Tuesday, December 13, 2016

on Leave a Comment

Bagaimana mendapatkan keyakinan bahwa makanan yang dijual tersebut halal dan tidak najis? apakah sertifikat halal dari MUI cukup untuk menjadikannya halal?

Link : https://www.facebook.com/sinaragama/posts/1081058488674274



Salam Semoga Ustadz selalu diberi rahmat dan rida-Nya. Ustadz, ada beberapa pertanyaan yang ingin disampaikan. Pertanyaan-pertanyaannya masih berkaitan dengan pertanyaan sebelumnya.
1. Ustadz, kalau untuk masalah halal haram makanan tidak seperti masalah najis ya ustadz? Kalau najis itu kalau kita tidak tahu atau ragu tentang kenajisan sesuatu, kita anggap sesuatu itu sebagai suci atau tidak najis. Sebaliknya kalau untuk kehalalan makanan, kita harus yakin bahwa makanan tersebut halal. Benarkan kesimpulan saya itu?
2. Untuk mendapat keyakinan itu, bolehkah kita menggunakan sertifikat halal MUI di suatu restoran di Indonesia? Tentunya kalau makanan tersebut bukan jenis ikan yang tanpa sisik atau makanan lain yang ada perbedaan fiqih sunni dan syiah?
3. Untuk mendapat keyakinan itu apakah cukup dengan menanyakan ke pelayannya, apakah makanan di sini halal buat muslim jika kita masuk ke restoran nonmuslim? Tentunya ini kondisi di Indonesia ya yang saya tanyakan atau di daerah yang mayoritas muslim.
4. Kalau kita berada di restoran muslim syiah, apakah kita sudah bisa yakin dengan kehalalannya padahal kita juga ga tahu apakah orang syiahnya itu paham fiqih makanan dan mengamalkannya atau tidak? Apakah kita tetap punya kewajiban untuk menanyakan apakah ikannya mati di darat atau di air?
5. Apakah yang dimaksud dengan tafwidh yang merupakan keyakinan mu'tazilah?
6. Kalau kita menggunakan jasa bpjs (dulu jamsostek) misalnya buat operasi 20 juta. Trus kalau dihitung-hitung uang yang buat bayar premi/bayaran bulanan asuransinya itu 20 juta juga. Apakah kita masih punya kewajiban membayar bunga ke faqir syiah sementara kalau dalam sistem asuransi kesehatan atau bpjs itu tidak ada bunga yang bisa kita ambil uangnya. Berbeda dengan nyimpen uang di bank kita bisa tahu nilai bunganya dan kita ambil untuk diserahkan kepada faqir syiah?
Syukron
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Sama saja antara masalah makanan dan najis-najis. Tapi harus tahu hukum. Misalnya, kalau tangan muslimin, maka tidak najis dan juga halal. Ini juga dilihat obyeknya apa. Kalau orangnya Syi'ah, bisalah diglobalkan masuk dalam hukum yang meringankan ini. Yakni menganggapnya suci dan makanannya halal. Itupun kalau Syi'ahnya yang memang tahu fiqih.

Intinya, kalau tidak tahu bahwa yang di tangan muslimin itu najis atau haram, maka bisa dihukumi suci dan halal.

Tentu saja kalau Sunni dan menyajikan makanan ikan, maka tidak bisa langsung dihukumi halal. Sebab di Sunni ikan tidak bersisik dihukumi halal dan juga yang mati di dalam air. Sementara di Syi'ah keduanya dihukumi haram. Jadi, kalau dalam persamaan bisa dihukumi suci dan halal selama belum tahu najis dan haramnya, akan tetapi di hal-hal yang beda, tidak bisa langsung dihukumi sebagai halal seperti masalah ikan tersebut.

Apapun itu, antum dan siapa saja, WAJIB belajar fiqih selain masalah akidah. Sebab tanpa mengerti fiqih maka bisa tersesat dan tidak tahu apapun hingga karenanya bisa jatuh ke haram, batal wudhu', shalat dan semacamnya.

2- Bisa saja kalau di dalam hal-hal yang sama. Tapi kalau beda, maka tidak boleh. Misalnya di restoran itu menjual bir, dede (darah beku), dan semacamnya yang bisa saja di Sunni tidak dihukumi najis dan kalau dihukumi najis bisa saja dihukumi sebagai tidak pindah ke tempat lain dan kalau dihukumi pindah ke tempat lainpun bisa saja dihukumi tidak pindah lagi ke obyek ke tiga dan seterusnya. Masalah najis ini menjadi penting karena makanan yang halalpun bisa menjadi haram kalau terkena najis. Bisa juga dari sisi perbedaan najisnya kafir. Kalau MUI yang melihat maka kafir itu tidak najis. Karena itu, kalau dia menghukumi restoran halal walau banyak kafir yang makan di situ (terutama bukan Ahlulkitab), maka kita tidak bisa mengambil fatwanya sebagai pedoman. Btw, harus tahu dimana letak beda dan persamaannya. Dalam hal yang sama secara global, bisa diterima.

3- Kalau di negara dan/atau tempat yang mayoritas muslim, mengapa masuk ke restoran kafir? Ini suatu keanehan. Restoran kafir jelas tidak bisa dimakan kecuali kalau tahu secara detail bahwa semua penyembelihan secara Islami dan bahan-bahannya tidak ada yang halal. Bertanya mungkin bisa saja, sekali lagi mungkin. Tapi mengapa cari penyakit sendiri dan tidak memilih restoran muslim?

4- Dari awal tidak wajib bertanya kalau milik muslim, apalagi Syi'ah. Selama tidak tahu kebalikannya.

5- Yakni kita menjadi penentu nasib kita tanpa campur tangan Tuhan.

6- Kalau asuransinya bukan sistem bunga, maka kelebihannya kalau berupa pembayaran pengobatan secara langsung oleh asuransi ke rumah sakit misalnya, maka halal dan juga bahkan tidak wajib khumus sekalipun banyak kelebihannya dan sudah melewati tahun khumusnya sebagaimana sudah dikonfirmasi ke kantor Rahbar hf melalui telpon dan sudah saya umumkan beberapa hari yang lalu.

Kalau sistem bunga, maka dalam contoh soal, jelas tidak ada kelebihannya atau tidak ada bunganya. Karena itu tidak ada yang harus diserahkan kepada fakir/miskin Syi'ah.

Pecinta Sinar Agama syukron ustadz..untuk no 3. Itu di kita kan banyak chineese food atau japanese food, atau seperti makanan cepat saji KFC, McD, dll..nah kalau mereka kan menggunakan sertifikat halal MUI kalau ngga yang restoran kecil ada tulisannya halal, trus yang masaknya juga muslim pelayannya pada pake kerudung...tapi kita tahu bahwa sebenarnya yang punya restoran itu nonmuslim...kalau seperti itu haram juga ya ustadz?

Pecinta Sinar Agama no 5. bukankah di syiah juga kita menjadi penentu nasib kita sendiri juga ustadz? Apa campur tangan tuhannya itu yang membedakan ya ustadz? Kalau gitu, apakah di mutazilah tidak mengenal doa? Bukankah mereka juga melakukan salat dan ibadah-ibadah lainnya?

Pecinta Sinar Agama nlo 6. Kalau sistem bunga dan kebetulan ada selisih yang dibayar dan dipakai, bagaimana kita membayarkan bunga ke faqir syiahnya itu sedangkan kita tidak bisa mengambil bunga itu dari bpjsnya? Apakah pakai uang kita sendiri?

Sinar Agama Pecinta Sinar Agama,:

3- Sekedar melengkapi yang sudah dijawabkan di atas, maka untuk poin ini dengan ditambahi keterangan pertanyaan antum di atas yang berlebel halal dari MUI, saya rasa tergantung jenis makanan dan keyakinan terhadap ijin MUI yang diberikan. Yakni:

a- Kalau di daerah mayoritas muslim dan makanannya yang berbumbu saos/kecap tiram dan sejenisnya, terasi dan semacamnya (kecuali diyakini -yakin fiqih yakni dengan melihat sendiri atau mendengar dari orang adil- terasi udang), bir putih dan semacamnya, dan yakin bahwa pemilik kafirnya menyentuh apapun alat dan makanan yang ada di restoran tersebut, maka tidak boleh dimakan. Kalau di daerah yang mayoritas kafir, maka sekalipun ada ijin MUI nya dan sudah tidak mengandungi apa-apa yang disebutkan di atas ini (seperti tidak berbumbu saos/kecap tiram dan seterusnya sampai akhir keterangan) tetap tidak bisa dimakan kecuali kalau makanannya bukan dari jenis binatang laut, baik bahan dasarnya atau bumbunya.

b- Kalau ragu pada kebenaran ijin MUI nya, baik ragu asli atau palsu, jujur atau dengan sogokan (walau berupa kemungkinan yang tidak ada buktinya), maka ijin tersebut tidak memiliki i'tibar atau sandaran penghalalan terhadap makanannya.

4- Sebagian pertanyaan susulan antum ini membuat saya ragu apakah antum sudah tuntas membaca sekitar 6 catatan atau lebih diskusi tentang qahaa' dan qadr ini. Sebab sudah diterangkan bahwa "Syi'ah itu amrun baina al-amrain", yakni di tengah antara dua madzhab Asy'ari dan Mu'tazilah.

Untuk doa, sudah pasti di Mu'tazilah juga ada. Mungkin penafsirannya akan menjadi bahwa ketika seseorang berdoa, maka dengan ikhtiarnya berdoa (tanpa campur tangan Tuhan). Kalau doanya diqabulkan, misalnya minta rejeki dan hidayah, maka Tuhan memberinya rejeki dan hidayah akan tetapi rejekinya melalui malaikat atau melalui ikhtiar manusia lain tanpa campur tanganNya. Begitu pula hidayahNya. Diberikan lalu terserah di yang meminta apakah mau diambil hidayah itu atau tidak.

Ketika antum menggunakan istilah "campur tangan Tuhan", sebenarnya saya ingin menguji apa yang antum maksudkan dengan kalimat tersebut. Sebab dengan pertanyaan susulan antum ini, saya mengira bahwa antum masih menggunakan kamus lama dari madzhab Asy'ari yang diimani di Indonesia di dalam rukun iman ke enamnya. Yakni arti kalimat tersebut dibiasi dari keimanan pada rukun ke enam mereka (percaya pada taqdir baik dan buruk dari Tuhan).

6- Yang saya pahami dari fatwa Rahbar hf yang saya terima dari wakil beliau hf yang senior, maka dalam kondisi seperti itu bisa diganti dengan uang lain. Saya katakan saya pahami karena waktu itu membahas hal lain akan tetapi sangat mirip dengan masalah yang antum tanyakan, yaitu tentang uang ghashab atau haram tersebut.

Pecinta Sinar Agama no 3 dan 6 paham ustadz..ahsantum...

Pecinta Sinar Agama untuk no 4 itu iya justru itu ustadz syiah kan dikatakan berada di antara mutazilah dan asyari, tapi saya ingin mempertegas perbedaan dengan mutazilahnya di mana..kalau dengan asyari kan sudah jelas...bahwa menurut syiah itu bukan tuhan yang menentukan nasib kita...

Pecinta Sinar Agama berarti kalau dari penjelasan antum itu perbedaannya di masalah campur tangan tuhan itu ya? berarti saya harus mendapat pemahaman campur tangan tuhannya itu...kalau yang saya pahami campur tangan tuhan itu bisa langsung ataupun tidak...jadi bisa melalui malaikatnya atau bisa juga tuhan langsung yang menggerakan hati seseorang atau membuat seseorang jadi ngantuk..berat seperti kasus ashabul kahfi...apakah pemahaman saya itu benar atau salah ustadz?

Sinar Agama Pecinta Sinar Agama, benar juga tapi tidak lengkap. Karena penjelasannya panjang dan berseri, maka ijinkan saya tidak menulisnya lagi. Antum tinggal cari di Android dan catatan-catatan sebelumnya. Titiknya di dasar hakikat sebab dan akibat dimana seperti apapun manusia berikhtiar, maka tetap saja berhubungan dengan sebabnya. Jadi, sekalipun Tuhan tidak menentukan nasibnya, akan tetapi tetap berhubungan denganNya sebagai sebabnya. Tapi karena manusia yang menjadi sebab dekat terhadap pilihan dan perbuatannya (ikhtiarnya), maka manusialah yang bertanggung jawab atas pilihan dan perbuatannya. Sebab Tuhan hanya sebagai sebab jauh dari kewujudan perbuatan manusia setelah dipilihnya sendiri dan dilakukannya sendiri oleh si manusia. Ini inti beda Syi'ah dengan Mu'tazilah. Tapi hal ini baru di tingkatan paling dasar, bukan di tingkatan tinggi dari arti "amrun baina amrain".

Pecinta Sinar Agama syukron ustadz..insya Allah saya baca-baca lagi materi tentang amrun baina amrain ini...ahsantum...








0 comments:

Post a Comment

Andika Karbala. Powered by Blogger.