Bismillaah: Selamat Menunaikan Ibadah Agung Puasa Tahun 1437 HIjriah
Salam dan ucapan ta'zhim untuk semuanya di bulan suci Ramadhan ini. Walaupun memohon maaf di awal dan di akhir Ramadhan sepertinya tidak pernah terjadi di jaman Nabi saww, akan tetapi hal ini bukan bid'ah sayyi-ah/jelek, melainkan bid'ah hasanah/baik. Sebab tidak menambahi hukum Islamnya dan hanya menambahi aplikasi atau perbuatannya yang terhukumi halal dari asalnya, yakni saling minta maaf dan memaafkan. Persis seperti tahlilan yang tujuannya mendoakan dan menghadiahi yang meninggal dengan doa-doa dan ibadah-ibadah yang baik yang pada dasar hukumnya juga boleh seperti memberi pahala sedekah membangun sumur untuk yang mati (seperti yang jelas bisa dilihat dalam riwayat yang ada di tengah-tengah kita) dimana dalil kebolehan ini akan mencakupi ibadah-ibadah kebaikan yang lain karena keumuman kebolehan penghadiahan ibadah kebaikan tersebut.
Jadi, kalau dikatakan bahwa amalan orang mati kecuali tiga hal (ilmu, sedekah jariah dan doa anak shalih), itu maksudnya amalan dirinya, bukan hadiah orang lain. Karena orang yang mati, tidak lagi bisa berbuat kebaikan apapun. Jadi, Nabi saww ingin mengatakan bahwa handalkan diri kita dan jangan mengandalkan hadiah orang (begitu makna yang bisa dipahami dari riwayat yang terkenal itu). Karena itu, maka jangan diartikan menolak sampainya hadiah-hadiah kebaikan dari orang lain karena hal itu tidak dimaksudkan oleh beliau saww.
Begitu pula dapat dipahami bahwa Nabi saww sedang merangsang kita untuk melakukan tiga hal yang pahalanya terus mengalir itu. Karena itu, sama sekali bukan bermaksud ingin mengatakan bahwa hadiah orang lain itu tidak sampai dan terputus.
Alhasil, saya tadinya mau nulis apa tapi apa pula yang tertulis. He he he afwan.
Saya tadinya ingin menulis antara lain:
1- Memohon maaf lahir batin secara serius, pada awal hari melakukan puasa suci Ramadhan ini. Semoga antum sudi memaafkan saya sebagaimana saya yang memaafkan antum yang punya salah (kalau tidak punya salah kan memang tidak memerlukan maaf secara serius).
2- Usahakanlah dalam puasa ini, tidak melakukan dosa. Karena itu mesti dipelajari fiqihnya supaya tahu apa saja yang dosa, baik fiqih pribagi, keluarga, sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain-lainnya. Karena kalau kita melakukan dosa dalam waktu puasa, bisa-bisa tidak mendapatkan berkah dan hikmah puasanya, yaitu yang untuk mencapai taqwa (la'allakum tattaquun).
3- Perhatikan fiqih puasanya, sejak dari niat, waktu niat, syarat-syarat syahnya puasa, apa yang tidak bisa dilakukan dan semacamnya. Dan amalkan dengan baik penuh keikhlashan.
4- Perhatikan waktu imsak dan bukanya. Imsak yang hakiki adalah adzan Shubuh kalau diyakini adzannya memang sudah benar dan sesuai dengan kenyataan. Kalau tidak yakin atau ragu, maka sebaiknya mengikuti pengumuman imsaknya madzhab Syafi'i. Yaitu yang berhenti mengerjakan yang membatalkan puasa kira-kira 10 menit sebelum adzan Shubuh.
Berbukanya jangan lupa, yaitu paling cepatnya 45 menit setelah adzan Sunni. Memang jeda tersebut bisa berubah atau berbeda satu tempat dengan yang lainnya. Tapi karena dalam perukyatan yang dilakukan di berbagai tempat di Indonesia memiliki hasil yang bisa dikatakan sama, maka paling cepatnya masa tunggu adalah 45 menit.
Penungguan tersebut disebabkan puasa di Syi'ah mesti sampai sempurnanya malam yaitu dengan hilangnya mega merah di timur sampai melewati atas kepala kita.
5- Tidak hati-hati dalam imsak dan berbuka, bisa menyebabkan qadhaa' dan kaffarah atau setidaknya qadhaa'. Misalnya kalau berbuka dikarenakan mengikuti pandangan orang lain, maka kalau orang tersebut bukan orang yang adil (tidak melakukan dosa besar dan kecil), dan ternyata salah, maka selain wajib qadhaa' juga wajib kaffarah. Bahkan hal ini BISA memasukkan orang adil tapi dalam meyakini masuk tidaknya waktu tidak dengan hissi (panca indra, penelitian, bukan hisab) melainkan dengan hisab. Hal ini karena di fatwa Rahbar hf dikatakan seperti ini:
س 795: آيا تبعيت از اهل سنت در وقت افطار روزه در مراسم عمومى و مجالس رسمى و غير آن، جايز است؟ اگر مكلّف تشخيص دهد كه اين متابعت از موارد تقيه نيست و دليلى براى التزام به آن وجود ندارد، وظيفهاش چيست؟
ج: تبعيت از ديگران در افطار روزه بدون احراز دخول وقت افطار، جايز نيست، و اگر از موارد تقيه باشد افطار جايز است، ولى روزۀ آن روز قضا دارد، و جايز نيست به طور اختيارى افطار نمايد مگر بعد از آن كه داخل شدن شب و پايان يافتن روز را با يقين حسى و يا با حجت شرعى احراز نمايد.
Pertanyaan 795:
Apa diperbolehkan mengikuti waktu berbukanya Ahli Sunnah dalam acara umum atau resmi atau lain-lainnya? Kalau si mukallaf meyakini bahwa keadaan tersebut bukan dalam keadaan taqiah dan tidak melihat adanya kedaruratan untuk mengikutinya, lalu apa kewajibannya?
Jawab:
"Mengikuti orang lain dalam berbuka tanpa membuktikannya dulu bahwa sudah masuk waktu berbuka, tidak dibolehkan. Kalau taqiah maka boleh saja tapi wajib diqadhaa' di kemudian hari. Dalam keadaan bebas, maka tidak boleh berbuka kecuali kalau sudah masuk waktu malam dan berakhirnya waktu berpuasa yang DIYAKINI DENGAN KEYAKINAN HISSI (panca indrawi), atau dengan hujjah syar'i."
Catatan:
- Taqiah itu untuk keamanan seperti ada kemungkinan dipukuli, dibunuh, diperkosa diri dan/atau keluarganya dan diambil harta kehidupannya. Bisa juga kalau untuk persatuan seperti kalau tidak buka bersama maka Sunni tidak mau bersatu dengan Syi'ah (Ralat: Setelah dikonfirmasi lagi ke kantor Rahbar hf tentang maksud taqiah di berbuka puasa itu atau yang masih global dan belum dirinci itu, dikatakan bahwa taqiah yang dibolehkan dalam berbuka puasa itu hanya dalam taqiah takut/keamanan, jadi taqiah persatuan tidak boleh dilakukan dalam berbuka puasa. Dan kalau sudah ada yang mengamalkan pesan saya sebelumnya itu, tidak kena kaffarah -dan hanya kena qadhaa' sebagaimana hukum awalnya- karena tidak sengaja yang disebabkan oleh bersandar pada fatwa yang walau masih global tentang taqiah tersebut, afwan). Tentu saja dalam hal ini mesti diketahui kalau diri kita Syi'ah, bukan diketahui Sunni oleh Sunni. Sebab kalau diketahui Sunni oleh Sunni, maka tidak akan terjadi persatuan dalam pikiran mereka hingga kita mau memakai taqiah persatuan (Otomatis semua keterangan ini menjadi batal dengan sendirinya, afwan).
- Keyakinan Hissi itu pancar indrawi, yakni meneliti dengan panca indra, bukan duduk manis di dalam rumah dan melihat jam tangan atau jam dinding. Dan kalau dengan panca indra, maka tentu saja mesti merukyat dengan benar ke lapangan, bukan hanya melihat ke atas langit dari dalam jendela lalu mengambil kesimpulan. Apalagi di negara kita yang selalu mendung di bagian baratnya. Walhasil, saya tidak akan mengulang bagaiman merukyat hilangnya mega merah karena sudah berkali-kali menerangkan di dalam diskusi dan catatan.
- Ketika kita menyandarkan kepada informasi orang adil sekalipun, tapi kita tidak yakin bahwa orang adil itu mengatakannya sesuai dengan penelitian Hissi, maka di sini yang saya katakan di atas, BISA masuk ke dalam kesalahan yang bisa mengakibatkan kaffarah kalau di kelak kemudian hari ternyata salah berbuka dengan menyandarkan diri kepadanya.
- Kesalahan apapun dalam berbuka yang menyandarkan kepada informasi orang lain, walaupun sudah benar penyandarannya seperti dari orang adil yang meneliti dengan hissi, maka paling ringannya efek dari kesalahan tersebut adalah qadhaa' puasa. Dan kalau penyandarannya tidak benar dan tidak sesuai dengan fiqih, maka selain qadhaa' juga mesti membayar kaffarah.
- Karena itu, berhati-hati itu adalah baik, terutama setelah dilakukan rukyat berkali-kali dan dilakukan oleh kelompok, maka masa penungguan 45 menit itu adalah waktu yang bisa dikatakan sudah yang tercepat.
- Hidup ini hanya sekali dan tidak akan terulang lagi. Karena itu, berhati-hatilah demi kehidupan yang langgeng yang semakin hari semakin mendekati kita.
Semoga kita semua, pada akhirnya dapat menyentuh ampunan dan ridha Allah swt, amin. Wassalam.
Tambahan:
Kalau dalam keadaan ragu telah masuk maghrib atau bukan, baik setelah dapat info atau meneliti sendiri, lalu nekad berbuka dan nanti ketahuan kalau belum masuk, maka selain wajib qadhaa' juga wajib kaffarah.
0 comments:
Post a Comment