Saturday, July 29, 2017

on Leave a Comment

Kalo kita bertaklid ke salah satu pendapat ulama kemudian secara tdk diketahui ternyata pendapatnya keliru, apakah kt berdosa?

Yusril Crow ke Sinar Agama
29 Mei
Salam ustad
Kalo kita bertaklid ke salah satu pendapat ulama kemudian secara tdk diketahui ternyata pendapatnya keliru, apakah kt berdosa?
Syukran katsiran ustad
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar

Sinar Agama Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1- Ulama yang bisa ditaqlidi itu memiliki berbagai syarat, seperti berakal, lelaki, ilmunya sampai ke tingkat ijtihad, tidak melakukan dosa besar dan kecil, tidak serakah pada dunia yang halal sekalipun, zuhud dan
 semacamnya. 

2- Umat dibagi pada tiga golongan:

a- Ada yang mujdahid. Yaitu yang ilmunya sampai ijtihad, yakni ilmu islamnya sangat tinggi hingga mampu memahami Qur an dan Hadits dengan baik dan benar dan mampu mengambil kesimpulan hukum dari keduanya.

b- Ada yang Muhtaath. Yaitu orang yang alim dan tahu tempat-tempat yang lebih hati-hati walaupun dia belum sampai pada tingkat ijtihad.

c- Ada yang Taqlid. Yaitu orang yang tidak berilmu tinggi tentang agama hingga dia tidak sampai pada tingkatan ijtihad atau muhtaath dan juga orang-orang yang awam tentang agama.

3- Golongan (a) dan (b) bisa mengambil hukum langsung dari Qur an dan Hadits. Sedang golongan (c) tidak bisa mengambil hukum langsung dari Qur an-Hadits.

4- Kewajiban agama dan akal, bagi golongan (a) dan (b), memang merujuk kepada Qur an dan Hadits. Sedang golongan (c) merujuk kepada golongan (a). Seperti orang awam yang kalau sakit merujuk ke dokter dan taqlid secara mutlak terhadap apa saja yang dikatakan dan diputuskannya. 

5- Kalau yang awam itu tidak melakukan taqlid pada mujtahid (orang yang sampai pada ijtihad) dan/atau dokter, misalnya mengambil kesimpulan hukum sendiri dari Qur an dan Hadits, atau mengoperasi sendiri jantung anaknya yang sakit, maka agama dan akal pasti akan mencelanya. Akal mana yang tidak akan mencela seorang yang tidak sekolah kedokteran sampai ke tingkat spesialis, tapi mengoperasi jantung anaknya yang sakit jantung. Begitu pula tentang hukum-hukum Allah swt yang diterangkan melalui Qur an dan Hadits. 

6- Sebaliknya, akal dan agama mana yang tidak mendukung dan menyuruh orang yang ilmunya tidak sampai ke tingkatan spesifik untuk melakukan taqlid pada para ahli di bidangnya masing-masing? 

Artinya akal dan agama mana yang tidak mendukung taqlid di atas sekalipun akal dan agama juga tahu bahwa mereka tidak makshum alias bisa salah.

Sebab kalau hanya lantaran adanya kemungkinan bisa salah lalu akal dan agama membolehkan orang yang tidak spesifik mengikuti dirinya sendiri, maka pastinya dia akan membuat hukum sesukanya atas nama Qur an dan Hadits dan/atau setiap orang akan mengobati dan mengoperasi dirinya sendiri atau keluarganya sendiri, manakala mengalami sakit. Kacau balau bukan?

Jadi, sekalipun para mujtahid dan dokter itu bisa salah, tetap saja akal dan agama menyuruh kita taqlid pada meraka. Sebab kesalahan itu biasanya lebih sedikit, dan mengikuti yang tidak spesifik jelas merupakan kesalahan dan kehancuran yang nyata. 

7- Kesimpulannya, bukan saja mengikuti orang yang bisa saja itu tidak dilarang, melainkan justu diperintahkan oleh akal sehat dan juga agama Islam itu sendiri serta akan tetap diberi pahala. Sebab sudah mengikuti akal sehat dan agama Islamnya. 

8- Sementara mujtahid dan dokternya bagaimana? Kalau adanya kemungkinan salah itu yang mujtahid dilarang berfatwa dan si dokter dilarang beruperasi, maka apa jadinya dunia ini. Sudah pasti akan terjadi kacau balau yang luar biasa. Yang dakwah agama seperti para Wahabi yang hanya dengan bekal sedikit bahkan dari terjemahan sudah mengeluarkan fatwa sesat, syirik, bid'ah, haram, halal dan seterusnya. Sedang rumah-rumah sakit sudah dioperasikan oleh para pedagang asongan atau ahli-ahli pertanian. Kacau dah. Yang ingin taat pada Allah hancur dunia akhiratnya. Yang ingin berobat dan beroperasi karena sakit, akan mati di atas ranjang pengobatan dan operasinya.

Lalu siapa yang siap mempelajari agama dan kedokteran yang tidak bisa digapai kecuali dengan kesungguhan yang tinggi, bencana dan ujian yang luar biasa itu, kalau nantinya melakukan kesalahan yang tidak sengaja akan dihukum penjara dan di akhirat akan dihukum neraka?

Kalau suda tidak ada yang belajar agama dan kedokteran, lalu mau diapakan umat ini?

Karena itulah, maka bukan saja yang taqlid pada mujtahid dan dokter itu saja yang akan mendapatkan pahala sekalipun yang diikuti itu salah, akan tetapi yang menjadi ikutan inipun akan mendapatkan pahala sekalipun salah (yang salahnya tidak sengaja). Sebab mereka telah bersusah payah puluhan tahun untuk menggapai tingkatan ilmu ijtihad dan kedokteran spesialis.

Itulah mengapa kalau mujtahi itu benar akan diberi dua pahala (yakni pahala kebenaran dan usahanya) dan kalau salah akan diberi satu pahala yaitu pahala usahanya yang gigih dan tulus itu.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas
2
29 Mei pukul 10:03
Kelola

Orlando Banderas Ustadz, kalau marja itu merevisi (merubah) fatwanya, seperti contohnya masalah safar. Fatwa sebelumnya misalnya dihukumi safar, kemudian fatwa dirubah jadi dihukumi tidak safar. Apakah muqallid marja tsb wajib mengqodlo sholatnya yang sebelumnya qoshor jadi tamam ? Syukron.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas29 Mei pukul 20:41
Kelola

Sinar Agama Orlando Banderas, tidak wajib mengqadhaa'. Tapi ketika tahu segera berubah ke fatwa yang baru.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Balas30 Mei pukul 12:42



Sumber : https://www.facebook.com/sinaragama/posts/1275250029255118?sw_fnr_id=150179101&fnr_t=0




0 comments:

Post a Comment

Andika Karbala. Powered by Blogger.