Monday, December 19, 2016

on Leave a Comment

Hukum makan di restoran non muslim, Bolehkah mengqodhokan sholat wajib orang lain yang sudah meninggal?

Link : https://web.facebook.com/sinaragama/posts/1087450011368455

Salam. Ustadz, semoga antum selalu berada di dalam rahmat dan rida-Nya. Afwan Ustadz, ada beberapa pertanyaan yang ingin diajukan.
1. Ustadz, ini hanya konfirmasi kalau mengacu ke fatwa di bawah ini, keringat dari junub haram, ga najis ya ustadz?
Keringat dari junub haram adalah suci, akan tetapi ihtiyath wajib tidak melakukan salat dengannya. (Awjibah al-Istifta’at, no 270)
2. Ustadz, kalau mengacu kepada fatwa di bawah ini apakah bertentangan tidak dengan penjelasan ustadz sebelumnya bahwa kalau yang saya pahami kalau di negara yang mayoritas muslim dan ketika kita makan di restoran nonmuslim, maka kita harus yakin kalau hewannya itu disembelih dengan cara Islam?
Daging, lemak dan seluruh anggota tubuh hewan yang dijual di wilayah Islam adalah suci, demikian juga bila barang-barang ini berada dalam kewenangan Muslimin. Namun, meskipun barang-barang ini disediakan oleh non Muslim, jika tidak ada keyakinan akan tiadanya pensucian syar'i, maka tetap akan dihukumi suci. Dengan ibarat lain, barang-barang ini akan dianggap najis hanya ketika kita memiliki keyakinan bahwa hewan tersebut tidak disembelih secara Islami, sedangkan bila kita mengetahui atau berasumsi bahwa hewan tersebut telah disembelih secara Islami, maka hukumnya suci. (Ajwibah al-Istifta'at, no. 275 dan 276, dan Istifta' dari Kantor Rahbar, Bab Thaharah, masalah 12)
3. Sebenarnya yang harus jadi patokan itu pemilik restoran atau para pekerjanya termasuk yang masak dan pelayannya? Di kita itu banyak pemilih restorannya itu nonmuslim, tapi mulai dari koki sampai pelayannya semuanya muslim.
4. Kalau kita masuk ke suatu restoran tapi kita ga tahu restoran itu milik muslim atau nonmuslim tapi kita melihat ada pelayannya yang berjilbab. Apakah kita punya kewajiban untuk menanyakannya kepada pelayannya apakah pemilik restoran tersebut muslim atau bukan? Atau kita ga perlu menanyakannya yakin saja kalau itu restoran yang punyanya muslim?
5. Dalam suatu kasus kehilangan uang. Uang tersebut dibawa oleh dua orang dari bank. Uang tersebut dibawa secara tunai. Dalam perjalanan ketika dua orang itu sedang mengganti ban dan uang dibiarkan di kursi mobil yang mereka kendarai, uang tersebut hilang dicuri orang. Yang menjadi pertanyaan secara hukum agama, apakah kedua orang itu harus bertanggung jawab terhadap hilangnya uang tersebut. Artinya, kedua orang itu harus mengganti uang tersebut atau tidak?
6. Ketika seseorang meninggal tidak meninggalkan anak laki-laki, bolehkah istrinya yang mengqadhakan shalat buat suaminya yang meninggal tersebut kalau si suami meninggalkan utang shalat wajib?
7. Ketika kita kehilangan uang dalam jumlah yang besar katakanlah ratusan juta rupiah. Kita sudah ke polisi ga menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Sampai yang kehilangan uang itu meninggal. Bolehkah kita ahli warisnya meniatkan agar uang tersebut menjadi shadaqoh buat yang meninggal. Artinya, ahli warisnya sudah mengikhlaskan uang tersebut dan bahkan mensadaqahkan uang tersebut kepada pencurinya. Dan diniatkan pahalanya untuk si mayit. Apakah boleh seperti itu? Dan kalau boleh, apakah pahalanya sampai ke si mayit?
Syukron
PSA
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Benar tidak najis, tapi kalau dibawa shalat maka akan membatalkan shalat secara pasti seperti memakai emas bagi lelaki yang mana tidak najis tapi membatalkan shalat.

2- Saya mengira ada kekurangtepatan satu kata dalam terjemahannya. Apapun itu, sekalipun yang ada tersebut, saya memahaminya tidak berbeda dengan yang saya jelaskan.

3- Sudah dijelaskan sebelumnya.

4- Sudah dijawab sebelumnya, yaitu mengikuti pada mayoritas yang ada di tempat tersebut.

5- Tergantung kesepakatan dan persyaratan yang telah dibuat antara bank dan pegawainya.

6- Siapa saja boleh mengqadhaa'kan siapa saja, baik gratisan atau dengan menerima bayaran. Yang jadi masalah adalah bahwa selain anak lelakinya yang terbesar ketika orang tuanya meninggal, tidak wajib melakukannya. Tidak wajib bukan tidak boleh.

7- Boleh saja dan pahalanya akan sampai. Tapi supaya tidak mendapatkan dosa yang diakibatkan oleh uang itu, misalnya untuk zina, mabok, judi, pembunuhan dan semacamnya, maka dalam niatnya ditambahi dengan baraa-ah dari semua perbuatan maksiat yang terjadi disebabkan adanya uang tersebut. Karena itu, mungkin niat yang terbagus seperti ini:

"Ya Allah, kalau niat kami sebagai pewaris ini adalah baik untuk orang tua kami dan kami juga, maka kami halalkan dan sedekahkan uang tersebut kepada pencurinya ketika digunakan dalam hal baik dan halal, tapi kami tidak halal ketika digunakan pada kemaksiatan dan kami baraa-ah (berlepas diri) kepadaMu dari hal demikian itu, kecuali kalau kehalalan dan baraa-ah kami ini tidak membuat kami dan orang tua kami ikut berdosa maka kami juga menghlalkannya demi meringankan dosanya di akhirat kelak."

Pecinta Sinar Agama Oh syukron ustadz...untuk yang nomor 2 itu saya masih penasaran, kalau yang saya pahami dari fatwa itu kalau kita berada di negara yang mayoritas muslim dan kita berada di restoran nonmuslim maka kita boleh memakan daging ayamnya kecuali kalau kita yakin bahwa ayamnya dipotong dengan cara yang tidak sesuai hukum islam. Adapun kalau dari uraian ustadz sebelumnya saya memahami bahwa kita haram untuk makan daging ayam di restoran nonmuslim sampai kita yakin bahwa ayam itu dipotong dengan cara2 yang sesuai hukum islam...bagaimana ustadz, apakah pemahaman saya yang salah ya?

Sinar Agama Pecinta Sinar Agama, perhatikan kata "wilayah muslimin". Itu maksudnya adalah yang mana semua penyembelihan dikuasai muslimin. Apalagi dikatakan juga dengan "kewenangan muslimin". Yang ke dua, bahwa hukum najis ini bukan halal dimakan. Fatwa tersebut hanya menjelaskan bahwa yang tidak diyakini sebagai najis, maka tidak bisa dihukumi najis. Tapi bukan berarti dibolehkan untuk memakannya.

Saya sudah katakan bahwa terjemahannya itu keliru. Yang benar seperti ini:

2. Daging, lemak dan seluruh anggota tubuh hewan yang dijual di pasar muslimin adalah suci, demikian juga bila barang-barang ini ada di tangan muslimin. Namun, kalau barang-barang itu diinpor dari negara kafir (bukan bayoritas muslim) dan diketahui bahwa tidak disembelih secara Islam, maka dihukumi najis. Dengan kata lain, dihukumi najis kalau diketahui bahwasannya tidak disembelih secara Islam. Akan tetapi kalau diketahui bahwasannya disembelih secara Islam dan/atau hal itu dimungkinkan, maka dihukumi sebagai suci."
(Tahriiru al-Masaa-il, halaman: 43, masalah ke: 98).

Sekali lagi, masalah najis ini bukan masalah halal. Jangan dicampur aduk. Di fatwa beliau hf yang ada di kitab Muntakhabu al-Ahkaam, masalah ke: 902, dikatakan bahwa benda-benda itu (daging, kulit binatang dan semacamnya) kalau diimpor dari negara bukan muslim tapi dimungkinkan bahwa pengimpornya yang muslim itu telah mengetahui telah disembelih secara Islam dan dia sendiri mengkonsumsinya (beramal dengan barang-barang itu sebagai yang telah disembelih secara Islam) secara hati-hatinya, maka barang-brang itu dihukumi telah disembelih secara Islam. Tapi kalau tidak, maka barang-barang itu dihukumi bangkai dan tidak boleh dimakan.

Pecinta Sinar Agama wah terjemahannya kalau gitu salah secara mendasar bukan hanya kekurangtepatan satu kata...artinya bisa berbeda..kalau yang terjemahan antum itu memang sesuai dengan penjelasan antum sebelumnya...oh iya ustadz afwan ini masalah najis ya bukan masalah halal haram...syukron ustadz ahsantum...





0 comments:

Post a Comment

Andika Karbala. Powered by Blogger.