang dibahas adalah ulama yang mengajarkan agama dan diikuti oleh umat. Nah, ketika ulama yang seperti ini sudah dikatakan tidak bahaya, yakni dalam mengajar dan dalam menjadi pemimpin umat, maka jelas seluruh ajaran dan akhlaq serta kepemimpinannya merupakan kebaikan. Dan apalagi hikmah itu kalau bukan kebaikan dalam agama dan umat itu sendiri?

Hikmah yang lain adalah bahwa Tuhan, Nabi saww dan Ahllbait as, ingin memerintahkan umat untuk ikut berperan aktif dalam membangun budaya dan peradabannya, begitu pula dalam menjaga dan merawatnya. Itulah mengapa Tuhan mengatakan dalam QS: 57:25:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

"Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa penjelasan dan Kami turunkan bersama mereka kitab-kitab dan timbangan (peraturan/hukum/fiqih) agar umat melakukan keadilan."

Dalam ayat ini Allah tidak mengatakan "agar rasul-rasul itu menegakkan keadilan" akan tetapi mengatakan "agar umat menegakkan keadilan". Jadi, yang diperintah oleh Allah untuk menegakkan keadilan, bukan hanya para rasul melainkan juga seluruh umat. Yaitu melakukan keadilan pada diri mereka sendiri, keluarga mereka, sosial mereka, lingkungan mereka, peradaban mereka, sosial politik mereka, budaya mereka, Tuhan mereka, nabi mereka, imam mereka, kitab-kitab mereka, dan seterusnya.

3- Jangankan tentang ulama dan para marja' atau wali faqih. Tentang imam makshum saja umat Islam saling berbeda. Lalu apakah perbedaan ini akan membuat jalan Islam itu tidak jelas?

Kalau kita semua mendahulukan akal dan bukan perasaan, maka tidak ada yang tidak disiapkan oleh Islam, baik di tingkatan masalah imam makshum as atau di tingkatan wakil-wakilnya baik yang langsung atau tidak langsung.

Lagi pula, apakah kalau ada celah lalu kita mau ngarang-ngarang sendiri?

Dulu sering orang yang sudah Syi'ah sekalipun berdalil dalam menghindari taqlid bahwa ulama itu tidak makshum. Karena itu buat apa diikuti? He he...apakah kalau ulama itu tidak makshum lalu kita menjadi makshum hingga kita membolehkan untuk mengikuti diri kita sendiri?

Masalah ini juga seperti itu. Masalah Tuhan saja ada celah (buktinya umat manusia berbeda), masalah kenabian juga begitu, apalagi masalah kepemimpinan (baik yang makshum atau tidak). Terlebih lagi wakil pemimpin makshum, baik yang ditunjuk atau tidak ditunjuk.

Lalu kalau semua itu masih ada celahnya, apakah kita terus tidak bercelah hingga kita akan membuat rumusan sendiri dan mengikutinya sendiri?

Semoga masalah ini tidak berulang untuk ketiga kalinya setelah pertama kalinya kita bahas (mungkin juga dengan antum) pada sekitar tiga atau empat tahun lalu, lalu terulang kira-kira satu atau dua tahun setelahnya.

Raihana Ambar Arifin trakasih ustd atas penjelasan ulangnya pada saya.
hal ini saya tanyakan lagi karena saya mengalami kegelisahan karena beberapa waktu lalu saya sempet diskusi dengan seorang sahabat.

sama kalau ada kesempatan saya ada beberapa pertanyaan yang pribadi sy kirim ke inbok ustd..

Sinar Agama Raihana Ambar Arifin, pedoman hidup itu mesti di argumentasi gamblangnya. Kalau ada argumentasi gamblang lalu dikaburkan oleh yang kabur (yang tidak punya argumentasi gamblang), maka mesti ditolak. Karena itu, kalau ada isykal/debatan, maka gamblangkan dulu debatannya itu dengan bertanya dalil gamblang ke orang yang mengajukan debatan tersebut. Baru kalau dia punya dalil gamblang, antum bisa mendengarkannya dan mempertimbangkannya. Kalau berlawanan dengan dalil gamblang antum, maka sudah pasti salah satunya ada yang salah. Di situ barulah antum berfikir dan boleh bingung. Tapi kalau debatannya tidak berdalil gamblang setelah diuber/dikejar, maka kebingungannya argumentasi gamblang, adalah bunuh diri yang nyata.

Raihana Ambar Arifin salam ustd. terimakasih petuahnya. iya kmarin sempet diskusi sama temen dan dia menyebutkan kalau ada pergeseran konsep kepemimpinan dalam syiah selama ghaib kubro. selama kenabian sampai ghaib sugro kepemimpinan di legitimasi dengan "penunjukan" oleh tuhan. lalu kenapa ketika ghoib kubro tidak lagi berdasar penunjukan oleh tuhan tapi malah memasukan unsur musyawarah/sura/demokrasi dalam menentukan siapa yang jadi wakil imam. menurut teman saya itu suatu keanehan karena syiah adalah mazhab yang sangat menjunjung tinggi konsep kepemimpinan dan konsep kepemimpinan yang paling tepat adalah konsep kepemimpinan yang "ditunjuk" dan tidak ada unsur/campur tangan manusia melalui sura atau demokrasi. menurut dia itu suatu pergeseran kepemimpinan yang aneh dalam syiah, dan karena itu juga banyak perbedaan fatwa antar marja taklid bahkan ada perbedaan tentang anti ataupun konsep wali fakih keseluruhan atau sebagian. dan semua itu membuat kebingungan umat akan perbedaan yang terjadi. jadi jangan jangan dalam syiah selama ghaib kubro juga ada penunjukan langsung sebagaimana ghaib sughro tapi kita hanya tidak tahu akan adanya itu atau tidak?. kebingungan yang teman saya sampaikan juga saya rasakan. tapi dengan buka buka lagi diskusi ustad insyaAllah semua itu akan terjawab.

Sinar Agama Raihana Ambar Arifin, ha ha ha ..... kan kembali lagi bukan?

1- Wong konsep kepemimpinannya dikarang sendiri dan setelah diatasnamakan Syi'ah, maka jelas ruwet dan bingung. Wong bingung sendiri dari konsep kepemimpinannya sendiri (bukan dari konsep Syi'ah Imamiyyah).

2- Kepemimpinan itu ada dua, Makshum dan bukan makshum. Yang makshum ditunjuk Allah, Nabi saww dan makshum sebelumnya. Yang tidak makshum maka ditunjuk yang makshum, karena mewakili yang makshum.

3- Penunjukan yang tidak makshum oleh makshum dengan dua cara:

a- Ditunjuk langsung, seperti wakil pemerintahan di jaman Makshumin as.

b- Ditunjuk dengan kriteria, seperti wakil agama di jaman Makshumin as, dan wakil agama dan pemerintahan pada masa Ghaib Kubra.

4- Para wakil agama yang ditunjuk dengan kriteria, baik di jaman Makshumin (sejak jaman Nabi saww dan para Imam Makshum as) yang banyak sekali dan tidak terhitung banyaknya karena sampai ribuan orang pada masa Imam Ja'far as saja, atau baik di jaman Ghaib Kubra, memiliki perbedaan pandangan dan fatwa. Hal ini tidak heran bagi yang tahu ilmu agama dan mujtahid. Hanya orang awam yang akan keheranan, misalnya orang yang menjadi Syi'ah yang berasal dari Muhammadiah atau dari NU tapi awam banget.

5- Perbedaan ulama dan mujtahid yang ada sejak jaman Nabi saww sampai Ghaib Kubra itu yang ditunjuk dengan kriteria itu, sama sekali tidak tercela. Bahkan dijanjikan satu pahala bagi yang salah. Kalau benar dijanjikan dua pahala.

6- Perbedaan para wakil yang dengan kriteria sejak jaman Nabi saww itu, jangankan kewajiban diikutinya (yang sudah ditetapkan dalam Qur an dan hadits), melihat wajah merekapun disunnahkan dan mendapat pahala dalam ajaran Qur an dan Hadits Nabi saww dan Makshumin lainnya as.

7- Nabi saww dan para Makshumin yang lain as, telah memberikan jalan kepada setiap adanya perbedaan. Dan hal ini tidak samar bagi yang belajar agama secara spesialis, bukan bagi yang lebih banyak omongnya dan pendapatnya dari belajarnya dan bertanyanya.

8- Jalan keluar yang diberikan Makshumin as sangat lengkap, baik bagi ulamanya sendiri atau para muqallidnya (umat awam yang tidak banyak omong dan berpedapat dan hanya taqlid dalam hukum fiqih).

a- Untuk ulamanya seperti: Melihat yang mana yang lebih masyhur riwayatnya di ketsiqahan para perawinya dan diamalkan dikalangan ulama sebagai dasar fatwa, maka yang masyhur itu yang diambil dan diamalkan (tentu yang teramat shahih tidak akan bertentangan dengan Qur an) untuk dasar fatwa. Kalau sama-sama masyhur maka dilihat mana yang lebih sesuai dengan Qur an, maka yang lebih sesuai itu yang diambil dan diamalkan untuk dasar fatwa. Kalau sama-sama sesuai dengan Qur an, maka dilihat mana yang beda dengan selain Syi'ah Itsna 'Asyariah, maka yang beda itu yang diambil dan diamalkan sebagai dasar fatwa.

b- Untuk awamnya yang taqlid dan tidak banyak ngomong dan berpendapat, maka Makshumin as memberikan jalannya. Yaitu dengan memerintahkan mereka untuk mengikuti yang lebih a'lam (lebih alim) dalam ijtihadnya. Kalau sama-sama dalam ketinggian ilmu ijtihadnya, maka disuruh mengambil dan mengamalkan untuk amalan dan bukan untuk fatwa, dari yang lebih zuhud dan lebih wara' atau lebih taqwa.

9- Jalan keluar yang diberikan dalam kepemimpinan politik dalam masa Ghaib Kubra adalah, memilih dan mengikuti yang labih a'lam terutama dalam politik. Tentu di selain syarat lainnya seperti berani, tidak melakukan dosa besar dan kecil, dicintai rakyat, zuhud, tidak cinta dunia sekalipun halal, tidak cinta maqam sosial politik dan bahkan agama, dan semacamnya dari syarat-syarat yang diberikan Makshumin as untuk kepemimpinan politik. Ingat, pemimpin politik ini juga dari ulama dan mujtahid itu sebagaimana maklum. Tapi syarat-syaratnya lebih dari sekedar menjadi marja'.

Ketika syarat-syarat sudah seperti itu, maka jelas tidak ada jalan lain selain dari musyawarah para ulama/mujtahid yang ahli dalam bidang agama untuk menentukan mana yang lebih a'lam terkhusus dalam politik dan mana yang lebih zuhud dalam sosial politik dan segalanya, mana yang lebih dicintai rakyat dan mana yang lebih berani. Jadi, ilmu saya tidak cukup. Dan sudah tentu tidak ada jalan yang terbaik kecuali para pemusyawarah dari para ulama/mujtahid yang mau bermusyawarah itu dipilih dalam pemilu rakyat. Sebab salah satu dasar kepemimpinan politik itu adalah dicintai rakyatnya dikarenakan ketaqwaannya, keberaniannya, keadilannya, kejujurannya, kezuhudannya, ketegasannya, ketidakperduliannya terhadap kepentingan pribadinya dan seterusnya dan seterusnya.

10- Kesimpulan:
Belajar dulu tentang Syi'ah dengan lengkap, nanti baru menilainya. Kalau membangun Syi'ah dalam pikirannya sendiri dan dari dirinya sendiri, maka isykallah dan debatlah Syi'ah yang ada di benaknya itu. Salahkan dan cela Syi'ah yang ada di benaknya itu. Wong Syi'ah ala karangannya sendiri yang dicela dan dibingungkan.

Nah, Syi'ah yang ada di benaknya itu, apa hubungannya dengan Syi'ah 12 Imam??!!!







0 comments:

Post a Comment

Andika Karbala. Powered by Blogger.