Tuesday, April 24, 2018

on Leave a Comment

Pertanyaan gado-gado : Tentang Bidadari, Dalil Sholat 3 Waktu dan Hukum Warisan

Assalamualaikum wr wb. Semoga Ustadz selalu berada di dalam rahmat dan rida-Nya. Ustadz, berikut ini pertanyaan dari grup whatsapp untuk minggu ini.
1. Kalau mengacu ke tanya jawab sebelumnya (telampir), berarti yg di surga bagian bawah bisa melihat seorang temannya yg berada di surga bagian atas ya Ustadz? Apakah itu berlaku sebaliknya? Kalau penghuni neraka ga bisa melihat penghuni surga, trus apa yg dimaksud penghuni neraka menyesal setelah melihat penghuni surga, maksud melihat di situ apa ustadz?
2. Sepemahaman saya dari catatan ustad sa, suara makmum itu gak boleh keras hingga terdengar oleh imam...mohon koreksinya Ustadz?
3. Apakah ibadah2 kebaikan yg tidak ada tuntunannya dalam sunnah bisa disebut dengan sunnah mutlak seperti halnya zikir mutlak?
4. Mengulang lagi yg lalu : mulai wajibnya kita menggunakan fikih ab itu saat kita sudah meyakini kebenaran ab, khususnya ttg imamah atau saat sudah berniat ganti mazhab?KL seseorang meyakini wilayah imamah tapi tidak pindah mazhab gmn, bs juga kan ada seseorang spt itu?
5. Wajibkah mendatangi majlis kalau seseorang bisa mempelajari syiah dari buku dan kalau ada yg belum paham bisa banyak lewat online seperti ini?
6. Saat sujud shalat, bolehkah kita sambil berlama lama memohon, memanjatkan hajat kita kpd Allah swt, baik dalam Bahasa Arab maupun Bahasa Indonesia?
7. Kita pada saat masuk syiah itu memang kondisinya harus taqiyah karena masuk dari kriteria salah satu penyebab taqiyah karena takut. Jadi, kita waktu itu shalat cara sunni. Akan tetapi, kita tau hukumnya seperti itu sekarang. Apakah kita harus mengqadha shalat-shalat kita pada saat itu? Terus terang pada saat itu meskipun sudah meyakini imamah tapi pengetahuan syiah kita masih minim. Bagaimana ustadz?
8. Bagaimana mengajarkan yang sebaiknya kepada anak yang sudah remaja/dewasa untuk mengenalkan syiah, dari mulai apa dulu? Saya mulai dari keharusan kita untuk menggunakan akal sehat. Benarkah seperti itu?
9. Kalau di AB jual anjing dan kucing gimana hukumnya ya?
10. Benarkah pernyataan berikut ini.
- Genus Benda = substansi tidak berkembang
- Genus tumbuhan = benda + berkembang
- Genus hewan = benda + berkembang + merasa
- Genus manusia = benda + berkembang + merasa + rasional
Jadi genus adalah pahaman tentang suatu hakikat yang terdiri beberapa spesies.
11. Diperbolehkan memanjangkan sujud dengan membaca zikir dengan niat zikir mutlak. Yang penting, tidak boleh diam lama. Karena diam yang lama itu akan merusak "muwallat" (berkesinambungan) sholat yang merupakan syarat sah sholat. Berdiam dirinya berapa lama ustadz? Kalau yg lalu2, tidak baca apa2 ketika berjamaah karena waktu itu pemahamannya makmum itu kalau di AB seluruh bacaannya ditanggung imam, apakah harus diqadha?
12. Kalau shalat jumat batal karena diamnya saat qunut, berapa rakaat shalat qadha-nya ? 2 rakaat atau 4 rakaat ? Atau tidak perlu qadha?
13. Apa/siapa yang dimaksud Syiah qaramithah?
14. Gimana hukumnya ketika tengah shalat, turbah dibawa sama anak yang masih kecil? Apakah shalat diteruskan (sujud tanpa turbah) atau shalat harus diulang kembali?
15. Kalau shalat awwabin itu ada juga di ab atau tidak?
16. Kalau anaknya hanya perempuan satu2nya. Istrinya sudah meninggal duluan. Orang tuanya juga sudah meninggal duluan. Yang masih hidup saudara2nya (adik dan kaka). Pertanyaannya, apakah warisannya jatuh seluruhnya ke anak perempuannya atau dibagi dengan saudara2nya?
17. Jika keluarga semua sunni, hanya saya sendiri yg syiah.. kebetulan orang tua meninggal maka cara pembagian warisannya mengikuti tara cara sunni gapapa ustadz?
18. Pembagian warisan itu hanya terjadi kalau orang tua laki2(bapak) yg meninggal atau yg perempuan juga(ibu)?
19. Yang saya ketahui bahwa salah satu Imam Ahlul Bait yaitu Imam Jafar sidiq AS telah menyusun Kitab Fiqih AB. Yang jadi pertanyaan, kenapa mazhab AB alias mazhab Jakfari ini, tidak langsung saja berfiqih kepada kitab fiqih Imam Jafar tersebut mengingat, bahwa kebenaran pada beliau sudah pasti kebenaran hakiki tidak seperti kebenaran Mujtahid yg bisa saja salah dalam berijtihadnya?
20. Saya masih dalam tataran mencari Marja' yang menurut saya paling berkompeten dan layak saya taklid'i, karena saya tergolong baru di tasyayu'.
Jadi begini ustadz, saya buka website Misykat dan di situ ada tulisan yang membuat saya bertanya-tanya yaitu pendapat Sayyid Fadlullah yang menyebutkan bahwa hadis tentang larangan mengonsumsi ikan tidak bersisik masih belum dipastikan validitasnya dan perlu diteliti kembali. Di situs itu juga disebutkan bahwa ulama (mujtahid) sebelumnya, seperti Syahid Tsani, Al-Muhaqqiq Al-Hilli, Al-Muhaqqiq As-Sibzawari, dan Al-Muqaddas Ardabili, membolehkan mengonsumsi semua jenis hewan dan makanan laut sekali pun ikan itu tidak bersisik.
Saya yang baru memutuskan (sementara) untuk bermarja' pada ulama mashyur Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, ingin mengadakan beberapa perbandingan ikhtilaf fiqih sederhana, untuk mengukuhkan kompetensi marja' saya (kepentingan pribadi - karena seperti saya katakan di atas saya masih dalam tataran mencari).
Bisakah saya diberikan argumen penguat yang lebih detil terkait hadist tentang *haramnya ikan tidak bersisik*?
21.Penulisan kata "amin" dalam teks bahasa indonesia itu gapapa ya ustsdz tidak mesti "aamiin" mengikuti kaidah bahasa arabnya?
22.Mohon pencerahan, berkenaan dengan kasus "Ya lal wathan" pada saat sa'i. Bagaimana dalam perspektif fiqh ahlul bayt?
23. Bidadari itu sebenarnya malaikat atau apa sih? Kenapa para syuhada dijanjikan bidadari? Kalau yg syahidnya perempuan apakah dijanjikan bidadara juga? Hehe...
24. Di akhirat nanti, bagaimana mengenali teman kita, soalnya sudah bukan materi lagi, atau apakah wajah materi kita tetap terpancar dalam kenonmaterian?
25. Proses transformasi macam apakah sehingga Malaikat Jibril yg nonmateri barzakhi bisa menampakkan wujudnya di alam materi sehingga bisa dilihat oleh sahabat2 Nabi juga? Nah pada saat Malaikat Jibril menampakkan diri kepada para sahabat itu apakah hanya sahabat tertentu saja yang bisa melihat? Atau riwayat tersebut ga diakui di Syiah?
26. Kalau buat surat wasiat itu, apakah ada keharusan untuk dibicarakan dulu dengan orang2 yg kemungkinan masih hidup ketika dia yg memberikan wasiat itu masih hidup? Bolehkah kita berwasiat kalau wafat minta dimakamkan secara AB padahal keluarganya sunni semua?
27. Apakah di Indonesia sudah ada Hizbullah Indonesia?
28. Apakah seseorang yang masih belum yakin dengan syiah sudah boleh mulai ikutan beberapa amalan AB?
29. Ustad saya suka dapat postingan yang menceritakan karamah maksumin. Yg terakhir itu yang sakit jantung yang diobati oleh Imam Husen as dan akhirnya yg mau menjual jantungny itu diberi uang 1 miliar oleh bapaknya si anak yg sakit jantung. Pertanyaannya kalau yg dapet karamah seperti si pendonor itu buat orang syiah yg bertaqwa aja atau bisa syiah siapa aja ustadz?
30. Pernah terbaca sejarah tapi gak ingat dimana dan buku apa, Apa betul Ibnu Abbas sendiri berpaling dari Imam Ali as?
31. Ustadz, punya referensi lain gak tentang shalat jamak tanpa uzur, selain dr Ibnu Abbas? Baik dari riwayat sunni maupun syiah?
32. Barangkali ada yg bisa menjelaskan..terkait penjelasan bahwa orang yang diberi nikmat dalam Alfatihah itu dijelaskan di ayat lain : Nabi, shadiqin Syuhada, Sholihin..dan itu katanya Nabi dan Maksumin..namun yg belum sy pahami kriteria/ kualifikasi Shodiqin, syuhada dan Sholihin..bagaiamana rincian masing2?Apakah itu maqom? Apakah 3 kriteria tersebut dengan sendirinya melekat di seluruh 12 maksumin?
33. Apakah si istri bisa gugat cerai dg berpijak pada shighot ta'lik yg sudah dibacakan suami ketika nikah?
34. Apakah Direktur ICC Syekh Abdul Majid Hakimullahi bisa menjadi hakim syar'i di indonesia?Mengingat pada saat ada acara di ICC Saya mendengar langsung dari ayatullah wakil kantor rahbar yg memperkenalkan Syekh Abdul Majid bahwa beliau ditunjuk dari kantor rahbar untuk membantu semua permasalahan syar'i muslim syiah di indonesia.
35. Mau nanya, menerima tamu yg bukan muhrim itu gmn ya? Kalo terpaksa krn urusan bisnis misalnya, apakah boleh dengan cara buka pintu rumah misalnya? Kalau anak yang masih belum balig apakah bisa dianggap untuk menemani kalau memang ga boleh berdua?
36. Perlakuan suami yg menggantung status istri dan tidak memberi nafkah itu bagaimana risikonya? Bagaimana pula seandainya dalam kondisi seperti itu ikhwan AB melakukannya dengan sengaja meski tahu fiqhnya? Bagaimana juga jika ikhwan AB ini menisbatkan perbuatan buruknya dalam hal itu terhadap istrinya yang sunni itu sebagai ajaran syiah imamiyah? Misalnya, dia menceraikan istrinya lewat whatsapp dan bilang kalau itu ajaran Syiah? Jadi, bagaimana ustadz hukumnya bagi si suami yang AB itu?
Sekalian mau mengingatkan untuk pertanyaan tanggal 18 dan 25 Februari 2018 masih ada pertanyaan susulan yang belum dijawab?
Syukron
PSA

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Yang di bawah tidak bisa melihat yang di atas, yang di atas juga tidak melihat yang di bawah walau bisa saja yang di bawah melihat yang di atas tapi di tingkatan bawah. Seperti ruh Nabi saww yang memanjang (buka
n volume) dari surga yang paling berdimensi, sampai ke tingkat Akal-satu yang sama sekali tidak memiliki dimensi kecuali di dalam akal manusia dan pahaman manusia saja.

2- Sebenarnya tidak membatalkan dan tidak membuat dosa. Dan yang dibahas hanyalah dalam bacaan surat Faatihah dan surat lainnya. Kalau selain keduanya, maka asal tidak berteriak-teriak, maka tidak masalah kalau terdengar imam shalatnya. 

3- Iya bisa, kalau memang tidak ada tuntunannya akan tetapi tidak bertentangan dengan tauhid, Qur an, Hadits dan akal.

4- Orang teritung menjadi Syi'ah manakala hatinya sudah meyakini kebenaran Imam 12 as, dan sudah mengimani mereka as. Tapi kalau hatinya sudah yakin atas kebenaran 12 Imam as itu, akan tetapi belum mengimaninya, maka belum terhitung sebagai Syi'ah. Tapi kalau sudah beriman, walau belum mengamalkan fiqihnya atau belum berniat pindah, maka sudah wajib mengamalkan fiqihnya karena sudah terhitung sebagai Syi'ah.

5- Tidak wajib, akan tetapi mendatangi majlis ilmu, asal dari ustadz yang memang kompeten/alim dan jujur serta taqwa, maka pahalanya tidak sedikit walau, belajar lewat internet ini juga, kalau syarat-syarat gurunya itu terpenuhi, maka tidak kalah besarnya pahalanya. Btw, kalau bisa, kalau ada guru yang memenuhi syarat di atas, jangan terus tidak datang sama sekali, kalau kondisinya aman dan tidak dalam keadaan taqiah.

6- Boleh memohon panjang lebar dan berlama-lama dalam doa dan dzikir, akan tetapi tidak boleh dengan bahasa Indonesia dan tidak boleh hanya diucapkan di hati. Sebab kalau berlama-lama mengucapkan di hati, maka shalatnya tidak jadi berkesimbungan (muwaalaat) dimana hal seperti itu, membatalkan shalat. 

7- Kewajiban seorang Syi'ah ketika sudah mengimani 12 imam makshum as, maka tidak boleh shalat, wudhu' dan semacamnya, kecuali kalau sdh tahu dengan wajib belajarnya ke orang yang tahu. Kalau waktu shalatnya mau habis, baru boleh shalat apa adanya dan sebisanya. Ketika waktu shalat berikutnya sudah masuk, maka tidak boleh shalat dan lain-lainnya kecuali tanya dulu kepada yang tahu. Kalau waktunya mau habis, baru bisa shalat sebisanya. Begitu seterusnya. 

Kalau setelah sebulan dan setelah tahu fiqihnya ternyata, masalah kesuciannya salah, atau masalah wajib rukun shalatnya salah, maka tetap wajib diqadhaa'. Tapi tidak dosa karena sudah berusaha akan tetapi belum mendapatkannya.

Kalau pada waktu sedang ketakutan yang memang takut diketahui sebagai Syi'ah, sekalipun di rumahnya, maka shalat nya yang tidak benar dan masih shalat dengan cara sunni itu, bisa dianggap sah.
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas7m

Sinar Agama (jangan disisipin pertanyaan baru sebelum jawabannya saya selesai)
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas7m

Sinar Agama .

8- Kan sudah sering saya ulang, bahwa jalan terdekat dan tersangat mudah, adalah lewan jalan lurus dan makshum. Karena keduanya itu adalah satu hakikat walau dalam dua kata, yaitu Makshum dan Jalan Mustaqim yang tidak dhaalliin/salah sedikitpun. 


9- Kalau anjingnya untuk berburu, keamanan (menjaga rumah, kebun dan binatang ternak) dan penuntun, maka tidak masalah menjual belikannya. Begitu pula kucing. Tapi hal ini jangan dipukul rata terhadap semua binatang.

10- :

- Genus Benda = Sesuatu
- Genus Tumbuhan= Benda Berkembang
- Genus Hewan = Benda Berkembang 
- Genus Manusia = Benda Berkembang Bergerak Dengan Kehendak 

Jadi genus adalah pahaman tentang suatu hakikat yang terdiri beberapa spesies.

Jawab, iya benar seperti itu. 

11- Kalau tidak baca apa-apa dalam rukuk dan sujud, maka shalatnya batal dan wajib diqadhaa' kecuali tidak tahu hukum dan tidak ada tempat bertanya walau hanya seorang teman yang tahu hukum. Yang dihukumi salah, maka mesti diqadhaa'.

12- Kalau shalat Jum'atnya batal, maka tidak ada qadhaa'nya. Yang ada hanya menggantinya dengan shalat Zhuhur ketika masih ada waktunya. 

13- Qaraamithah itu salah satu cabang dari Syi'ah Isma'iiliyyah, bukan Syi'ah 12 Imam

14- Cari yang bisa dibuat alas sujud di sekitarannya, lalu ambil tanpa memalingkan badan dari Kiblat lalu teruskan shalatnya. Tapi kalau tidak ada, dan waktu shalatnya masih panjang, maka shalatnya dihentikan dan mencari alas sujud lalu shalat dari awal. Kalau bisa dipegang saja terus alas sujdnya sehabis tiap-tiap sujud.
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas7m

Sinar Agama (jangan disisipin pertanyaan baru sebelum jawabannya saya selesai)
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas7m

Sinar Agama .

15- Shalat Tawwabiin atau Awwabiin?


16- Kalau orang tua ayah sudah tidak ada, maka semua warisan jatuh hanya kepada anaknya saja. Intinya, selama yang ada di tingkatan pertama itu ada, maka tingkatan ke dua dan apalagi ke tiga, tidak mendapatkannya. Urutan pertama setelah istri dan suami (kalau salah satunya meninggal, yang lainnya dapat warisan sesuai dengan yang sudah sering dijelaskan), adalah orang tua dan anak. Selama satu orang saja ada di peringkat pertama ini, maka peringkat lainnya, tidak mendapatkannya, seperti saudara/i yang meninggal dan lain-lainnya. 

17- Tidak apa-apa wong antum yang rugi. Kalau antum yang untung di hadapan mereka maka akan menjadi masalah pertikaian keluarga. Tapi kalau antum yang dirugikan dalam pandangan Ahlulbait as, maka cukuplah antum mengalah agar tidak jadi percekcokan karena harta. Usahakan jangan ributkan masalah dunia ini sampai merambat ke masalah madzhab dan keselamatan antum. Beda halnya kalau keadaannya mendukung untuk pakai cara Ahlulbait as, maka boleh-boleh saja. Tapi biasanya tidak akan mendukung, karena mereka yang merasa mesti dapat lalu tidak dapat, akan merasa dirugikan dan bisa saja marah dan terjadi pertikaian. Walhasil, antum yang bisa menentukan kondisinya di lapangan. 

18- Pembagian warisan itu terjadi manakala ayah atau ibu meninggal dunia, yakni bukan hanya kalau ketika ayah saja yang meninggal. Tentu kalau ibu punya harta pribadi yang biasanya ada, misalnya baju, perhiasan, dan semacamnya. Malah ada yang punya berbagai tanah, rumah, mobil dan semacamnya. 

19- Fiqih itu tidak disusun Imam Ja'far as, melainkan diajarkan lalu ditulis oleh murid-muridnya. Tulisan yang ada pada waktu itu ribuan banyaknya dalam permasalahan yang sama. Akan tetapi setelah itu lambat laun hilang dalam sejarah, dan kemudian tinggal empat ratus buku dari empat ratus murid-murid beliau as. Kemudian buku-buku itu terwariskan ke generasi berikutnya.

Tapi bukan buku yang berjudul Fiqih Imam Ja'far as. Kalau buku itu mah, karangan salah satu ulama Syi'ah Libanon saja (baca: bukan susunan Imam Ja'far as), yang berusaha mengumpulkan hadits-hadits yang dirasakan shahih olehnya. Pengarangnya adalah Muhammad Jawab al-Muhgniyyah.

Lanjut tentang pewarisan dari empat ratus buku yang tersisa dari tulisan para murid Imam Ja'far as itu. Pewarisan di sini, tidak bisa hanya sekedar dakwaan/klaim bahwa bukunya itu ditulis berdasarkan dektean Imam Ja'far as, melainkan mesti diperiksa dengan ketat, lewat siapa orang-orangnya. Nah, sekali salah satu perawinya/pengestafetnya ada yang tidak tsiqah atau tidak shahih, maka seluruh isi bukunya tidak shahih.

Lagi pula yang ditulis itu kan yang diterangkan oleh Imam Ja'far as. Maksudnya adalah bisa saja yang menulis itu salah tulis, salah paham dan semacamnya. Sebab tulisannya itu secara umum, bukan dalam bentuk dektean, melainkan tulisan pemahaman sebagaimana kita menulis ketika mendengarkan suatu ceramah dan pengajaran seorang guru. 

Karena itulah perlu kepada mujtahid agar terbedakan hadits yang shahih dan tidak shahihnya dari sisi sanad/perawi dan juga dari sisi matan/kandungan (shahih secara matan ini akan ditentukan manakala tidak bertentangan dengan 6666 ayat Qur an dan puluhan ribu hadits lainnya yang shahih).

ITULAH PERLUNYA ULAMA ATAU MUJTAHID DAN PERLUNYA SEORANG YANG TIDAK MEMBIDANGI AGAMA SAMPAI MUJTAHID UNTUK BERTAQLID PADA MUJTAHID DIMANA HAL SEPERTI INI JUSTRU ADA DI QUR AN DAN HADITS ITU SENDIR, YAKNI TENTANG KEWAJIBAN TAQLID INI. JADI, TAQLID ITU WAJIB SECARA QUR AN, HADITS DAN JUGA DIDUKUNG AKAL.
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas7m

Sinar Agama .

20- :


a- Yang mengharamkan ikan tidak bersisik itu, lebih banyak dari sekedar beberapa ulama yang antum sebutkan itu. Sebab haditsnya sangat jelas. 

b- Lagi pula ulama yang antum sebutkan itu, anggap saja beritanya benar bahwa mereka menghalalkan yang tidak bersisik, maka mereka tidak bisa ditaqlidi karena sudah meninggal. 

c- Kemungkinan salahnya ulama lama lebih besar dari ulama masa kini. Sebab buku pada jaman dulu sangat sulit didapatkan, yakni buku riwayat. Beda dengan sekarang yang jutaan kitab siap tersedia di depan mata. Memang kalau ulamanya itu di masa para Imam Makshum as, maka bisa dikatakan lebih kuat karena mereka langsung bertanya pada Imam Makshum as. Akan tetapi hal itu juga bukan jaminan. Sebab siapa yang merawikan pendapat mereka itu mesti dicek satu persatu dan tidak boleh ada yang cacat hingg mengeluarkan dari keshahihannya. Karena itulah fatwa ulama yang hidup di jaman Imam Makshum as, yang diterima sampai kini hanyalah yang merupaka ijma' ulama pada waktu itu. Yakni kesepakatan para ulama pada waktu itu dimana hal ini tidak banyak. Dan juga, ijma' inipun tidak memiliki gigi sama sekali kalau masih ada ayat dan riwayat. ARTINYA JANGANKAN FATWA BEBERAPA ORANG ULAMA YANG HIDUP DI JAMAN PARA MAKSHUM as, YANG SUDAH MERUPAKAN IJMA' DAN KESEPAKATAN SELURUH ULAMAPUN, BARU AKAN DIPAKAI SEBAGAI SANDARA HUKUM, KALAU TIDAK ADA PENJELASAN HUKUMNYA DALAM AYAT DAN RIWAYAT. APALAGI CUMA FATWANYA BEBERAPA ULAMA DI JAMAN ITU. TERLABIH APALAGI KALAU MERUPAKAN FATWA HANYA BEBERAPA ULAMA SETELAH BERABAD-ABAD DARI JAMAN MAKSHUMIN as.

d- Saya tidak bisa membawakan ayat dan hadits, wong antum bukan mujtahid. Tahu dari mana ayatnya memiliki makna keharaman ikan tidak bersisik? Tahu dari mana hadits yang mengharamkan yang tidak bersisik itu, haditsnya shahih atau tidak, bertabrakan dengan hadits lain yang juga shahiih atau tidak? Kalau bertabrakan bagaimana cara memadukan dan menyimpulkan hukumnya? Dan seterusnya. Persis seperti dokter ahli jantung yang dituntut untuk menerangkan perbedaannya dengan dokter lain, pada orang yang sama sekali tidak belajar kedokteran. Padahal spesialis kedokteran ini bisa dicapai dengan 10-15 tahunan belajar. Sementara untuk menjadi spesialis agama, mesti belajar puluhan tahun. 

Tapi kalau hanya sekedar wawasan dan bukan untuk penyimpulan hukum (seperti layaknya Wahabi) hingga antum akan berkata bahwa fatwa Fulan lebih kuat dari fatwa Fulan yang lain, maka ini contoh haditsnya (ingat kalau antum berusaha menyimpulkan hukum walau untuk diri sendiri dan di dalam hati, maka di Syi'ah tetap haram hukumnya karena antum bukan mujtahid):

- Kitab Hadits al-Kaafi, Kulaini, hadits ke: 11368:

(11368 6) علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن عبدالله بن المغيرة، عن عبدالله بن سنان، عن أبي عبدالله عليه السلام قال: كان أمير المؤمنين علي بن أبي طالب عليه السلام بالكوفة يركب بغلة رسول الله صلى الله عليه وآله ثم يمربسوق الحيتان فيقول: لاتأكلوا ولا تبيعوا من السمك ما لم يكن له قشر.

Dari Ali bin Ibrahim, dari ayahnya, dari Abdullah bin al-Mughiirah, dari Abdullah bin Sanaan, dari Abu Abdillah as yang berkata: "Amirulmikminin (Imam Ali bin Abi Thalib as) pernah menaikiki kuda Rasulullah saww kemudian melewati Pasa Ikan, beliau berkata: 'Jangan makan dan jangan menjual ikan yang tidak memiliki sisik."

21- Kalau buat saya apa-apa alias bermasalah karena akan membuat orang salah ucap dan bisa merubah makna. Sebab amin dari amina yang artinya aman, bukan semoga Tuhan mengabulkan. Begitu pula kalau ditulis aamin, karena maknanya adalah sama dengan amiin yaitu terpercaya/teraman sebagaimana julukan Nabi saww sebelum beliau saww menjadi nabi, rasul dan imam. 

Dan aamiin inipun, bukan bahasa Arab, karena itu salah satu tidak boleh membaca aamiin dalam shalat setelah membaca surat Faatihah, disebabkan karena kata-kata aamiin ini berasal dari kata dan budaya Masehi/Yahudi.
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas7m

Sinar Agama .

22- Saya sudah cari di berbagai kitab Syi'ah dan Sunni, tapi belum dapat juga. Kalau rabaannya, maka: Kalau maksudnya adalah kekaguman pada negara nabi Ismail dan/atau tempat sa'i-nya itu atau Makkah, maka tidak ada masalah asal jangan diniatkan seb
agai bagian hukum dalam bersa'i, baik hukum sunnah dan apalagi wajib. 

Tapi sebaiknya tinggalkan saja sebab tidak ada hukumnya dan juga takut bermaksud tidak benar. Misalnya keguman pada wathan wahabi yang ganas itu. Mending kalau kagum pada Makkah sebagai kota para nabi. Itupun lebih baik ditinggalkan. 

Tapi kalau maksudnya qashidah yang dilagukan saudara-saudara NU dan habaib mereka yang diqashidahkan di pentas-pestas dzikir mereka, atau yang seperti di Sa'i di link youtube berikut ini, maka sebaiknya ditinggalkan karena akan membuat kegaduhan dan mengganggu jamaa'ah yang lain. Boleh mendoakan NKRI akan tetapi tidak perlu membuat keributan dan mengganggu para haji yang lain seperti di link berikut ini:

https://www.youtube.com/watch?v=QnHr-qpiZrw

24- Tidak ada materi di akhirat, tapi tetap dikenali dengan jelas. Misalnya teman kita atau kita sendiri sudah berubah wajah jadi anjing lantaran suka marah dan ganas pada sesama manusia, dan badan api neraka karena biasa makan harta haram, dan semacamnya, maka tetap bisa dikenali dengan baik siapa-siapanya, oleh yang mengenalnya seperti keluarga dan teman-temannya. 

25- Yang dilihat itu bukan materi yang sesungguhnya, melainkan materi barzakhi. Jadi, seandainya para shahabat sadar waktu itu dan menutup matanya, maka akan tetap melihat malaikat Jibril as yang menunjukkan bentuk non materi barzakhinya dengan bentuk manusia. Jadi, beliau as waktu itu seperti orang yang kita lihat dalam mimpi akan tetapi para shahabat tidak menyadarinya. 

26- Bersawasiat itu wewenang yang ingin memberikan wasiat. Dan boleh berwasiat agar dikuburkan dengan cara Ahlulbait as. 

27- Entahlah, sejauh ini yang saya perkirakan kuat, belum ada. Sebab Hizbullah itu dipimpin oleh wakil Rahbar hf dan tidak ekstrim alias mengabdikan diri pada umat sesuai dengan ilmu yang tinggi tentang Ahlulbait as dan sesuai kondisi negara masing-masing. Tentu saja yang diharamkan, tidak boleh dikerjakan. Akan tetapi tidak boleh dipaksakan. Dan persamaan yang ada di antara umat Islam, saya yakin melebihi 90% dimana di hal-hal yang sama itulah mesti mengabdikan diri tanpa pilih kasih dalam memilih obyeknya. Kalau saudara Sunni maka saudara seagama, kalau kafir yang tidak memerangi Islam, maka saudara semanusia seperti yang dikatakan Imam Ali as pada Malik Asytar.

28- Boleh asal sudah tahu benarnya. Misalnya mut'ah. Kalau dia masih yakin hal itu batil/salah dan zina, maka sekalipun di hadapan Allah halal, maka kalau dia nekad mut'ah, maka akan mendapat dosa zina. Karena hujjah yang sampai ke dia adalah haramnya mut'ah itu. Tapi kalau dia yakini sebagai kebenaran Islam walau tidak sama dengan pandangan madzhab yang dia ikuti, maka tidak masalah. Atau di hal-hal yang tidak dilarang di Sunni seperti sujud di atas tanah, batu dan kertas. Dalam hal-hal seperti ini maka bisa dilakukannya sebelum dia masuk Syi'ah sekalipun. Atau juga tidak sedekap. Sebab di Sunni hanya afdhal, itupun kalau Syafi'i.
Sinar Agama .

29- Yakinnya sih untuk orang Syi'ah yang menjaga ketaqwaan. Kalau ahli maksiat dan diketahui seperti itu, takutnya tidak menolongnya. Sebab kadang sakit itu sebagai pertolongan Allah swt terhadap suatu hamba yang banyak maksiat untuk bertaubat. 


Menentukan obyek dalam hal ini, memang sulit. Tapi kalau secara umum dan lahiriah dikenal baik dan beramal fiqih, maka mungkin sudah cukup. Mungkin nanti saya akan tanyakan lagi insyaaAllah ke kantor Rahbar hf, melalui telpon. Kalau kelamaan, tolong ditanyakan lagi. 

30- Mungkin maksud antum dari Imam Hasan as waktu perang dengan Mu'awiyyah. Kalau itu, maka seingatan saya benar adanya. 

31- Apakah masih kurang adanya paling sedikit dua ayat dalam Qur an yang menerangkan waktu shalat itu hanya tiga waktu (walau shalatnya lima kali)? Lihat QS: 17:78 dan 11:114:

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ

"Tegakkanlah shalat ketika matahari tergelincir (Zhuhur - 'Ashr) sampai permulaan malam (Maghrib - Isyaa') dan shalat Shubuh."

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ

"Dan tegakkanlah shalat di kedua ujung siang (Shubuh dan Zhuhr-Ashar) dan bagian permulaan dari malam."

اسم الكتاب : جامع الأحاديث
المؤلف : جلال الدين السيوطي
المصدر :
36910- عن جابر قال : صلى رسول الله - صلى الله عليه وسلم - الظهر والعصر فلما انصرف قال من قرأ خلفى بـ {سبح اسم ربك الأعلى} فلم يكلمه أحد فردد ذلك ثلاثا فقال رجل أنا يا رسول الله قال لقد رأيتك تخالجنى أو قال تنازعنى القرآن من صلى منكم خلف إمام فقراءته له قراءة (البيهقى فى كتاب القراءة) [كنز العمال 22947]

Jabir berkata: "Rasulullah saww shalat dengan kita shalat Zhuhur dan 'Ashr dan setelah selesai beliau berkata: 'Siapa tadi yang membaca ayat {sabbihismi Rabbika al-A'laa) ? ..............."

39676- عن عمرو بن شعيب قال : قال عبد الله جمع لنا رسول الله - صلى الله عليه وسلم - مقيما غير مسافر بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء فقال رجل لابن عمر لم ترى النبى - صلى الله عليه وسلم - فعل ذلك قال لأن لا يحرج أمته إن جمع رجل (عبد الرازق) [كنز العمال 22764]
أخرجه عبد الرزاق (2/556 ، رقم 4437) .

Dari 'Amru bin Syu'aib, berkata: "Telah berkata 'Abdullah: 'Rasulullah menjamak shalat untuk kami ketika kita tidak dalam keadaan musafir, yaitu antara Zhuhur dan 'Ashar, kemudian Maghrib dan 'Isyaa' ....."

32- Shiddiiqiin, syuhadaa' dan shaalihiin itu siapa saja, baik makshum atau tidak. Sama dengan sifat ke dua jalan lurus yaitu "tidak dimurkai". Dalam ayat ini yang tidak dimukai itu bukan hanya yang makshum, yang tidak makshum juga tidak dimurkai kalau taubat, atau tidak sengaja dan seterusnya. Tapi wa laa al-dhaalliin yang arti bukan jalan orang-orang yang salah, maka di sini menunjukkan harus makshum yaitu ilmu Islamnya lengkap dan benar 100% dan diamalkan juga 100% seperti Nabi saww, yaitu Ahlulbait yang disucikan seperti dikatakanNya dalam QS: 33:33:

إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا 

"Sesungguhnya Allah HANYA ingin menjauhkan dari diri kalian wahai Ahlulbait, segala dosa dan mensucikan kalian sesuci-sucinya."

33- Bisa kalau terjadi apa-apa yang dita'liqkan itu, seperti pemukulan, tidak memberi belanja samapi tiga bulan, dan semacamnya. Tapi kalau Sunni dan itupun harus dibuktikan dan disahkan serta diceraikan oleh pihak pengadilan agama. Tapi kalau di Syi'ah, hal itu belum cukup sebab cerai itu mesti di depan dua orang adil (tidak melakukan dosa besar dan kecil).

34- Membantu permasalahan syar'i itu bukan berarti wakil syar'i. Tapi bisa saja mencakupinya. 

35- Boleh kalau pakai hijab, tidak berdandan, dan pintunya dibuka, terlebih kalau ada anaknya sekalipun belum baligh. Tentu saja kalau diijinkan suaminya. 

36- Tergantung keadaan, saya tidak bisa komentar. Sebab disamping gambarannya juga belum jelas, juga harus mendengarkan pembelaan suaminya. 

Kalau tentang talaq yang konon dikatakan suaminya itu, perlu dibuktikan. Dan kalau memang mengatakannya, tidak otomatis dia menjadi Syi'ah yang jahat sekalipun bicara tentang hukum yang dia tidak tahu itu jelas dosa. 

InsyaaAllah pertanyaan terusan di tanggal 18 dan 25 bulan Februari itu, akan dilihat. Kalau saya lupa, maka tolong tagih lagi.
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas7m

Pecinta Sinar Agama Syukron ustadz atas jawaban dan penjelasannya.
1. Jadi, penghuni surga yang di atas tapi di tingkatan bawahnya bisa saling melihat ustadz dengan penghuni surga bagian bawah untuk semuanya? Ga hanya ruh Nabi dan maksumin lainnya? Trus maksudnya tidak me
miliki dimensi kecuali dalam akal manusia itu maksudnya dalam pahaman manusia itu akal satu itu memiliki dimensi gitu ustadz atau bukan? 4. Bedanya yakin dan imam itu gimana ustadz? 5. Kalau mendatangi majlis ilmu ga wajib, bagaimana kalau datang ke majlis doa, maulid, haul, dan demo2 seperti demo al-quds? 6. Yang disebut mengganggu muwalat yg membatalkan shalat itu kalau diamnya berapa lama?
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas6mTelah disunting

Pecinta Sinar Agama 9. Kalau kucing biasanya buat keindahannya saja buat disayang2 gitu, boleh ngga ustadz beli atau jual kucing kalau untuk itu?
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas6m

Pecinta Sinar Agama 15. Awwabiin ustadz?
16. Bagaimana dengan maksud ayat ini ustadz , 
...Lihat Lainnya
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas6m

Sinar Agama Pecinta Sinar Agama, pertanyaan lanjutan yang menyusuli pertanyaan tertanggl 18 dan 25 Februari, sudah dijawab. Wassalam.
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas6m

Pecinta Sinar Agama Iya ustadz masih ada sedikit pertanyaan lanjutan untuk tanggal 18 dan 25 Februari mohon dijawab...
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas6m

Pecinta Sinar Agama 23. Ustadz, yg nomer 23 terlewat belum dijawab? 33. Kalau si istri udah nuntut cerai berdasarkan sighat ta'liq yg tidak dilaksanakan suami, tapi suami ga mau menceraikan istri. Apa yg bisa dilakukan si istri kalau tetep pengin bercerai? Btw, sepemahaman antum di indonesia udah ada orang adil belum yg bisa dijadikan saksi cerai? 34. Kalau untuk memastikannya bisa ditanyakan ke icc-nya ya ustadz?
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas6mTelah disunting

Sinar Agama Pecinta Sinar Agama, :

23- Pertanyaan yang ini: 


"23. Bidadari itu sebenarnya malaikat atau apa sih? Kenapa para syuhada dijanjikan bidadari? Kalau yg syahidnya perempuan apakah dijanjikan bidadara juga? Hehe..."

Jawab: 

1- :

a- Kita di surga itu bukan untuk berjimak dan beranak pinak. Kalau untuk berjimak dan beranak pinak, lalu apa bedanya dengan dunia? Ntar perlu sekolah, dan semacamnya. 

b- Kan sudah berulang kali bahwa surga-neraka itu bukan materi, melainkan non materi barzakhi?

c- Kita di surga bukan untuk makan dan minum hingga perlu banyak WC. Atau kalau dikeluarkan pakai keringat maka surganya jadi gerah. Atau kalau yang dimakan itu semuanya sari tanpa ampas maka badan kita menjadi membesar. Sebab bagaimanapun, hukum materi berlaku di surga kalau surganya materi. Satu volume tambah satu volume pasti dua volume. 

d- Surga itu tempatnya kenikmatan Ilahiyyah. Sedang yang lain-lain itu, tidak terlalu mendapat perhatian. Minum setetes saja sudah tidak haus dan tidak lapas secara abadi. 

e- Surga bukan tempat nongkrong bersama istri-istri dan bidadari walau demikian secara lahiriahnya di Qur an, misalnya QS: 52:20. 

f- Di surga itu sifatnya mirip dengan kehidupan para nabi/rasul as. Yakni hati mereka selalu bersama dan menyintai Allah swt. Jangankan dunia materi, 'Arsy saja, Akal-pertama saja, tidak menggoda mereka. 

g- Nah, kehidupan di surga itu, walau ada makan dan minum, walau ada istri dan bidadari, akan tetapi tidak sama cara hidupnya dan bergaulnya sebagaimana di dunia (misalnya dalam makan, minum, kawin, bersosial dan seterusnya). Punya keadaannya tersendiri sesuai dengan kenomaterian-barzakhinya itu. 

2- Wanita shalihah atau apalagi syahid, sudah tentu jauh lebih cantik dari para bidadari. Secara lahiriah yang dapat dipahami dari agama, mereka akan dikawinkan dengan lelaki yang selevel dengan mereka. Saya sudah pernah atau bahkan sering menjelaskan masalah ini di facebook ini. Kalau suaminya selevel, maka dikawinkan dengan suaminya. Kalau tidak, maka dikawinkan dengan yang selevel. Anak-anak mereka juga demikian demikian akan digabungkan dengan mereka, kalau selevel. Misalnya di QS: 52:20:

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

"Dan orang-orang yang beriman dan diikuti anak-cucu mereka dalam keimanan, maka mereka juga akan digabungkan dengan mereka (para ahli surga). Dan Kami tidak akan mengurangi sedikitpun (pahala) dari ama-amal mereka. Setiap orang terikat dengan yang telah dikerjakannya (ini yang saya maksudkan selevel, sebab setiap orang akan dibalas sesuai dengan tingkatan amalnya masing-masing)."
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas6mTelah disunting

Pecinta Sinar Agama Ustadz, pertanyaan susulan ana yg nomor 1, 4, 5, 6, 9, 15, 16, 33, dan 34 belum dijawab?
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas6m

Sinar Agama Pecinta Sinar Agama, : Sepertinya sudah dijawab, tapi mungkin hilang. Aneh.

1- :


a- Sangat mungkin seperti itu. Tapi yang di bawah tidak bisa melihat derajat yang di atas sesuai dengan derajat yang di atasnya itu. 

b- Akal-satu itu tidak memiliki dimensi secara de fakto atau nyata, tapi memiliki dimensi di akal kita, misalnya dia pasti dibatasi esensinya, dia terdiri dari esensi dan eksistensi, dia adalah dia dan dia bukanlah Tuhan.

Tapi kalau Tuhan yang dibukankan, seperti Tuhan bukan makhluk, maksudkan bukan pengurangan atau apalagi pendimensian. Sebab maksudnya Tuhan tidak memiliki kekurangan makhluk yang termasuk keterbatasannya itu. Jadi, maksud sebenarnya adalah Tuhan Tidak Terbatas.

4- :

a- Iman itu percaya (kebenaran atau kesalahannya). Iman ini memiliki tingkatan, misalnya:

a-1- Percaya tanpa argumentasi. Misalnya karena Nabi saww itu jujur, maka diikuti. Karena Qur an itu dari/dibawa Nabi saww yang jujur maka diikuti. Karena guru atau orang tuanya dianggap baik, maka diikuti apapun yang diajarkannya tentang Islam terutama akidah yang perlu keimanan. Golongan ini dalam istilah Islam disebut dengan Orang Muslim, atau tingakatannya baru di tingkatan Islam alias imannya karena menerima dari orang lain.

a-2- Percaya yang benar-benar, yaitu yang dengan dalil dan argumentasi terhadap maksud dan isi dari suatu pernyataan atau ajaran. Misalnya mengikuti Nabi saww bukan karena jujurnya saja, melainkan paham argumentasinya masuk akal dan mengikuti kebenaran yang dipahaminya itu. 

b- Yakin meyakini (kebenaran atau kebatilannya). Yakin ini bertingkat:

b-1- Ilmul Yaqin, yaitu yang yakinnya karena argumentasi. Misalnya yakin kalau mayat orang mati itu tidak bisa melakukan apa-apa.

b-2- 'Ainul Yaqiin, yaitu yang yakinnya selain argumentasi, juga dapat melihatnya dengan nyata. Misalnya melihat bahwa orang mati di depannya itu tidak melakukan apa-apa.

b-3- Haqqul Yaqiin, yaitu yang mencapai ke tingkat keyakinanya itu alias sudah menyatu dan tidak akan pernah terpisahkan lagi hingga menjadi ragu kembali misalnya. Misalnya tidak takut dan ragu sedikitpun bahwa orang mati itu tidak bisa melakukan apa-apa walau hanya berduaan dengannya di tengah malam dan di tempat yang sangat sepi. 

5- Mendatangi majlis ilmu itu tidak wajib kalau bisa mencari ilmunya dengan cara lain yang terjamin. 

Mendatangi majlis doa jelas tidak wajib walau berpahala besar. Begitu pula majilis-majlis maulid, haul. Tapi kalau demo al-Qods sepemahaman saya yang sudah berkali-kali saya katakan, adalah wajib kifaayah. Tapi kifaayahnya bukan satu dua orang, melainkan kifaayah sebagai suatu demo yang berwibawa dan bisa menarik perhatian yang didemo dan sekitarnya.

6- Tidak ada ketentuan lamanya. Saya pikir diam 30 detik sudah bisa masuk ke dalam terputusnya muwaalaat/kebersinambungan.

9- Boleh. Tapi kalau menjualnya ke Syi'ah, sebaiknya beritahu bahwa bulunya bisa membatalkan shalat kalau melengket di badan atau baju walau hanya sehelai. Hal ini untuk kehati-hatian sebab bisa saja wajib dilihat dari sisi amr ma'ruf dan nahi mungkar.

15- Shalat Awwaabiin itu termasuk nama lain dari Shalat Dhuhaa yang bid'ah kalau dalam pandangan Syi'ah. Tentu kalau pelakunya juga Syi'ah. Kalau pelakunya orang selain Syi'ah, maka boleh dan akan mendapat pahala, kecuali kalau sudah tahu kalau hal itu tidak ada dalam Islam. 

Begitu pula termasuk nama lain dari shalat antra shalat Maghrib dan Isyaa'. Kalau maksudnya shalat Sunnahnya Maghrib sebagai terlihat seperti itu di sebagian hadits Sunni, maka memang sunnah, yaitu empat rakaat dengan dua salam sebagai shalat rawaatibnya shalat Maghrib. 

Tapi istilah Shalat Awwabiin ini hanya di Sunni saja dan banyak ikhtilaf di dalamnya. Kalau Al-Baani, mendha'ifkan hadits ini. Haditsnya diriwayat oleh Umar dan yang lainnya, yaitu shalat sepuluh rakaat antara Maghrib dan Isyaa'. Dan semakin banyak juga semakin bagus. Begitu riwayatnya. Tapi banyak juga ulama Sunni yang membolehkan seperti Al-Syaukaani dalam kitabnya Nailu al-Authaar. 3/55-56. Dan dikatakan juga bahwa hadits lain selain hadits yang dianggap lemah itu, juga ada yang shahih dan juga dikatakan bahwa banyak shahabat dan taabi'iin yang melakukannya. Yang shahabat seperti Abdullah bin Mas'uud, Abdullah bin 'Amru, Salmaan al-Faarisi, Ibnu Umar, Anas bin Maalik dan sebagian orang Anshaar. Sedang dari Taabi'iin seperti, Aswad bin Yaziid, Abu 'Utsmaan al-Nahdii, Ibnu Abi Maliikah, Sa'iid bin Jubair, dan seterusnya. 

Hadits tentang shalat Awwabiin di atas, banyak sekali diriwayatkan di Sunni, seperti di Kanzu al-'Ummal, Ibnu Abi Syaibah, Baihaqi, 3/19, dan lain-lainnya.

Jawaban Soalnya adalah, di Syi'ah sejauh yang saya tahu, tidak ada yang namanya Shalat Awwaabiin ini. 

16- Ayat 11 di surat Nisaa' itu kalau dalam keadaan bahwa anak-anaknya perempuan semua dan orang tua yang meninggal (yakni orang tua anak-anak perempuan itu) masih ada, begitu pula kalau istri orang tuanya masih ada. Kalau istri bapaknya (ibu anak-anak perempuan) itu sudah tidak ada, dan kedua orang tua dari ayah para anak-anak wanita itu tidak ada, maka semua warisannya jatuh ke anaknya, apakah anak lelaki atau wanita, dengan pembagian yang sudah maklum.
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas6m

Pecinta Sinar Agama 16. Afwan ustadz bukannya kalau orang tua masih hidup, masing2 dapat 1/6 jadi 2/6 buat ortu atau 1/3. Si istri karena masih punya anak jadi dapat 1/8. Nah kalau dijumlah 1/3 + 1/8 = 11/24, berarti buat anak perempuan tinggal 13/24 mau anak perempuannya 1 atau lebih jadi bukan 1/2 atau 2/3 seperti yg di ayat 11 surat Nisaa itu. Gimana penjelasannya ustadz?
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas5m

Sinar Agama Pecinta Sinar Agama, :

16- Saya dari awal sudah salah menanggapi pendalilan dengan ayat. Karena hal seperti itu hanya bisa dilakukan mujtahid. Jadi, kita hanya bisa mengambil matangnya dari marja' kita yang tahu makna-makna ayat setelah dihubungkan de
ngan ribuan ayat dan riwayat. 

Ringkasan masalah surat al-Nisaaa atau 16 itu adalah:

a- Bahwa warisan anak lelaki dua bagian dari wanita.

b- Kalau yang meninggal punya dua orang tua dan dua anak wanita, maka masing-masing orang tuanya mendapat 1/6 hingga menjadi 2/6. Dan sisanya yang 4/6 dibagi dua untuk kedua anak wanitanya. Karena itu dikatakan masing-masing dari dua anak wanitanya mendapat 1/3. Hal didapat dari 4/6 dibagi dua hingga menjadi 2/6. Ini sama dengan 1/3. Karena itu sudah sesuai dengan ayat yang mengatakan bahwa kalau punya dua anak wanita maka masing-masing mendapa 1/3.

c- Tapi kalau anak wanitanya satu, maka bagian kedua orang tuanya tetap sama dan untuk anak wanitanya separuh dari sisanya, yakni 2/6 yang alias 1/3 itu. 

d- Sisa yang 1/3 nya dibagi lagi menjadi 5 bagian. 3/5-nya untuk anak wanitanya itu dan kedua orang tua yang meninggal masing-masiing mendapat 1/5 hingga semuanya menjadi 2/5. 

e- Kalau di kitab fatwa, maka tinggal dibagi seperti ini, yakni kalau yang meninggal memiliki dua orang tua dan satu anak wanita, maka:

e-1- Kalau yang meninggal itu memiliki saudara dan saudari, maka masing-masing kedua orang tuanya mendapat 1/6 (hingga menjadi 2/6) dan untuk anak wanitanya 3/6. Lalu sisanya yang 1/6 dibagi empat dimana untuk ayah yang meninggal 1/4 dan untuk anak wanitanya 3/4. Jadi, semuanya adalah: 15/24 untuk anak wanitanya, 5/24 untuk ayah yang meninggal dan 4/24 untuk ibu yang meninggal.

e-2- Kalau yang meninggal itu memimili saudara 2 saja, atau saudari 4 saja, atau 1 saudara dan 2 saudari, maka ibu yang meninggal mendapatkan 1/6. 

e-3- Kalau yang meninggal itu tidak memiliki saudara dan saudari, atau memiliki akan tetapi tidak cukup jumlahnya dengan kadar minimal di poin (e-2) itu, maka ayah dan ibu yang meninggal, masing-masing mendapatkan 1/5 dan untuk anak wanitanya yang cuma satu itu 3/5.

LAIN KALI JANGAN MAIN AYAT. LANGSUNG SAJA PADA MASALAH YANG DIHADAPI DAN TANYAKAN FATWANYA. AYAT DI ATAS ITU MASIH BISA DIRINCI KE BERBAGAI RINCIAN SETELAH DIGABUNG DENGAN AYAT-AYAT LAIN DAN HADITS-HADITS NABI saww.
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas4m

Pecinta Sinar Agama Oh itu mungkin perbedaan dengan di Sunni tentang ayat itu ustadz, ini kebetulan di grup ada yg nanya mengapa hukum waris di Syiah tidak sesuai dengan Al-Quran, padahal ada penjelasannya seperti itu. Jadi, untuk ayat quran yg sudah muhkamat pun kita ga bisa memahaminya begitu saja, tapi harus melihat penjelasan lainnya di ayat2 lainnya dan di hadis. Jadi, bukan untuk menafikan kita wajib taqkid sepenuhnya kepada marja, tetapi bagi si penanya, hanya untuk bahan berdiskusi dengan Sunni. Seperti halnya yg mengusap dan membasuh ketika berwudhu juga kan kita berdiskusi membawakan ayat quran juga. Hanya untuk menunjukan bagaimana Syiah memahami ayat quran tersebut.
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas4mTelah disunting

Sinar Agama Pecinta Sinar Agama, katakan saja dari awal bahwa di Syi'ah hanya taqlid pada marja'. Kita tidak bisa memahami Qur an tanpa membandingkannya dengan ayat-ayat lain, dan tahu sebab turunnya masing-masing dan apa penjelasan Nabi-nya saww tentang ayat tersebut. Muhkamat atau tidak, itu juga tidak selalu sama diantara para ulama. Aneh banget orang mengatakan muhkamat dan jelas terhadap suatu ayat, sementara dia sendiri tidak mengerti bahasa Arab dan tidak tahu ribuan ayat lainnya dan puluhan ribu hadits-hadits Nabinya saww.
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas3m

Pecinta Sinar Agama Sudah ustadz,...tapi kan ketika membahas masalah waktu shalat yg 3 waktu itu kita kan pakai ayat quran juga ketika berdiskusi dengan Sunni...selain penjelasan kalau kita harus bertaqlid tentunya...syukron ustadz atas jawaban dan penjelasannya...
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas3mTelah disunting

Sinar Agama Pecinta Sinar Agama, iya kalau sebagai wawasan dan berkurang lebih, maka jelas boleh. Dan, sudah tentu setelah membaca penjelasan ulama atau pelajar tangguh Hauzah. Intinya jangan mengarang-ngarang sendiri dan itupuan katakan bahwa demikianlah yang saya pahami dari ayat yang dijelaskan oleh ulama.
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas3m



Sumber : https://www.facebook.com/sinaragama/posts/1538979809548804?hc_location=ufi


0 comments:

Post a Comment

Andika Karbala. Powered by Blogger.